Seperti tinggal di neraka. Panas. Saban hari Ayah dan Ibu
bertengkar. Ribut. Adu mulut. Saling umpat. Mencari kebenaran sendiri.
“Kau lelaki buaya.
Selingkuhan di mana-mana. Padahal kau
tentara. Seharusnya memberi teladan!”
“Perempuan cerewet. Sukanya mengumpat. Sana urus anakmu!”
“Setiap hari dari Subuh sampai malam aku
mengurusi mereka. Mandiin, masak, cuci baju, ngantar anak! Kurang apa?!”
“Memang itu sudah kewajiban perempuan. Tugas seorang
istri!”
“Hei, jangan banyak
cingcong, apa tugasmu sebagai suami?
Gaji dihabiskan untuk mabuk dan kenthir sama perempuan sundal!”
“Ssst...diamlah. Malu didengar orang.”
“Biar semua tahu.
Kau orang berpangkat, tapi kelakuan
bangs...!”
Plak-plak-plak! Lelaki
kekar menampar. Menjambak. Mencekik. Untung si perempuan cantik
bisa melepas belitan, melesat ke halaman rumah, menumpah serapah. “Lelaki terkutuk. Beraninya cuma sama perempuan. Sekali lagi kau memukul kulaporkan pada komandan!”
Si lelaki malah menyetel radio keras-keras. Diam-diam
tiga pasang bocah memandang peristiwa di hadapan mereka dengan hati patah. Terluka.
* * *
Seperti robot. Setiap hari berbaris, memasuki kelas, diabsen, duduk di bangku yang sudah ditetapkan. Seorang
guru masuk memberi salam, pelajaran
dimulai. Si guru mengajar, si siswa mendengarkan.
Saat sedang mengerjakan soal, si guru memeriksa.
Tiba-tiba berteriak, saat menemukan
siswa yang bertopang dagu sendu. “Mau jadi apa kau. Bukannya mengerjakan soal malah melamun!”
“Saya...saya....saya....”
“Bicara saja tak lancar. Dasar lelaki lunak!”
Si siswa memilih diam, menunduk.
* * *
“Mengapa tadi kau melamun, sampai Pak Godi marah?” perempuan berkucir dua duduk di sisinya.
Taman depan sekolah. Belia sekelas dan perhatian, entah apa maksudnya.
“Tak ada apa-apa,” gumamnya tak yakin
“Kau semakin kurus. Sering bolos. Ada apa sih, Dam?”
“Sudahlah, aku ingin sendiri...” memilih menghindar meninggalkan si kucir
dua. Melewati lapangan ketika si
atletis berkaus olahraga sengaja melemparkan bola voli ke arahnya. Kena kepala.
“Aduh,“ ia kesakitan. Airmata meleleh. Beberapa pasang mata melecehkannya.”Weh, wekwek,
menangis. Dasar banci!”
* * *
Setelah Ayah pergi semoga rumah tak lagi seperti neraka. Kemarin mereka mengantar di pelabuhan. Ayah terlihat
gagah mengenakan seragam tentara dan ransel besar. Ibu tak tampak haru saat Ayah
menyalami kami, menepuk pundak Ibu sekedip,
lalu melangkah gegap menaiki geladak kapal bersama pasukannya.
“Berapa lama Ayah pergi tugas, Bu?” tanya Kak Ida.
“Entah. Mungkin tiga tahun. Kau kangen Ayah?”
“Tidak.”
Apakah ia juga merindukan Ayah? Entah. Mereka jarang
bertemu. Ayah sering dinas. Malam piket. Ayah pelit bicara. Tapi
saat bertengkar dengan Ibu, Ayah
sangat banyak ngomong, dan suaranya
keras sekali. Bikin mereka ketakutan.
“Sekarang Ibu lebih bahagia karena ayah kalian tak ada.”
Benarkah? Karena
hari-hari kemudian ia semakin merasa
gersang. Ibu di rumah kian sibuk mengurus mereka. Memasak, mencuci,
mengantarjemput adik ke sekolah. Ibu
terkadang nonton bioskop. Kakak-kakaknya
sibuk dengan dunia mereka sendiri.
* * *
Siswi terbata-bata mengerjakan soal matematika di papan
tulis. Seorang guru menjitak. “Tolol, 7 X 8 saja tak becus. Sudah SMA, kalah sama anak SD!”
Si guru botak memanggil seorang siswa lagi. Si alis tebal
mengerjakan dengan semangat, cepat, dan hasilnya salah!
“Kalian pasangan idiot, kembali ke tempat duduk!”
Kelas seperti kuburan. Si botak menghampiri meja siswa
jangkung berkulit putih, kurus. “Kau gering, ke depan. Kerjakan!”
Layu di depan
papan tulis kayu. Tak paham rumus sin,
cos, tangen- yang bikin pusing kepala. Tangannya gemetar. Menuliskan rumus. Salah. Dihapus. Salah lagi. Dihapus.
Tulis lagi.
Si botak murka, menggebrak meja, memukul bahu si jangkung
putih dengan penggaris kayu, suara mencetar. “Kalau tak bisa jangan dipaksa,
jangan diperkosa!”
* * *
“Uang tak dikirimkan. Gajinya di sini min. Kita tak bisa makan, kaliren!” Ibu
menyumpah-nyumpah. Ia hanya mendengarkan, menatap Ibu sekilas, kakak, adik,
lalu menunduk. “Kalian semua masih kecil. Ibu tak ada tempat tukar pendapat.“
“Apa maksud Ibu? Aku sudah kelas 2 SMA, “ gumam Kak Ida.
“Aku sudah STM, “ ungkap Kak Bian.”Dama SMP. “
“Kalian bisa apa?! Kalau
Ibu dan ayahmu bertengkar kalian cuma diam, tak membela Ibu!”
“Tapi Bu, Ayah....”
“Ibu yang membesarkan kalian. Sejak kalian piyik,
Ibu jual warisan, sawah-tanah, berhektar-hektar. Ibu
melawan kakek, demi kalian. Supaya kalian tetap hidup. Tidak jadi patok kuburan!”
* * *
Ujian semesteran. Tak
mendapat kartu tes. Padahal seminggu yang lalu, Ibu sudah menjual
beras jatah, demi melunasi uang sekolah. Ia tak membayarkannya.
Ia duduk sesuai nomer absensi. Meletakkan kartu aspal di atas meja. Bel berdendang. Guru masuk, membagikan soal. Hening
tapi ramai. Guru pengawas asik merokok, peserta tolong-menolong mengerjakan ujian. Ia memilih
mengerjakan sendiri. Sebisanya. Toh
tinggal melingkari, memilih huruf a,b, c, atau d.
Ia sudah selesai mengerjakan soal, ketika seorang guru menghampiri bangkunya. Beringas. Merobek kertas ulangan.
Menyeretnya ke ruang kepala sekolah.
* * *
Terminal. Orang hilir mudik. Penumpang, calo tiket, asongan.
Duduk di bangku beton seraya menopangkan dagu. Serombong anak sekolah
melintas. Bagaimana jika ada yang mengenalnya, melaporkan pada Ibu?
Ia tak ingin pulang ke rumah. Tak mau menyakiti Ibu. Mual
mendengar Ibu marah dan berteriak. Ibu sebenarnya baik. Tapi, entah. Ia pusing. Bingung. Keluh, luh meluruh, seorang pemuda bersarung berkopiah, menghampiri,
duduk di dekatnya, menyentuh pundaknya.
“Assalamu’alaikum.”
Ia membalas salam sambil menepis airmata
“Jam segini sudah pulang. Kamu sekolah di mana?” si lelaki bersarung memandang
seragam biru putihnya. Haruskah ia berkisah segalanya pada orang asing?
“Hehe, gak papa cowok menangis. Seusia kamu, aku dulu juga suka menangis. Saat-saat
awal tinggal di pesantren....”
Ia mengikuti
langkah si lelaki sarung menaiki bis antar kota.
* * *
Bangunan luas berdinding tembok separuh bambu. Di dekat persawahan. Saban
hari ia belajar, mengaji, dan beternak. Kang Dadang membimbingnya. Mengajari cara beribadah, cara berdoa, dari bangun hingga
menjelang tidur. Di pesantren ia menunaikan
salat lima waktu, berjamah. Ia belajar membaca Al Qur’an.
“Seorang yang mengaku muslim, hukumnya wajib bisa membaca
Al Qur’an, “ tauziah Kang Dadang.
“Bagaimana kalau tak bisa, Kang?”
“Insya Allah bisa, selama ada kemauan. Allah akan menunjukkan
jalan.”
Ia yang dulu di rumah tidur di ranjang empuk, sekarang
tidur nggeletak di selembar tikar bersama santri lainnya pada
sebuah kamar yang sempit. Ngaji bersama. Belajar bersama. Kerja bersama. Masak,
makan menu sederhana, bersama-sama. Hanya satu yang tak akan dilakukan, mandi
bersama di blumbang. Ia memilih mandi saat sepi. Saat mandi
mengenakan kolor.
Tentu saja, bukankah dalam Islam seseorang memperlihatkan kelamin di hadapan
orang lain, entah lawan jenis, atau
sejenis, hukumnya haram.
“Mengapa melamun? Bebeknya sudah diberi makan?” Kang Dadang nongol saat ia termenung di
beranda samping gothakan.
“Sudah. Aku ingat ibuku, Kang.”
“Sudah dua bulan kau pergi dari rumah, Dam.”
“Sudah dua bulan aku
jadi santri, Kang. Aku senang dan betah. Aku menemukan ketenangan di sini.”
“Alhamdulillah.”
“Aku gabung sama teman-teman, ya, Kang. Ada jadwal belajar
komputer.”
* * *
Malam yang dingin. Bukan,
bukan karena tidur di ubin beralas tikar pandan. Ia sudah biasa. Ada yang
aneh. Ia tidur telentang dan ketika bergerak ‘sesuatu’ terasa menarik-narik kulit kelaminnya, dan rasanya sakit. Ia membuka mata.
Terbeliak, saat melihat sarungnya terkuak dan teman-temannya bersorak-sorai melihat
satu peristiwa yang seumur hidup takkan dilupakan. Kelaminnya ditaleni sehelai benang yang dicancang pada saka lemari! Suara
gumam, bisik, dan
cemooh itu.
“...belum sunat. Ada santri belum sunat.”
“Damara
ternyata belum sunat.”
“Santri belum sunat, oi...”
Ia seperti patung beku.
Bagaimana ia bergerak kalau berasa sakit, karena kelaminnya yang dicancang tiba-tiba mengeras, penuh kemih. Sorak-sorai semakin liar. Mereka merubung.
Menunjuk. Bahkan ada yang hendak memegang. Mengerikan. Memalukan.
“Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan? Kalian santri, bukan
preman!”
“Kami hanya bercanda, main-main, Ustaz.”
“Bercanda dalam
Islam ada adabnya.”
Kang Dadang datang tepat waktu dan menolongnya. Meski sesama
lelaki, sungguh malu tiada ketulungan saat kelaminmu menjadi tontonan banyak orang. Perilaku kriminal mesti
mendapat hukuman setimpal. Ia-sebagai korban-pun harus di sowankan ke hadapan Kiai
Soleh.
* * *
“Kau belum sunat, Nak?”
Ia mengangguk. Tak berani menatap paras Kiai Soleh. Pemilik
pesantren yang hendak memutuskan perkara yang menimpanya. Santri kok belum
sunat. Salat, puasa, mengaji, tapi kok belum sunat. Apakah ibadahnya mendapat pahala?
Apakah Kiai memarahinya?
“Berapa umurmu, Nak?” suara Kiai Soleh tetap teduh.
“15, eh, 16 tahun, Pakiai.”
Kiai Soleh mengangguk melirik Kang Dadang. “Ustaz Dadang
umur berapa kau saat disunat?”
“Saat saya berumur 9 tahun, Kiai.”
“Sunat atau khitan hukumnya wajib bagi seorang muslim, apalagi ketika seorang laki-laki sudah
memasuki usia akil balik. Kau sudah mimpi basah, Nak?”
“Belum, Pakiai.”
“Mengapa kau belum sunat, Nak?”
Ia tak bisa menjawab.
“Nak Damar, apakah kau masih punya kedua orangtua?”
“Masih, Pakiai.”
“Salah satu kewajiban seorang ayah pada anak lelakinya
adalah mengkhitankannya. Khitan mensucikanmu dari najis, supaya sah salatmu ,
Nak.”
Ia khusyu mendengarkan nasihat Kiai. Saat Kiai Soleh berniat
mengkhitankannya, ia melirik Kang
Dadang. Ia mengangguk perlahan.
Kiai Soleh mengelus pundaknya, tersenyum. ”Alhamdulillah. Saya
akan segera menyiapkan hajat sunatmu, Nak. Burung-mu ingin dipotong dengan golok atau clurit?”
* * *
Ia akhirnya disunat. Memandang bentuk kelaminnya yang tak
berkulup lagi, sepertinya aneh. Empat hari
luka khitan baru sembuh. Kang Dadang membantu mencopot perban. Ia masih
merasa sedikit risi, tapi sudah memakai sarung, saat seorang santri mengabarkan kalau ada seseorang
yang mencarinya.
Ia beranjak ke ruang tamu, dan di sana ada...Ibu! Ternyata Kang Dadang menghubungi Ibu. Ibu terlihat
lebih kurus. “Di dunia ini seorang Ibu sangat sayang pada
anak-anaknya. Meskipun anak Ibu enam orang, tapi saat seorang tak ada di sisi,
Ibu merasa sedih. “
“Maafkan, Damar, Bu.”
“Sekarang kau sudah
berani memandang Ibu saat bicara. Suaramu
keras. Kau betah tinggal di sini?”
“Iya. Di pesantren Damar senang.”
“Ayahmu dibuang ke Timtim karena medok dan maling kayu. Di
sana malah kawin lagi. Ibu sedih,
tak bisa cerai. Komandan
melarang.”
“...”
“Bagaimana sekolahmu nanti...?”
“Damar bisa ikut Kejar Paket B. Ada di pesantren ini.”
“Ibu ingin kau kembali ke rumah!”
* * *
Malam larut. Bintang
di langit berkedip. Suara serangga malam mengalun. Bakda salat Isya berjamaah dan mengaji, sebagian
teman beristirahat, tidur.
Ia memilih duduk di beranda gothakan. Kang Dadang mendekat. Menyentuh
pundaknya, seiring angin malam berkesiur. “Apa yang kau pikirkan,
Dam?”
“Ibu. Apakah aku harus kembali ke rumah, meninggalkan
pesantren, Kang? Jika tak menuruti keinginan Ibu aku dicap anak durhaka.
Bukankah dalam khotbah Kiai mengatakan
bahwa surga berada di telapak kaki Ibu.
Kalau aku durhaka pada Ibu, bagaimana aku bisa mendapat surga, Kang?”
Kang Dadang tersenyum bijak, menepuk pundaknya beberapa
kali. “Semua keinginan manusia bisa diupayakan dengan daya upaya dan doa. Allah
memberi jalan terang dengan petunjuk yang
diberikan-Nya. Salatlah ketika kau bingung menentukan di antara dua pilihan. Ayo, aku antar wudlu,
Dam. Aku juga hendak salat tahajud.”
* * *
Ia memilih menuliskan kegelisahan, kegalauan hati ke dalam rangkaian kata. Sebelum tidur, atau saat
tengah malam terbangun, sebelum mengerjakan salat malam. Bahkan ia suka menuliskan mimpi ke dalam untaian aksara indah. Tulisan curahan
hati, berupa cerpen dan puisi sudah beranak pinak, berbuku-buku.
Ia diam-diam suka membacanya, tersenyum sendiri. Bahagia.
Sungguh, dengan menuliskan kegelisahan,
ia merasa hati tenang.
* * *
Pulang. Ibu, kakak dan adik merubungi. “Barusan ada kiriman
paket dari Ayah. Ada kaos dan tenun ikat Timor. Ini untuk kau, Dama, “ kata Kak
Ida.
Apakah Ayah sudah
berubah? Mungkin Ayah mendapat hidayah. Masih
ingat jika memiliki anak-anak yang ditinggalkan bersama ibunya.
Ia diam-diam menuliskan
pengalaman hidupnya, sebelum
kelak kembali ke pesantren. Ia
ingin menuntut ilmu umum dan ilmu agama. Tak ada yang lebih bermafaat dalam
hidup selain memiliki ilmu umum dan
ilmu agama. Untuk bekal hidup supaya selamat di dunia
dan di akhirat. Bekal itu bisa diperolehnya di pesantren!
* * *
Ia menangis dan memeluk Ibu. Buku tulis yang berisi
curahan hati dan sepenggal kisah hidupnya didekap erat. Diulurkannya buku itu. ”Jika Ibu rindu Damar,
bacalah buku ini. Maafkan, Damar, Bu. Tempo hari Damar nakal, bandel, sering
bolos, makek uang sekolah
untuk beli novel dan majalah.
Damar suka membaca. Sekarang suka
menulis. Sambil mondok di pesantren, Damar ingin jadi penulis. Berbagi ilmu dan pengalaman. Dengan menulis walaupun Damar sudah mati nanti, tulisan tetap abadi.
Damar mohon restu Ibu. Izinkan Damar mondok di pesantren,
Bu. Damar menyayangi Ibu, Kak Ida, Kak Bian, Dik Sar, Dik Ifa dan Dik Ido.
Damar juga sayang pada Ayah.”
“Pergilah mondok ke pesantren, Damara. Kalau rindu pulanglah ke rumah. Ibu
menyayangimu!”
___Kartika Catur
Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)