Jepara, soearamoeria.com
Sebagai ikhtiar bersama untuk menjadikan desa
sebagai subyek pembangunan sebagaimana amanat UU Desa, Lembaga Kajian dan
Pengembangan Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Jepara menyelenggarakan Seminar dan
Workshop yang ditempatkan di Rumah Makan Maribu Jepara, Sabtu (10/09/16)
kemarin.
Acara yang diikuti sekitar 100an orang
dipandu dua fasilitator Deni Hendarko dari Bapermades Jepara dan Ari Sujito
sosiolog UGM Yogyakarta sekaligus Satgas Desa Kemendes RI.
Ahmad Sahil, Ketua Lakpesdam PCNU Jepara
dalam sambutannya menekankan bahwa sebelum adanya UU No.06 tahun 2014, desa
identik dengan kekalahan dan ketidakberdayaan.
Desa kata lelaki yang kerap disapa Gus Sahil
itu menjadi subsistem terbawah yang terasing dari pemerintahan Republik ini.
“Manisnya kue pembangunan hanya sebatas slogan
yang nampak tidak berubah dari waktu ke waktu di desa adalah wajah
kemiskinan dan keterbelakangan,” tegasnya sebagaimana rilis yang dikirim ke NU Online.
Meskipun terdapat potensi sumber daya alam
yang menjanjikan pada akhirnya kekayaan tersebut akan dimanfaatkan oleh para
kapitalis dan segelintir elit desa.
“Seiring dengan adanya UU Desa inilah cerita
pembangunan desa dalam arti yang sebenarnya dimulai, hal ini merupakan titik
awal pembangunan desa tetapi harus ada komitmen bersama untuk memastikan UU
desa ini terimplementasi secara maksimal,” harapnya.
Deni Hendarko dari Bapermades Jepara
menyatakan pelaksanaan UU Desa selama dua tahun ini diakui atau pun tidak masih
terdapat sejumlah kelemahan dalam tahap implementasinya di lapangan.
Misalnya keterlambatan pencairan dana yang
baru cair pada Minggu ketiga bulan Desember 2015 mengakibatkan terbengkalainya
rencana-rencana pembangunan yang sudah ada.
Bagaimana pun juga dalam waktu seminggu tidak
mungkin pemerintah desa akan mampu mengeksekusi dana yang sudah ada tersebut.
Sementara itu di sisi yang lain terdapat semacam ancaman sanksi pemotongan
anggaran tahun berikutnya jika dalam tahun berjalan terdapat silva yang besar.
“Kegalauan dalam implementasi dana desa ini
juga disebabkan oleh terbitnya peraturan pelaksanaan yang terlambat dan
peraturan pelaksanaan yang keseringan direvisi juga menjadi persoalan yang
menyebabkan implementasi dana desa sering terhambat,” sebutnya.
Sementara itu, Ari Sujito menjelaskan bahwa
sesungguhnya semangat dari UU desa adalah mengembalikan desa beserta segala
keistimewaannya setelah sekian lama dirusak dengan segala peraturan yang ada
oleh rezim orde baru.
Semangat dari UU no.79 adalah menyeragamkan
semua desa yang ada di Indonesia untuk memudahkan kontrol demi kepentingan
kekuasaan negara. Penyeragaman ini telah merusak dan memusnahkan sistem
pemerintahan dan sistem sosial yang bersumber dari kearifan lokal inilah zaman
kegelapan desa yang diciptakan oleh rezim orde baru. Setelah lama dalam zaman
kegelapan akhirnya zaman pencerahan menyingsing saat orde reformasi dengan
terbitnya UU No.22 tahun 1999.
Semangat membangun desa berlanjut dengan UU
No.32 tahun 2004, namun demikian UU ini hanya menyediakan banyak uang untuk
pembangunan desa, namun prosesnya tetap top
down. Hal ini semakin mengokohkan desa sebagai obyek pembangunan yang tidak
bisa menentukan nasibnya sendiri.
Pembangunan tidak berbasis kebutuhan
masyarakat desa akan tetapi hanya berbasis pada kepentingan orang kota terutama
elit politik tertentu. Akhirnya sistem menjadi macet karena banyaknya kepala
desa yang tidak melaksanakan musrembangdes dan masyarakat semakin apatis.
Sampai akhirnya munculllah program PNPM
sebagai upaya korektif untuk pembangunan yang bias kota. Sayangnya PNPM hanya
berbasis project, berhasil
meningkatkan partisipasi masyarakat tetapi tidak mengubah sistem dan sumber
pendanaannya juga hasil dari hutang bank dunia, semakin mempersulit posisi
desa.
Sampai terbitnya UU desa tahun 2014 ini,
Undang-undang ini sebetulnya adalah hasil dari perjuangan dari desa itu
sendiri. Jika terdapat kelemahan dalam tataran desa dalam implementasinya harap
dimaklumi bersama, tidak ada desa atau pun kepala desa yang bodoh yang ada
adalah mereka belum diberi kewenangan dan kesempatan untuk belajar.
“Dorong desa untuk terus berinovasi dan
membangun secara jujur jangan malah ditakut-takuti dengan rezim administratif.
Jika ini sudah diwujudkan maka desa dengan sendirinya akan menjadi inklusif,”
tandas Ari. (kun)
No comments:
Post a Comment