Habib Syech Eksis Bershalawat bareng Masyarakat - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 09 September 2016

Habib Syech Eksis Bershalawat bareng Masyarakat

Foto : google 

Kudus, soearamoeria.com
Siang itu, matahari berteduh di balik awan putih, sehingga suasana tak begitu panas. Di komplek Perumahan Indah Desa Gondangmanis, Kecamatan Kota, Kudus tampak sebuah kediaman yang memancarkan kesejukan bagi penghuninya.

Ya, itulah kediaman seorang Habib terkemuka di Kota Kretek ini; Habib Syech bin Abdul Qadir. Setiap tamu yang datang, selain silaturahim, mereka juga tidak lupa untuk meminta doa. Sebenarnya, dai yang lahir di Solo, 20 September 1961, agak kurang fit kondisinya. Tapi, beliau bersedia melungkan waktu untuk menyapa tamunya.

Begitu pula, ketika kru Paradigma singgah waktu itu. Senyumnya mengembang menguarkan keramahan. “Ahlan wa sahlan, kaifa khaluk?” sambutnya ramah.

Ketenarannya di kota religius dan modern ini, tidak diragukan lagi. Lantaran gelombang dakwahnya yang dahsyat, dan mendapat banyak simpati masyarakat. Sebelum berdakwah di Kudus dan mengasuh Jamiyyah Shalawat Ahbabul Mustofa, lelaki yang hobi bershalawat, sudah lama berjuang mensyiarkan Islam di kota kelahirannya.

Di Solo, beliau mendirikan yayasan yang bergerak di bidang dakwah, Fosmil (Forum Minggu Legi, red) begitu Habib yang bersuara sejuk ini menamakannya.

Bukan tanpa alasan, tapi nama itu merupakan interpretasi dari kearifan lokal masyarakat Solo. Minggu, ditahbiskan agar semua masyarakat bisa menerima. Sedangkan Legi, supaya masyarakat jawa juga merasa dihormati, dan dapat menerima pula.

“Segala yang besar, berawal dari hal kecil,” ungkap Habib Syech. Begitu pula dengan Jamiyyah Ahbabul Mustofa Kudus. Pada saat itu kisahnya, Habib Muhammad Al Kaf, Manajer Jamiyyah Ahbabul Mustofa, asal Desa Prambatan Kidul, Kecamatan Jati, Kudus, bertandang kerumahnya, dan meminta untuk berdakwah di Kudus.

“Daerah yang pertama kali saya sambangi, adalah Bacin,” terang Habib. Waktu itu, ujar beliau, jamiyyah yang saya asuh di Bacin belum bernama Ahbabul Mustofa, masih berupa jamiyyah-jamiyyah shalawat sebagaimana di tempat lain.

Habib menambahkan, baru ketika intensitas jami’yyah semakin rutin, dan jumlah hadirin semakin banyak, kemudian baru da’i masyhur ini menggagas sebuah wadah perkumpulan orang-orang yang hub (cinta, red) kepada Nabi Muhammad SAW.

Akhirnya, kenang Habib Syech, lahirlah jamiyyah shalawat Ahbabul Mustofa, yang berarti kekasih-kekasih manusia pilihan Muhammmad.

Benih Cinta
Padatnya jadwal pengajian, dan aktifitas sehari-hari, tidak menghalangi Habib Syech untuk bersholawat bersama masyarakat. Dengan niat teguh menjadi orang bermanfaat, membuatnya selalu berlipat semangat.

“Sebenarnya saya tidak mengunakan resep untuk menjaga stamina. Hanya, saya mempunyai keyakinan, kalau rasa cinta tertanam di hati kepada Baginda Rasul Muhammad SAW, segala rasa lelah akan sirna seketika,” tuturnya.

Kemudian, dia menghela nafas, beliau menuturkan kelelahan fisik akan terbenam dengan kelezatan nikmat dari syafaat Muhammad. “Sebaliknya, seletih apapun kita kalau berjumpa dengan kekasih kita, pasti akan merasa senang, rasa lelah juga hilang,” ujar Habib Syech.

Di antara pembicaraan panjang itu, Habib sempat menyinggung problem konflik antar umat. Menurutnya, keadaan bangsa yang kian bertambah rapuh, dikarenakan semangat untuk meniru dan mencintai Rasulullah SAW meluruh. Lagi-lagi, putra Abdul Qadir Assegaf dan Syarifah Bustan Al Qadiri ini, mengepakkan sayap petuahnya, kalau ingin memperbaiki keadaan bangsa ini, tanamkan rasa cinta kepada Nabi, karena beliaulah suri tauldan yang baik dan kunci keselamatan.

Suara Menggetarkan
Salah satu daya tarik tersendiri dari Habib yang pernah merantau di Arab Saudi selama 10 tahun ini adalah pada suaranya yang syahdu dan menggetarkan hati. Hampir tiap kali pengajian yang dihadirinya, jamaah membludak, mencapai ribuan orang. Bahkan terkadang ada yang menyatakan kedatangannya untuk mengikuti pengajian karena terdorong ingin mendengarkan suaranya yang khas.

Ketika kru Paradigma menanyakan hal ini, beliau langsung menepisnya. “Saya ini hanya motor, ini semua berkat doa ulama terdahulu dan sekarang yang ada di kota ini, supaya masyarakar Kudus gemar bershalawat,” tuturnya.

Banyak orang yang berpendapat, sambungnya, bahwa saat saya melantunan qasidah (lagu sanjungan kepada Nabi Muahammad atau orang yang mulia dengan menggunakan bahasa Arab, red), mereka merasa asyik dan khusyuk. “Saya tidak mempunyai resep apa-apa untuk merawat suara, ini karunia Allah,” ujarnya tawadhu’.

Beliau juga mengenang masa kecilnya yang indah, “Ketika kecil, saya diminta ayah untuk membaca qasidah-qasidah ketika ulama-ulama bersilaturrahim ke rumah saya. Setidaknya keluar dari lisan mereka doa barokallahu fiik, hal ini mengalirkan berkah doa mereka juga”.

Kesehariannya sebagai seorang dai tidak menyebabkan beliau menanggalkan tanggungjawab duniawi. Di sela-sela kesibukannya, Habib Syech menyempatkan diri untuk bekerja. “Di rumah, saya mempunyai usaha kecil-kecilan, berdagang sorban dan baju muslim, saya juga menjual kaset, Rasulullah mengajari kita untuk bekerja, selain‘amar makruf nahi ‘anil munkar. Agar kehidupan dunia dan akhirat seimbang dan terhindar dari sifat tama’ ”.

Dalam kurun waktu tujuh tahun berdakwah di Kudus ini, sosok Habib Syekh menjelma layaknya terminal kesejukan, tempat pemberhentian sementara para salik dan pecinta rasul. Sahut-menyahut merdu, mengobati kerinduan dan kehausan akan cinta, mengisi ruang kosong antara bumi dan langit. Tiada lain dan satu harapanya perjumpaan dengan kekasihnya, Muhammad SAW.

Ya nabi salam ‘alaika, ya rasul salam ‘alaika, ya habib salam ‘alaika, shalawatullah ‘alaika(zak)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar