“Dorong Desa Terus Berinovasi, Jangan Ditakuti Rezim Administratif!” - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 14 September 2016

“Dorong Desa Terus Berinovasi, Jangan Ditakuti Rezim Administratif!”



Jepara, soearamoeria.com
Sebagai ikhtiar bersama untuk menjadikan desa sebagai subyek pembangunan sebagaimana amanat UU Desa, Lembaga Kajian dan Pengembangan Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Jepara menyelenggarakan Seminar dan Workshop yang ditempatkan di Rumah Makan Maribu Jepara, Sabtu (10/09/16) kemarin.

Acara yang diikuti sekitar 100an orang dipandu dua fasilitator Deni Hendarko dari Bapermades Jepara dan Ari Sujito sosiolog UGM Yogyakarta sekaligus Satgas Desa Kemendes RI.

Ahmad Sahil, Ketua Lakpesdam PCNU Jepara dalam sambutannya menekankan bahwa sebelum adanya UU No.06 tahun 2014, desa identik dengan kekalahan dan ketidakberdayaan.

Desa kata lelaki yang kerap disapa Gus Sahil itu menjadi subsistem terbawah yang terasing dari pemerintahan Republik ini. “Manisnya kue pembangunan hanya sebatas slogan  yang nampak tidak berubah dari waktu ke waktu di desa adalah wajah kemiskinan dan keterbelakangan,” tegasnya sebagaimana rilis yang dikirim ke NU Online.

Meskipun terdapat potensi sumber daya alam yang menjanjikan pada akhirnya kekayaan tersebut akan dimanfaatkan oleh para kapitalis dan segelintir elit desa.

“Seiring dengan adanya UU Desa inilah cerita pembangunan desa dalam arti yang sebenarnya dimulai, hal ini merupakan titik awal pembangunan desa tetapi harus ada komitmen bersama untuk memastikan UU desa ini terimplementasi secara maksimal,” harapnya.

Deni Hendarko dari Bapermades Jepara menyatakan pelaksanaan UU Desa selama dua tahun ini diakui atau pun tidak masih terdapat sejumlah kelemahan dalam tahap implementasinya di lapangan.

Misalnya keterlambatan pencairan dana yang baru cair pada Minggu ketiga bulan Desember 2015 mengakibatkan terbengkalainya rencana-rencana pembangunan yang sudah ada.

Bagaimana pun juga dalam waktu seminggu tidak mungkin pemerintah desa akan mampu mengeksekusi dana yang sudah ada tersebut. Sementara itu di sisi yang lain terdapat semacam ancaman sanksi pemotongan anggaran tahun berikutnya jika dalam tahun berjalan terdapat silva yang besar.
“Kegalauan dalam implementasi dana desa ini juga disebabkan oleh terbitnya peraturan pelaksanaan yang terlambat dan peraturan pelaksanaan yang keseringan direvisi juga menjadi persoalan yang menyebabkan implementasi dana desa sering terhambat,” sebutnya.

Sementara itu, Ari Sujito menjelaskan bahwa sesungguhnya semangat dari UU desa adalah mengembalikan desa beserta segala keistimewaannya setelah sekian lama dirusak dengan segala peraturan yang ada oleh rezim orde baru.

Semangat dari UU no.79 adalah menyeragamkan semua desa yang ada di Indonesia untuk memudahkan kontrol demi kepentingan kekuasaan negara. Penyeragaman ini telah merusak dan memusnahkan sistem pemerintahan dan sistem sosial yang bersumber dari kearifan lokal inilah zaman kegelapan desa yang diciptakan oleh rezim orde baru. Setelah lama dalam zaman kegelapan akhirnya zaman pencerahan menyingsing saat orde reformasi dengan terbitnya UU No.22 tahun 1999.

Semangat membangun desa berlanjut dengan UU No.32 tahun 2004, namun demikian UU ini hanya menyediakan banyak uang untuk pembangunan desa, namun prosesnya tetap top down. Hal ini semakin mengokohkan desa sebagai obyek pembangunan yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.

Pembangunan tidak berbasis kebutuhan masyarakat desa akan tetapi hanya berbasis pada kepentingan orang kota terutama elit politik tertentu. Akhirnya sistem menjadi macet karena banyaknya kepala desa yang tidak melaksanakan musrembangdes dan masyarakat semakin apatis.

Sampai akhirnya munculllah program PNPM sebagai upaya korektif untuk pembangunan yang bias kota. Sayangnya PNPM hanya berbasis project, berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat tetapi tidak mengubah sistem dan sumber pendanaannya juga hasil dari hutang bank dunia, semakin mempersulit posisi desa.

Sampai terbitnya UU desa tahun 2014 ini, Undang-undang ini sebetulnya adalah hasil dari perjuangan dari desa itu sendiri. Jika terdapat kelemahan dalam tataran desa dalam implementasinya harap dimaklumi bersama, tidak ada desa atau pun kepala desa yang bodoh yang ada adalah mereka belum diberi kewenangan dan kesempatan untuk belajar.

“Dorong desa untuk terus berinovasi dan membangun secara jujur jangan malah ditakut-takuti dengan rezim administratif. Jika ini sudah diwujudkan maka desa dengan sendirinya akan menjadi inklusif,” tandas Ari. (kun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar