Cernak Kartika Catur
Pelita
“Siapa
sih idola Bunda?” Najwa Aulia, putri
semata wayang Bunda Maya, bertanya siang itu, sepulang dari sekolah di SDN 1 Jobokuto.
Di
dapur sambil membuat kue putu mayang, Bunda Maya berkisah tentang riwayat R.A.
Kartini, Pahlawan Nasional, kelahiran Mayong, Jepara, 21 April 1879.
Najwa
Aulia menyimak dengan antusias. “Idola kok R.A. Kartini sih
Bunda? Bukan Britney Spears atau Adele?” gadis cilik, berumur
sepuluh tahun mengerutkan kening.
Sang
Bunda tersenyum. “Sayang, kita mengidola seseorang karena dia dianggap hebat. Pintar nyanyi, berakting,
atau lainnya. Tapi kadang
tak berpikir apakah seseorang
yang kita idola tersebut pantas dijadikan
panutan enggak sih?”
“Maksud
Bunda?”
“Menurut
Bunda bukan hanya prestasi si idola, tapi yang penting
adalah pribadinya. Bunda mengidola R.A. Kartini, karena beliau pandai, cerdas, dan berhati mulia. Menebar kasih sayang pada sesama.
Memberi teladan pada kaumnya.”
“R.A.
Kartini Pahlawan Nasional, juga Pahlawan
Emansipasi, kan, Bunda?”
“Ya, anak Bunda pintar. Karena jasa R.A. Kartini, kaum perempuan Indonesia bisa
sekolah. Ketika ayahanda R.A. Kartini, Bupati Jepara, R.M.
Ario Sosroningrat, melarang R.A. Kartini melanjutkan sekolah, dia tak putus asa.
R.
A. Kartini bersama R.A. Roekmini dan R.A. Kardinah, mendirikan sekolah di serambi pendopo. Murid-muridnya
anak perempuan jelata yang tinggal di
sekeliling pendopo kabupaten, tempat
tinggal R.A. Kartini saat dipingit.”
“Dipingit
itu apa sih Bunda?”
“Tak
boleh ke luar rumah. Tapi R.A. Kartini panjang akal dan cerdas. Dia mengisi
hari-harinya dengan membaca buku, menulis, korespondensi, belajar bahasa
asing. Juga melukis, membatik, dan
mendesain ukiran kayu.”
“Wah,
R.A. Kartini benar-benar hebat ya, Bunda? Najwa ingin berbuat
seperti beliau!”
“Insya
Allah, kalau Najwa ada niat pasti ada
jalan, Sayang.”
* * *
Najwa
Aulia sudah tak sabar menunggu hari ulang
tahunnya ke-11 tiba. Ayah sudah memberinya izin untuk menggunakan garasi mobil sebagai tempat ‘Sekolah Kartini Cilik.’ Bik Inah
dan Mang Ujo adalah dua murid pertamanya.
Sebetulnya
tak sengaja Najwa Aulia menemukan ide membuka sekolah ini, ketika dua bulan yang lalu, ia memergoki Bik Inah kebingungan saat mendapat surat dari kampung. Bik Inah meminta
tolong pada Mang Ujo, tukang kebun. Ternyata, Mang Ujo juga buta huruf. Tapi
anehnya mereka bisa menghitung uang.
Najwa
Aulia membantu membacakan surat dari anak Bik Inah itu. Saat itulah ia mendapat
ide untuk menolong Bik Inah dan Mang Ujo agar bisa baca tulis. Ia menyampaikan keinginannya pada sang Bunda. Bunda sangat menghargai dan
mendukung keinginan mulia Najwa. Bahkan Ayah membantu membersihkan garasi.