Komentar Perihal Pemimpin Non-Muslim Sesatkah Ustad Maulana? - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 12 November 2015

Komentar Perihal Pemimpin Non-Muslim Sesatkah Ustad Maulana?

Ustad Maulana yang kondang dengan pandu sorak “jamaaah, ooh jamaah” mengungkit isu yang sejak berabad-abad lalu sudah menjadi perkara ikhtilaf di kalangan ulama.

Dikabarkan, dia menyatakan memilih pemimpin politik seperti mengangkat pilot yang nothing to do dengan agama. Sontak pernyataannya membuat kalangan yang selama ini meyakini ke-holistik-an Islam (syumûliyyatul Islâm) geram, meminta dia bertobat, dibumbui dengan ancaman-ancaman malapetaka yang akan menimpanya karena melecehkan agama dan menyampaikan pikiran sesat. Bagaimana mendudukkan persoalan ini dan bagaimana tafsir ayat QS. an-Nisa’ ayat 144 dan QS. al-Maidah ayat 51?

Beberapa poin berikut mudah-mudahan dapat membantu memahami masalah, menjernihkan pikiran dan meluruskan sikap :

1. Indonesia bukan negara Islam, yang secara formal menjadikan Islam sebagai dasar negara. Indonesia adalah negara-bangsa (nation-state), yang isinya (buat gampangnya saja) PBNU yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

Konsep ini (sekali lagi buat gampangnya saja) disosialisasikan sebagai 4 Pilar oleh almarhum Pak Taufik Kiemas. Hubungan Islam dan politik, agama dan negara, Islam dan nasionalisme telah tuntas dibahas dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas dan Muktamar Situbondo tahun 1983-1984. NU menyatakan NKRI, dengan Pancasila dan Bhinka Tunggal Ika, merupakan bentuk dan capaian final perjuangan umat Islam.

Artinya, tidak perlu lagi berpikir dan memperjuangkan Negara Islam atau Negara Khilafah. Seluruh aspirasi umat Islam harus disampaikan dalam kerangka NKRI. Keputusan ini merupakan ijtihad penting yang memuluskan proses sintesis Islam-nasionalisme, yang di beberapa tempat, gagal dilakukan.

Oleh NU, NKRI disebut sebagai mu’ahadah wathaniyyah (perjanjian nasional) dan wajib bagi setiap Muslim memegangi janji sebagaimana ditegaskan QS. al-Isra’ ayat 34: ‘wa awfû bil ‘ahdi innal ‘ahda kâna masûla’ (penuhilah janji karena janji pasti dimintai pertanggungjawabannya). Keputusan NU adalah ijma’ yang diperoleh dari ijtihad jama’i para ulama NU. Ijma’, sebagaimana disepakati ulama, adalah sumber hukum ketiga setelah al-Quran, as-Sunnah, dan berikutnya Qiyas.

Jadi, jika ada yang menyatakan “Siapa yang mengikuti Pancasila akan binasa” dan “Pancasila tidak ada dalilnya, Khilafah jelas sumbernya,” itu sama halnya menganggap semua ulama NU bodoh, karena bersepakat dalam kebodohan. Ulama NU dianggap tidak tahu dalil karena menerima Pancasila. Padahal, resepsi NU terhadap Pancasila merupakan hasil pergumulan panjang, produk dari adu dalil dalam bahtsul masail yang alot.

2. Konsekuensi dari ijma’ ini adalah menerima dan menjalankan konstitusi sebagai norma yang mengatur kehidupan publik. Aspirasi-aspirasi publik umat Islam, kendatipun mayoritas, harus disampaikan dalam koridor konstitusi dan peraturan turunannya. Publik maksudnya adalah sektor yang mengatur banyak orang, yang majemuk, yang berbhineka, yang tidak dibedakan berdasarkan latar belakang suku, agama, ras dan golongan.

3. Konstitusi kita jelas tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan. Secara politis, siapapun warga negara berhak memilih dan dipilih, apapun agama, keyakinan dan warna kulitnya. Dengan kaca mata ini, pernyataan Ustadz Maulana benar.

Muslim di negara Pancasila boleh memilih pemimpin non-Muslim, asal dianggap tidak akan secara nyata menghalangi umat Islam menjalankan ibadah dan ajaran agama. Sejauh tidak menganjurkan kemunkaran dan menghalangi hak umat Islam menjalankan ibadah, umat Islam wajib patuh dan bahkan membela pemerintahan non-Muslim jika ada serangan dari pihak luar.

Hal ini sebagaimana diputuskan oleh Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Rujukannya, waktu itu, kitab Bughyatul Mustarsyidîn, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi.

4. Lalu bagaimana kita memahami ayat dari QS. an-Nisa ayat 144 dan QS. al-Maidah ayat 51 yang sering dikutip sebagai dalil keharaman memilih pemimpin non-Muslim? QS. an-Nisa' ayat 144 terjemahnya berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin.

” QS. al-Maidah ayat 51 terjemahannya berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.”

Terjemahan ini saya kutip dari mushaf terjemahan Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran. Ada satu kata yang diterjemahkan secara berbeda, yaitu kata ‘awliyâ.’ Di QS. an-Nisa’ ayat 144 diterjemahkan sebagai pemimpin, di QS. al-Maidah ayat 51 diterjemahkan sebagai teman setia. Awliyâ adalah jamak (bentuk plural) dari kata waly. Menurut Kamus al-Munjid, waly berasal dari kata walâ-yaly-walyan wa wilâyatan artinya 'danâ minhu wa qaruba' (dekat dengan sesuatu).

Musytaq dari kata ini adalah kata waly, bentuk pluralnya awliya’, artinya kekasih, teman dekat, penolong, tetangga, dan pengikut. Musytaq dari kata yang sama mawlâ, bentuk pluralnya mawâly, artinya penguasa, tuan, hamba, kekasih, sahabat, dan sekutu. Berbagai kata yang musytaq dari kata waly semua menunjukkan kedekatan, baik sebagai teman, tetangga, sekutu, pembantu maupun pemimpin.

Tentu subjektif sebagai keyakinan penafsir jika kata yang sama diberi penekanan arti yang berbeda, sebagaimana terjemahan di atas: awliya’ diterjemahkan sebagai pemimpin dalam QS. an-Nisa' ayat 144, dan diterjemahkan sebagai teman setia dalam QS. al-Maidah ayat 51. Begitu juga kata mawlâ. Dalam hadits yang sangat terkenal di Ghadir Khum, Rasul bersabda: “man kuntu mawlâhu fa ‘aliyyun mawlâhu” (barangsiapa menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali harus juga menjadi mawla-nya).

Orang-orang Syiah mengartikan mawla sebagai sebagai pemimpin politis. Dari pengertian ini muncul konsep imamah yang melekat di Sayyidina Ali Ra. dan keturunannya. Kelompok ekstrem Syiah bahkan menyatakan, imamah hanya melekat pada Ali dan keturunannya, karena itu kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu anhum batal.

Bagi tafsir Sunni yang saya ikuti, mawla tidak harus diartikan sebagai pemimpin politis. Mawla berarti sangat luas, yaitu teman, kekasih, dan sahabat yang tidak harus selalu merujuk kepada definisi politis. Dalam doktrin Sunni, kepemimpinan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umat, Utsman, dan Ali ) semua sah dan wajib ditaati.

5. Kembali kepada tafsir QS. an-Nisa’ ayat 144 dan QS. al-Maidah ayat 51, saya tidak banyak menemukan elaborasi penafsiran ayat ini dari kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir ath-Thabary karya Ibn Jarir ath-Thabary, Tafsir ad-Durr al-Mantsur karya Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Fakhr ar-Razi, Tafsir al-Qurthuby, Tafsir Fath al-Qadir karya asy-Syaukani, dst. Saya temukan elaborasi yang agak panjang justru dari Tafsîr al-Manâr karya Rashed Ridha.

Dalam menafsirkan QS. an-Nisa’ ayat 144, Ridha menghubungkannya dengan QS. al-Maidah ayat 51, yaitu larangan tolong-menolong dengan orang kafir dalam perkara yang menafikan kemaslahatan umat Islam. Menurutnya, larangan berlaku pada kerjasama dan tolong-menolong dengan orang-orang kafir yang memerangi umat Islam. Adapun mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan Islam sebagai pelayan/pemimpin (istikhdâm adz-dzimmiyyin fi al-hukûmah al-Islâmiyyah) tidak termasuk dilarang, karena para sahabat dan dinasti-dinasti Islam di zaman Umayyah dan Abbasiyyah juga melakukan hal yang sama (lihat Rashed Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Darul Ma’rifah, 1993 juz 5 hal. 472-73).

Pandangan Ridha ini sejalan dengan putusan para ulama NU pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Sebuah hadits riwayat Muslim menguatkan pandangan ini. Rasul pernah menyuruh pulang seorang kafir yang menawarkan bantuan menjelang perang Badar. Dia dikenal sebagai pria hebat, ahli perang yang gagah berani. Rasul menyatakan: "farji’ falan asta’ina bi musyrikin."

Konteksnya adalah perang. Mafhum mukhalafahnya, larangan tidak berlaku dalam situasi damai di luar perang. Jika seorang kafir berlaku baik dan dibutuhkan tenaganya, boleh direkrut sebagai mitra. Ini padangan Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan jumhur (lihat Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, juz 12, hal. 198-99).

6. Saya perkirakan isu yang dilontarkan Ustadz Maulana, yang direaksi sangat keras oleh sebagian kalangan, akan mengalami eskalasi setahun ke depan, menjelang nominasi Ahok sebagai calon gubernur potensial pada pemilukada DKI 2017. Saya pribadi belum tentu mendukung Ahok, tetapi Ahok harus dibela dari perlakukan diskriminasi rasial sesuai amanat konstitusi. Terlahir sebagai seorang etnis keturunan Tionghio adalah takdir yang tidak bisa ditawar Ahok.

Karena itu, jika mau menyerang Ahok, seranglah pilihan kebijakan dan akhlaknya sebagai pejabat publik, bukan takdir primordial yang tidak bisa dipilihnya sendiri. Wallâhu a’lam.

Penulis : M. Kholid Syeirazi
Sumber : Muslimedianews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar