Urgensi Literasi Pencak Silat - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 03 Maret 2016

Urgensi Literasi Pencak Silat


Judul Buku : 
Pencak Silat Setia Hati; Sejarah, Filosofi, Adat Istiadat
Penulis :

Agus Mulyana
Penerbit :

Tulus Pustaka, Bandung, 2016
Tebal Buku :

xvi + 216 hlm; 14,5 x 20,5 cm

Pencak silat merupakan olahraga seni khas Indonesia. Selama ini, urusan silat tidak hanya menjadi kesenian sekaligus olahraga. Perguruan silat juga mengurusi tentang hakikat kehidupan. Oleh karenanya, filsafat kehidupan dan kebudayaan manusia menjadi dasar dari perguruan silat.

Namun, keakraban masyarakat terhadap urusan kebudayaan pada silat masih belum banyak diakui. Pengakuan pencak silat hanya sebagai olahraga yang dipertandingkan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) bahkan SEA Games.

Buku karya Agus Mulyana ini mencoba memuat ulasan terkait dengan perguruan silat Persaudaraan Setia Hati (PSH). Ulasan dimulai dengan pertanyaan “Apakah Persaudaraan Setia Hati?” Penjelasannya diuraikan secara jelas dalam Sub-Bab terkait masyarakat Setia Hati; Hakikat Persaudaraan; Arti Setia Hati; Falsafah; Sapta Wasita Tama; serta penjelasan mengenai pembukuan hasil penelitian ini.

Sosok Ki Ngabehi Surodiwiryo menjadi aktor penting bagi sejarah PSH. Oleh karenanya, pada Bab ke 2 buku ini banyak dibahas terkait dengan jalan kehidupan dari sang pendiri PSH ini. Adat istiadat masyarakat Setia hati juga menjadi bahasan pada Bab selanjutnya.

Adapun, hal-hal berbau rahasia dari PSH diuraikan secara khusus dalam Bab 4. Serta akhirnya dilengkapi dengan nilai-nilai filosofis yang terdapat pada SH sebagai sebuah persaudaraan pada akhir Bab.

Kaya Filosofi Budaya
Meski begitu, ulasan penulis justru lebih banyak menyinggung terkait dengan makna Persaudaraan, dibandingkan dengan pencak silat itu sendiri. Bahkan itu menjadi benang merah penulisan buku hasil penelitian ini.

Bangunan Persaudaraan SH tidak mampu ditandingi oleh identitas pencak silat semata. Persaudaraan SH sangat berbeda dengan organisasi sosial maupun partai politik, terutama dalam hal AD dan ART. Selain itu, PSH pun tidak memiliki pengurus pusat, wilayah, cabang serta ranting. Termasuk kegiatan-kegiatan organisasi lainnya, seperti rapat dan pelantikan. Pembukuan anggota juga menjadi budaya yang dihindari.

Dalam hal manajemen keuangan, anggota SH tidak melakukan iuran atau mendapatkan subsidi. SH pun tidak berharap memiliki asosiasi dengan badan, federasi serta utusan wakil yang duduk pada badan tertentu. Kebersatuan mereka tiada lain didasarkan pada kebatinan serta ilmu menuju sebuah keluhuran batin, guna mencapai kesempurnaan kehidupan. Ikatan yang mereka bangun dilakukan secara sukalera dalam untuk hidup dalam satu keluarga.

Meski begitu, bukan berarti tidak muncul friksi di organisasi ini. Terdapat PSH lain yang bernaung dibawah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Mereka berpandangan aspek legalitas serta formaitas sebagai alasan utama pembentukan PSH sebagai badan organsisasi. Namun spirit organisasi yang dibangun bukan pengertian organisasi dalam pandangan umum. Beberapa warga SH bahkan mendirikan rumpun-rumpun internasional, sejauh ini Singapura dan Belanda yang sudah memiliki eksistensi yang jelas terkait dengan hal ini.

Dalam tradisi PSH, persaudaraan biasa mampu bertransformasi menjadi persaudaraan kandung melalui tradisi Keceran. Dorongan rohani untuk berbuat lurus, pikiran terbuka, serta terinspirasi proses pandang dan alam pikiran sebagai manusia menjadi inti dari kehadiran tradisi Keceran tersebut. (hal. 127)  Tradisi tersebut dilengkapi dengan penyembeliaan seekor ayam jago untuk dimakan bersama. Ditambah lagi kain putih (mori), air putih, kemenyan, uang logam tiga jenis, dan tumpeng robyong.

PSH melarang mengajarkan silat kepada mereka yang belum masuk ke dalam lingkup Persaudaraan. Bahkan hal ini berlaku bagi anak serta keluarga sendiri. Karena silat bukan menjadi tujuan utama dalam PSH, melainkan sebuah kelengkapan untuk kemantapan pendalaman sebagai manusia Tuhan yang utuh, berguna bagi masyarakat, sanggup mengutamakan kepentungan umum, memihak kebenaran, setia kepada sumpah dengan berusaha memahami falsafah hidup SH yang diterima secara sadar dan sukalera.

Cita-cita kemanusiaan yang luhur dan mulia menjadi inti dari penguasaan silat PSH. Bagi mereka, silat juga memiliki sisi mematikan dengan mudah dikuasai oleh angkara murka yang tak terkendalikan oleh sifat-sifat luhur. Berbagai aliran yang menjadi teknik utama dari pencak silat PSH antara lain adalah, Silek Tuo Minangkabau, aliran Aceh, Maenpo Sunda, Betawi, Kuntao Tionghoa. Kesemua inti dari teknik tersebut kemudian disusun menjadi 36 jurus.

Semua tidak lain merupakan pengembangan dari pendiri SH Ki Ngabehi Surodiwiryo yang telah berburu ilmu silat ke pelbagai penjuru nusantara, dari Bandung, Batavia, Jombang, Bengkulu, Padang, serta Lhok Seumawe. 

Sedangkan Pencak Silat justru baru dijelaskan pada halaman 140. Sebagaimana silat berasal dari kata silaturahim yang berarti menyambung dan menghimpun.  Silat diisyaratkan pada Salat juga Fusilat (Yang Dijelaskan). Secara rohaniah, perilaku manisia dalam menegakkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam mengenal diri pribadi (hal 143).

Urgensi Literasi
Buku ini tentu menyimpan sebuah harapan terkait dengan literasi pencak silat masih awam dalam pandangan masyarakat. Kesedarhanaan yang terdapat dalam pencak silat ternuata lekat dengan landasan filosofis, agama, serta kebudayaan. Persaudaraan Setia Hati sudah mampu menjelaskan panjang lebar terkait hal tersebut. Apalagi, jika lebih didalami variasi lain pencak silat di Indonesia yang sangat unik dan beragam.

Literasi pencak silat Indonesia justru diawali oleh perempuan asal Italia Rosalia Sciortino. Terutama pasca wafatnya jawara silat legendaris asal Bondowoso, O’ong Maryono yang tidak lain merupakan suaminya.

Sebagai aktivis, dia memiliki jaringan yang luas untuk sosialisasi pencak silat sebagai sebuah karya literatur.  Dia menghibahkan banyak sekali buku-buku berkaitan dengan literasi pencak silat yang digawanginya sendiri, termasuk karya satu ini merupakan Hibah dari O’ong Maryono.

Literasi selayaknya mengawali pencak silat terintegrasi yang mulai terasingkan dari kebudayaan Indonesia. Semoga!

__Irfan Ansori, Alumni Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar