‘’Indigenous Norms to the Coming Age of One ASIA’’, menjadi tema dalam konferensi internasional Teaching English to
Young Learners in Indonesia (Teylin) jilid II yang digelar Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris (Prodi PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK).
Konferensi internasional Teylin ini dilangsungkan
di Hotel Griptha Kudus, Selasa-Rabu (25-26/04/17). Narasumber dalam konferensi
itu adalah Itje Chodijah (Indonesia), Nicholas Cooper (United Kingdom), Dr.
Jo-Ann Netto-Shek (Singapore) dan Dr. Ramesh Nair (Malaysia).
Acara yang dibuka oleh Rektor UMK Dr. Suparnyo SH.
MS., ini diikuti sekitar 130 peserta dari berbagai daerah. Antara lain dari
Surakarta, Yogyakarta, Bekasi, Blora, Sidoarjo, Jakarta, Samarinda,
Palembang, bahkan Malaysia.
Nicholas Cooper pada kesempatan itu menyampaikan
mengenai relasi teknologi informasi (IT) dalam English for Young Learner
(EYL). Dijelaskan, IT bisa dimanfaatkan memaksimalkan pembelajaran Bahasa
Inggris untuk anak-anak.
Dia pun mengilustrasikan proses pembelajaran
sebagaimana penggunaan media sosial, yakni anak melakukan publikasi, lalu
membagi ke publik (share), sehingga bisa dikomentari oleh siapa saja.
‘’Pembelajaran dengan model seperti ini, akan
membuat suasana lebih cair, karena anak bisa berbagi gagasan secara online
melalui IT. Ini pembelajaran yang sangat kekinian, dan di kelas,
interaksi antara guru dengan peserta didik, lebih sekadar sebagai apresiasi dan
juga evaluasi,’’ tuturnya.
Dr. Jo-Ann Netto-Shek dalam ulasannya lebih
menekankan pada bagaimana mendorong critical thinking pada anak-anak
dalam pembelajaran Bahasa Inggris.
‘’Membangun mindset anak-anak dalam
pembelajaran Bahasa Inggris akan lebih mudah dengan critical thinking.
Sebab, anak senang dan menjadi lebih aktif ketimbang dengan menggunakan modul (text
book),’’ ungkapnya.
Narasumber lain, Ramesh Nair, memaparkan
materi dengan membandingkan modul pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak
dengan budaya yang berbeda. ‘’Perbedaan konten di modul, sangat memengaruhi
kemampuan anak-anak dalam menguasai Bahasa Inggris. Maka, semestinya modul
tidak sekadar jadi teori, namun harus dibangun dengan budaya lokal,’’ paparnya.
Sedang menurut Itje Chodijah, pembelajaran Bahasa
Inggris yang efektif bagi anak-anak, bisa lihat dari tujuan pembelajarannya.
‘’Apa yang ingin dicapai, mestinya tidak berdasarkan modul, tetapi berdasarkan
apa yang dibutuhkan oleh anak-anak,’’ terangnya.
Farid Noor Romadlon, ketua panitia, berharap agar
konferensi internasional Teylin bisa memperkaya metode pengajaran dan
pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya untuk anak-anak. ‘’Semoga dosen di
Indonesia lebih konsens pada EYL, dengan memperhatikan kebudayaan lokal,’’
katanya.
Selain itu, dia juga berharap komitmen pemerintah
agar membuat kebijakan yang lebih akomodatif dalam pembelajaran Bahasa Inggris,
khususnya untuk di tingkat PAUD dan SD.
‘’Saat ini, kebijakan pembelajaran di level itu
dihilangkan, hanya menjadi program ekstra. Sehingga secara tidak langsung,
keberadaannya dianggap tidak penting,’’ tuturnya didampingi ketua Prodi PBI,
Diah Kurniati. (rls)