Judul Buku :
Pencak Silat
Setia Hati; Sejarah, Filosofi, Adat Istiadat
Penulis :
Agus Mulyana
Penerbit :
Tulus Pustaka,
Bandung, 2016
Tebal Buku :
xvi + 216 hlm;
14,5 x 20,5 cm
Pencak silat merupakan olahraga seni khas Indonesia. Selama ini, urusan
silat tidak hanya menjadi kesenian sekaligus olahraga. Perguruan silat juga
mengurusi tentang hakikat kehidupan. Oleh karenanya, filsafat kehidupan dan
kebudayaan manusia menjadi dasar dari perguruan silat.
Namun, keakraban masyarakat terhadap urusan kebudayaan pada silat masih
belum banyak diakui. Pengakuan pencak silat hanya sebagai olahraga yang
dipertandingkan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) bahkan SEA Games.
Buku karya Agus Mulyana ini mencoba memuat ulasan terkait dengan perguruan
silat Persaudaraan Setia Hati (PSH). Ulasan dimulai dengan pertanyaan “Apakah Persaudaraan
Setia Hati?” Penjelasannya diuraikan secara jelas dalam Sub-Bab terkait
masyarakat Setia Hati; Hakikat Persaudaraan; Arti Setia Hati; Falsafah; Sapta
Wasita Tama; serta penjelasan mengenai pembukuan hasil penelitian ini.
Sosok Ki Ngabehi Surodiwiryo menjadi aktor penting bagi sejarah PSH. Oleh
karenanya, pada Bab ke 2 buku ini banyak dibahas terkait dengan jalan kehidupan
dari sang pendiri PSH ini. Adat istiadat masyarakat Setia hati juga menjadi
bahasan pada Bab selanjutnya.
Adapun, hal-hal berbau rahasia dari PSH diuraikan secara khusus dalam Bab 4.
Serta akhirnya dilengkapi dengan nilai-nilai filosofis yang terdapat pada SH
sebagai sebuah persaudaraan pada akhir Bab.
Kaya Filosofi Budaya
Meski begitu, ulasan penulis justru lebih banyak menyinggung terkait dengan
makna Persaudaraan, dibandingkan dengan pencak silat itu sendiri. Bahkan itu
menjadi benang merah penulisan buku hasil penelitian ini.
Bangunan Persaudaraan SH tidak mampu ditandingi oleh identitas pencak silat
semata. Persaudaraan SH sangat berbeda dengan organisasi sosial maupun partai
politik, terutama dalam hal AD dan ART. Selain itu, PSH pun tidak memiliki
pengurus pusat, wilayah, cabang serta ranting. Termasuk kegiatan-kegiatan
organisasi lainnya, seperti rapat dan pelantikan. Pembukuan anggota juga
menjadi budaya yang dihindari.
Dalam hal manajemen keuangan, anggota SH tidak melakukan iuran atau
mendapatkan subsidi. SH pun tidak berharap memiliki asosiasi dengan badan,
federasi serta utusan wakil yang duduk pada badan tertentu. Kebersatuan mereka
tiada lain didasarkan pada kebatinan serta ilmu menuju sebuah keluhuran batin,
guna mencapai kesempurnaan kehidupan. Ikatan yang mereka bangun dilakukan
secara sukalera dalam untuk hidup dalam satu keluarga.
Meski begitu, bukan berarti tidak muncul friksi di organisasi ini. Terdapat
PSH lain yang bernaung dibawah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Mereka berpandangan
aspek legalitas serta formaitas sebagai alasan utama pembentukan PSH sebagai
badan organsisasi. Namun spirit organisasi yang dibangun bukan pengertian
organisasi dalam pandangan umum. Beberapa warga SH bahkan mendirikan
rumpun-rumpun internasional, sejauh ini Singapura dan Belanda yang sudah
memiliki eksistensi yang jelas terkait dengan hal ini.
Dalam tradisi PSH, persaudaraan biasa mampu bertransformasi menjadi
persaudaraan kandung melalui tradisi Keceran. Dorongan rohani untuk berbuat
lurus, pikiran terbuka, serta terinspirasi proses pandang dan alam pikiran
sebagai manusia menjadi inti dari kehadiran tradisi Keceran tersebut. (hal.
127) Tradisi tersebut dilengkapi dengan
penyembeliaan seekor ayam jago untuk dimakan bersama. Ditambah lagi kain putih
(mori), air putih, kemenyan, uang logam tiga jenis, dan tumpeng robyong.
PSH melarang mengajarkan silat kepada mereka yang belum masuk ke dalam
lingkup Persaudaraan. Bahkan hal ini berlaku bagi anak serta keluarga sendiri. Karena
silat bukan menjadi tujuan utama dalam PSH, melainkan sebuah kelengkapan untuk
kemantapan pendalaman sebagai manusia Tuhan yang utuh, berguna bagi masyarakat,
sanggup mengutamakan kepentungan umum, memihak kebenaran, setia kepada sumpah
dengan berusaha memahami falsafah hidup SH yang diterima secara sadar dan
sukalera.
Cita-cita kemanusiaan yang luhur dan mulia menjadi inti dari penguasaan
silat PSH. Bagi mereka, silat juga memiliki sisi mematikan dengan mudah
dikuasai oleh angkara murka yang tak terkendalikan oleh sifat-sifat luhur.
Berbagai aliran yang menjadi teknik utama dari pencak silat PSH antara lain
adalah, Silek Tuo Minangkabau, aliran Aceh, Maenpo Sunda, Betawi, Kuntao
Tionghoa. Kesemua inti dari teknik tersebut kemudian disusun menjadi 36 jurus.
Semua tidak lain merupakan pengembangan dari pendiri SH Ki Ngabehi
Surodiwiryo yang telah berburu ilmu silat ke pelbagai penjuru nusantara, dari
Bandung, Batavia, Jombang, Bengkulu, Padang, serta Lhok Seumawe.
Sedangkan Pencak Silat justru baru dijelaskan pada halaman 140. Sebagaimana
silat berasal dari kata silaturahim yang berarti menyambung dan menghimpun. Silat diisyaratkan pada Salat juga Fusilat (Yang
Dijelaskan). Secara rohaniah, perilaku manisia dalam menegakkan iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam mengenal diri pribadi (hal 143).
Urgensi Literasi
Buku ini tentu menyimpan sebuah harapan terkait dengan literasi pencak
silat masih awam dalam pandangan masyarakat. Kesedarhanaan yang terdapat dalam
pencak silat ternuata lekat dengan landasan filosofis, agama, serta kebudayaan.
Persaudaraan Setia Hati sudah mampu menjelaskan panjang lebar terkait hal
tersebut. Apalagi, jika lebih didalami variasi lain pencak silat di Indonesia yang
sangat unik dan beragam.
Literasi pencak silat Indonesia justru diawali oleh perempuan asal Italia Rosalia
Sciortino. Terutama pasca wafatnya jawara silat legendaris asal Bondowoso,
O’ong Maryono yang tidak lain merupakan suaminya.
Sebagai aktivis, dia memiliki jaringan yang luas untuk sosialisasi pencak
silat sebagai sebuah karya literatur. Dia
menghibahkan banyak sekali buku-buku berkaitan dengan literasi pencak silat
yang digawanginya sendiri, termasuk karya satu ini merupakan Hibah dari O’ong
Maryono.
Literasi selayaknya mengawali pencak silat terintegrasi yang mulai
terasingkan dari kebudayaan Indonesia. Semoga!
__Irfan Ansori, Alumni Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar