Cerpen Kartika Catur Pelita
Azan
Subuh terdengar dari mushala. Udara
masih terasa dingin ketika Laila terbangun. Saat dia membuka mata, ternyata
Ifah dan Nuri-teman setendanya sudah
bangun.
“Kalian
sudah bangun duluan?” tanya Laila.
“Ya,
“ jawab Ifah lirih. “Kami tak bisa tidur, La. ”
“Aku
juga tak bisa memejamkan mata,“ kata Nuri. “Aku teringat orangtuaku.”
Nuri yang berkulit sawo matang dan berambut
keriting itu mengerjap-ngerjapkan mata. Rasanya ia ingin menangis.
“Aku
terbayang wajah Ayah
dan Ibu,“ gumam Ifah
tak kalah haru.“ Sepertinya mereka masih
ada. Tapi kenyataannya aku tak pernah bisa lagi berjumpa mereka.” Mata Ifah kelihatan basah. Tapi buru-buru
dia menghapus air matanya yang jatuh.
Laila
tiba-tiba merasakan hal yang sama. Dia pun sangat sedih kehilangan kedua orang tua. Bahkan dia juga kehilangan Nenek yang sangat menyayanginya.
“Apakah
kau tak sedih kehilangan keluargamu?’ tanya Ifah pada Laila. Nuri memandangi wajahnya pula. Laila
risi. Dia memilih menghela nafas pendek.
“Sama
seperti kalian, tentu saja aku merasa sangat sedih. Tapi tak selamanya kita harus
menangisi kepergian mereka. Kata Ustad Rohim kita harus merelakan kepergiannya.
Kita hanya bisa mendoakan semoga mereka mendapat tempat indah sesuai amal dan perbuatannya di
dunia.”
“Amin….”
Ifah dan Nuri mencoba mengusir sedih. Ifah dan Nuri ingin bisa tabah seperti Laila.
Mereka
semula tak kenal, tapi pertemuan di tenda pengungsian sebagai sesama pengungsi korban Gunung Sinabung meletus, menjadikan tiga gadis cilik ini cepat akrab.
Mereka
merasa senasib sama-sama
kehilangan orang tua. Mereka sepantaran.
Laila dan Nuri 12 tahun. Ifah 11 tahun. Kalau bersekolah mereka duduk di kelas
5 dan 6 SD. Tapi sementara sekolah libur.
Karena
gedung sekolahan banyak yang hancur dan
tertutup debu. Kabarnya setelah Sinabung
tak mengamuk lagi mereka bisa kembali
sekolah. Entah kapan. Tapi ada kabar lainnya,
katanya Minggu depan akan dibuka sekolah darurat di tenda pengungsian.
Laila,
Ifah, Nuri dan yang lainnya membayangkan alangkah menyenangkannya jika mereka bisa bersekolah kembali. Diajar
guru, mengerjakan PR di kelas, saat istirahat bermain di halaman sekolah, bercanda bersama teman sekolah. Duhai, alangkah indahnya masa-masa sekolah.
* * *
Laila,
Ifah dan Nuri bergabung dengan teman-teman lainya. Mereka antri untuk mandi di
kamar mandi darurat di area pengungsian ini. Setelah mandi mereka mengenakan jilbab. Pakaian yang diberikan para donator. Sebagian baju baru.
Sebagian baju bekas layak pakai
“Jilbab
kamu bagus, Nur,“ puji Laila.
“Iya
sih. Tapi agak kelonggoran,“ jawab Nuri sambil tersenyum.
Ya
baju muslimah warna hijau lumut yang dikenakan Nuri memang
kebesaran.
Tapi Nuri suka. Modelnya cantik.
“Jilbab
Kak Laila juga tak kalah bagus!” Nuri gantian memuji ketika melihat penampilan Laila. Laila hanya mengagguk kecil.
“Jilbab
kamu juga cantik, Fah, “ Laila kini memuji
baju muslim warna ungu- bermotif
bungan-bunga kecil-yang dikenakan Ifah.
“Ya,“
Ifah mengiyakan pelan. “ Tapi masih bagus jilbab warna pink
yang diberikan ibuku di hari ultahku. Jilbab itu ah tak sempat kubawa ketika awan panas datang dan kami
berlarian menyelamatkan diri. Sayangnya Ibu
dan Bapak tak tertolong!” Ifah tampak sangat sedih.
Laila
buru-buru menghibur temannya.”Sudah deh
kita semua cantik, walau pakai jilbab bekas. Yang penting bisa dipakai, kan ?
Eh, kita kumpul sama yang lainnya, yuk. Sebentar
lagi sholat Ied!”
* * *
Shalat
Idul Adha di adakan di lapangan terbuka. Para pengungsi terlihat haru ketika Khatib
berkutbah tentang bencana yang melanda.
“Bencana
banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
dan yang lainnya adalah cobaan dari
Allah. Percayalah di balik bencana ini ada rencana Allah untuk umatnya. Hanya orang-orang yang beriman yang mengetahui hikmah apa di balik sebuah bencana. Kita harus saling tolong menolong ketika tertimpa
musibah atau bencna. Kita harus
tabah.”
Shalat
Idul Adha selesai. Mereka saling bersalaman. Berpelukan. Bermaafan. Bertangisan,
haru. Merasa senasib sebagai pengungsi.
Laila.
Ifah, Nuri dan teman lainnya saling menguntai
maaf. Tapi tak urung mereka meneteskan air mata ketika teringat pada orang tercinta: ayah, ibu, saudara,
kakak, nenek, teman, tetangga yang meninggal karena bencana gunung meletus! Tapi mereka buru-buru
menghapus air mata, ketika melihat
relawan- di antaranya
kakak-kakak mahasiswa itu mendekatinya,
menghiburnya.
“Hai
mengapa kalian bersedih di hari seindah ini. Lebaran Kurban malah menangis?
Hihiii. Sudah deh nangisnya. Adik-adik
yang manis, cantik dan ganteng ayuk kita
melakukan permainan tebak-tebakan, games, atau
mendongeng, atau baca buku baru di mobil pintar. Nanti setelah itu kita melihat penyembelihan hewan kurban. Kita bikin sate rame-rame!”
Laila,
Ifah, Nuri dan anak-anak lainya korban bencana
mencoba mengusir kesedihan. Generasi muda pewaris tanah air Indonesia
itu mencoba tersenyum. Karena mendung
tak selamanya ada. Esok hari matahari masih bersinar! (*)
Kota Ukir, 15 November
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar