Maraknya organisasi yang mengaku dari
golongan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) namun tak mengamalkan ajaran-ajaran
Aswaja maka diperlukan penambahan identitas utamanya untuk Aswaja yang dipegang
Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Aswaja an-Nahdliyyah.
Hal itu ditegaskan Ketua PWNU Jawa Tengah, Dr
Abu Hapsin saat memberikan arahan ke kader Ansor Banser dalam pembukaan Kemah
Bakti II tahun 2017 pada rangkaian peringatan Hari Lahir ke 83 Gerakan Pemuda
(GP) Ansor, di Desa Tombo, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Sabtu (22/04/17)
malam.
“An-Nahdliyyah itu penting karena sekarang
banyak Ormas yang mengaku Sunni bahkan ISIS saja mengaku Aswaja. Maka jangan
sampai keliru, maka ini perlu ditambah an-Nahdliyah sebagai penanda bahwa ini
telah menyelamatkan Nahdliyin dan bangsa Indonsia dari perpecahan,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki keunikan dan
nilai budaya yang luhur. Buktinya meski di Indonesia tidak memiliki banyak
Ulama besar sebanyak di kawasan Timur Tengah, namun Indonesia masih tetap utuh
dan kuat.
Ia juga menegaskan bahwa pola pemahaman yang
selama ini jadi pegangan NU dan Ansor-Banser adalah sebuah pemahamam keagamaan
yang sudah teruji, baik sejak sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, masa orde
lama, orde baru, maupun reformasi.
Abu Hapsin juga menceritakan pengalamannya
saat hadir di Muktamar NU di Cipasung tahun 1994. Saat itu hubungan Gus Dur
dengan Presiden RI Soeharto sedang tidak harmonis karena Gus Dur dinilai selalu
terlalu kritis pada pemerintah.
Bahkan Soeharto saat diundang di Muktamar,
akan bersedia hadir dengan syarat Gus Dur tidak duduk di barisan terdepan.
Mengetahui hal itu, Gus Dur memilih duduk di belakang bersama warga nahdliyyin
lain yang bukan peserta Muktamar.
“Itu saya melihat betul (peristiwa tersebut, red),”
ujarnya.
Hal itu membuktikan bahwa hubungan antara Gus
Dur dan Soeharto memang tidak baik. Namun, Soeharto di Muktamar menyampaikan
kesaksiannya yang tulus bahwa NU memilki sumbangasih yang luar biasa pada
Indonesia.
Yaitu terletak pada pemahaman keagamaannya
yang sudah mampu mengantarkan Indonesia dalam posisi stabil dalam politik.
Situasi itu menurut Soeharto perlu disyukuri dan dipertahankan.
“Ini ucapan yang sangat tulus dari orang yang
tidak suka, kalau ucapan yang suka (memuji, red) ya wajar. Yang tak lain
adalah pemahaman ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah,” ungkap Abu Hapsin.
Ia juga berharap, adanya Kemah Bakti ini,
para peserta dapat merenungkan persoalan-persoalan bangsa dan ke Indonesiaan.
“Itu harapan kami,” tuturnya. (rls)