![]() |
Ilustrasi : Google |
Ibu adalah guru pertamaku, sesosok wanita yang hak-haknya telah
diperjuangkan oleh R.A. Kartini.
Senyum
lembut tulus, "Ayolah anak-anakku, hanya kalian yang Ibu
punya," suara sarat sayang dari bibir perempuan
yang baru saja menjabat status janda.
Setelah
suaminya menghembuskan nafas terakhir.
Meninggalkan tujuh permata yang harus dibesarkan dan dijaganya. Masih
terasa luka pada rahim atas mengeluarkan si bungsu kecil. "Sayangi
saudara-saudara kalian," bernada tegas. Seolah-olah
tak ingin meneteskan bulir-bulir pada mata yang sayup.
Status
janda. Figur sebagai ibu sekaligus ayah.
Harus mencari nafkah untuk ketujuh kepala yang telah merobek rahimnya. Teriakan
histeris layak dikatakan manusia gila? Namun aku tak ingin mengatakan beliau adalah
manusia gila, meski pernah terpasung. Entah berapa
lama masa itu. Terdengar dari telinga
ini.
Sejarah masa
lalu pernah terkisah pada sosok Kartini
yang mulut ini memanggilnya Ibu.
Ibu pun bersua Ayah. Menjalin biduk rumah tangga dua puluh tiga
tahun. Berkarya untuk ketujuh
anak-anaknya. Lantas inikah karma yang harus beliau terima? Menikah tanpa restu orangtuanya.
Embah
mengharap Ibu menikah
pada lelaki Jawa. Suku yang
sama pada Ibu dan tradisi keturunan yang dijaga pewaris pendahulu. Tetapi Ibu
murka terhadap perkataan Embah. Ibu
menikah dengan ayah-yang pada darahnya sama
sekali tiada mengalir darah Jawa.
Mungkin saat
itu Ibu percaya pada cinta, atau entah kasmaran tingkat
dewa atau pun telah digariskan Tuhan pada telapak tangannya. Entahlah. Kadang, aku
tak ingin ambil pusing.
"Ibu
harus bahagia," gumam hati ini nanar menatap
layar android. Cukup sudah
penderitaan Kartini yang aku panggil Ibu. Bukan karena hubungan
Ibu dan Embah tak harmonis. Tersebab Embah
tak suka pada mantunya yang telah menjasad, meninggalkan
ketujuh permata bernilai tanggungan. Kartini yang
kupanggil Ibu, tak pernah menganggap kami beban. Ia percaya kami adalah amanah yang harus dijaga.
* *
*
Rumah
sederhana reot beratapkan daun sagu dan kayu-kayu semperan menjadi istana Kartini yang
kupanggil Ibu- bersama
ketujuh permatanya.
Bukan
suami tak meninggalkan rumah mewah atau
harta benda. Daripada tinggal di rumah peninggalan suaminya. Kartini tak kuasa setiap saat harus
mendengarkan sindiran dari ipar-iparnya. Kartini memilih berdamai pada diri
sendiri dan menjalankan tugas sebagai seorang
ibu. Setiap hari berjualan gorengan di gubuknya, yang selemparan dadu dengan sekolah.
* **
Aku anak kelima yang merobek rahim dan mempertaruhkan
nyawanya, harus tinggal dan diasuh sama ipar.
Ya. Aku tinggal bersama kakaknya Ayah.
Ini hanya sebuah amanah wasiat Ayah. Agar hubungan Ibu
dan keluarga Ayah
tak putus.
Hanya sekadar
amanah. Hari-hari kujalani tanpa Kartini yang
kupanggil Ibu. Hanya ada
wajah kecut masam bibi yang begitu otoriter mendidik diri ini. Aku memiliki
banyak prestasi terdasarkan segan dan takut pada bibi. Aku berusaha menjadi anak yang cerdas dan
memiliki prestasi di kancah nasional.
Syukurlah, begitu banyak kuraih prestasi itu. Aku selalu menjuarai kompetisi yang
kuikuti. Gelar juara sudah biasa. Itu tak membuat sombong. Kartini yang kupanggil Ibu
merasa bangga atas prestasi yang diraih permata
kelima.
Suatu ketika
kondisi mencekik pendapatan
ekonomi. Ladang mata pencaharian, bangunan sekolah, ludes terbakar dilalap api. Anehnya rumah reot
yang beratapkan daun sagu itu tidak terjilat api sedikit pun.
Padahal hanya berjarak kurang lebih 3
depa. Semua ada pertolongan Yang Mahakuasa.
Setelah
ladang perekonomian keluarga kami ludes, sekolah
dipindahkan untuk sementara waktu.
Kartini itu harus bekerja menjadi kuli pengangkut batu. Mengangkat bongkahan-bongkahan batu yang
tersisa terbakar. Mengerjakan apa yang
bisa dikerjakan dan bisa dijadikan uang.
Ibu. Begitu tangguh,
asalkan permata-permatanya bisa makan dan itu ia lakukan dengan keringat halal
bekerja. Memungut serpihan
paku dan besi-besi karat ditimbang kilo dan dijual.
* *
*
Wahai, Kartini
yang kupanggil ibu, kehidupanku, permata
kelimamu sekilas bahagia. Engkau tak
melihat sedikit benda apa pun yang kurang dari anak yang telah engkau
lahirkan.
Iparmu
begitu hebat menjadi ibu angkat untuk anakmu itu. Tapi anakmu tak pernah cerita atas apa yang
ia alami. Seburuk-buruknya rumah adalah istana bagi seorang
anak.
Aku bisa merasakan dengan
jelas. Walau kekurangan, aku
menemukan sosokmu, Kartini
yang begitu hangat menyayangi permata-permatanya.
Ibu,
aku tahu permata pertamamu gagal untuk
menjadi pencontoh adik-adiknya. Kartini
yang kupanggil Ibu, engkau tak
membencinya atau sekadar mengutuk. Seperti apa yang engkau alami atas menikah
tidak dengan lelaki Jawa.
Kartini yang
kupanggil Ibu, engkau kuat
dan tabah. Ketika harus mengetahui anak pertama hamil di luar nikah dan pergi tanpa permisi
dari rumah. Anak kedua engkau menikah
dengan suami orang. Tetapi syukur hidup
permata keduamu bahagia. Suaminya
penyayang dan ia hidup berkecukupan.
Kartini
yang kupanggil Ibu, anak ketiga
engkau berkelahi dan hampir saja menjadi pembunuh. Untuk tindakan dokter cepat
atas tusukan pisau dapur milik Kartini-yang biasa digunakan untuk memasak dan menyajikan makanan bagi
permata-permatanya.
Anak
ketiganya terlibat kasus. Menjadi terlapor atas tindakan kekerasan. Aku masih ingat jelas. Kartini
datang ke rumah ipar-iparnya.
Menangis dan bercerita pasrah. Datang
dan membuka kelambuku menciumi keningku. Menciumi aku yang pura-pura terlelap
tidur. Dengan kecupan hangat kasih Ibu.
Kartini yang
kupanggil Ibu, bersyukur
engkau memiliki permata keempat.
Ia begitu menyayangimu.
Ia bekerja keras asalkan kamu
bahagia. Ia rela tak sekolah. Memilih bekerja
sebagai kuli bangunan Mengumpulkan
pundi-pundi rupiah membantumu.
Sementara
aku permata kelima. Permata yang
diasuh, dibesarkan iparmu. Terlihat berkilau
dibanding dari permata-permata yang lain. Kartini yang kupanggil Ibu, aku
adalah seorang homoseksual. Aku berusaha mencintai engkau dan mencintai
diriku. Menerima diri atas perbedaan ini.
Kartini yang
kupanggil Ibu. terimakasih
menjadi yang kuat dan hebat. Permata kelima engkau hanya ingin jujur atas
apa yang terjadi pada dirinya. Walau itu pahit.
Tetapi boleh engkau lihat.
Kartini yang aku panggil Ibu, sekarang aku
punya segalanya. Aku bisa
membantu meringankan
beban. Bekerja
sebagai TKI di Malaysia. Memberanikan
diri. Pergi jauh dari iparmu. Memilih hidup sendiri. Nun jauh.
Demi
membantu engkau. Membantu adik-adiknya
dan si kecil bungsu. Kartini yang ku
panggil Ibu, inilah kisah
anak-anakmu. Yang belum bisa membahagiakan
engkau. Namun yakin lah hati engkau dan
apa yang engkau lakukan pada permata-permatamu.
Engkau
tetaplah Kartini terhebat yang aku panggil Ibu. Walau embah masih antipati
terhadapmu. Aku yakin, permata-permatamu
akan membahagiakanmu.
Kartini yang
kupanggil Ibu, engkau
menyikapi hidupmu dengan segala tantangan dan cobaan. Namun engkau masih
bertahan di usai lebih
dari separuh abad.
Kartini yang
kupanggil Ibu, engkau masih
memiliki tanggung jawab menyekolahkan permata keenam dan
si bungsu. Kartini
yang kupanggil Ibu, aku berharap engkau selalu
sehat. Namamu
akan menjadi bait-bait terindah bagi ketujuh
permatamu. Terimakasih
telah menerima anak-anakmu, wahai, Kartini yang
kupanggil Ibu.
Daro,
Sarawak, Malaysia, April 2017
_____________
Penulis sekarang menetap
di Malaysia dan berprofesi sebagai Lab
Asisten. Sedari kecil memiliki hobi menggambar dan menulis. Memiliki
cita-cita sebagai dosen. Kala SMA
mengurus koran sekolah dan sering menjuarai lomba karya ilmiah. Remaja yang
pernah kuliah di jurusan komunikasi ini memilih untuk berdamai pada dirinya
sendiri. Menerima perbedaan orientasi seksual dan ekspresi gender yang
berbeda.