
Dikabarkan,
dia menyatakan memilih pemimpin politik seperti mengangkat pilot yang nothing
to do dengan agama. Sontak pernyataannya membuat kalangan yang selama ini
meyakini ke-holistik-an Islam (syumûliyyatul Islâm) geram, meminta dia
bertobat, dibumbui dengan ancaman-ancaman malapetaka yang akan menimpanya
karena melecehkan agama dan menyampaikan pikiran sesat. Bagaimana mendudukkan
persoalan ini dan bagaimana tafsir ayat QS. an-Nisa’ ayat 144 dan QS. al-Maidah
ayat 51?
Beberapa
poin berikut mudah-mudahan dapat membantu memahami masalah, menjernihkan
pikiran dan meluruskan sikap :
1.
Indonesia bukan negara Islam, yang secara formal menjadikan Islam sebagai dasar
negara. Indonesia adalah negara-bangsa (nation-state), yang isinya (buat
gampangnya saja) PBNU yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Konsep
ini (sekali lagi buat gampangnya saja) disosialisasikan sebagai 4 Pilar oleh
almarhum Pak Taufik Kiemas. Hubungan Islam dan politik, agama dan negara, Islam
dan nasionalisme telah tuntas dibahas dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU)
pada Munas dan Muktamar Situbondo tahun 1983-1984. NU menyatakan NKRI, dengan
Pancasila dan Bhinka Tunggal Ika, merupakan bentuk dan capaian final perjuangan
umat Islam.
Artinya,
tidak perlu lagi berpikir dan memperjuangkan Negara Islam atau Negara Khilafah.
Seluruh aspirasi umat Islam harus disampaikan dalam kerangka NKRI. Keputusan
ini merupakan ijtihad penting yang memuluskan proses sintesis
Islam-nasionalisme, yang di beberapa tempat, gagal dilakukan.
Oleh
NU, NKRI disebut sebagai mu’ahadah wathaniyyah (perjanjian nasional) dan wajib
bagi setiap Muslim memegangi janji sebagaimana ditegaskan QS. al-Isra’ ayat 34:
‘wa awfû bil ‘ahdi innal ‘ahda kâna masûla’ (penuhilah janji karena janji pasti
dimintai pertanggungjawabannya). Keputusan NU adalah ijma’ yang diperoleh dari
ijtihad jama’i para ulama NU. Ijma’, sebagaimana disepakati ulama, adalah
sumber hukum ketiga setelah al-Quran, as-Sunnah, dan berikutnya Qiyas.
Jadi,
jika ada yang menyatakan “Siapa yang mengikuti Pancasila akan binasa” dan
“Pancasila tidak ada dalilnya, Khilafah jelas sumbernya,” itu sama halnya
menganggap semua ulama NU bodoh, karena bersepakat dalam kebodohan. Ulama NU
dianggap tidak tahu dalil karena menerima Pancasila. Padahal, resepsi NU
terhadap Pancasila merupakan hasil pergumulan panjang, produk dari adu dalil
dalam bahtsul masail yang alot.
2.
Konsekuensi dari ijma’ ini adalah menerima dan menjalankan konstitusi sebagai
norma yang mengatur kehidupan publik. Aspirasi-aspirasi publik umat Islam,
kendatipun mayoritas, harus disampaikan dalam koridor konstitusi dan peraturan
turunannya. Publik maksudnya adalah sektor yang mengatur banyak orang, yang
majemuk, yang berbhineka, yang tidak dibedakan berdasarkan latar belakang suku,
agama, ras dan golongan.
3.
Konstitusi kita jelas tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan suku,
agama, ras dan antargolongan. Secara politis, siapapun warga negara berhak
memilih dan dipilih, apapun agama, keyakinan dan warna kulitnya. Dengan kaca
mata ini, pernyataan Ustadz Maulana benar.
Muslim
di negara Pancasila boleh memilih pemimpin non-Muslim, asal dianggap tidak akan
secara nyata menghalangi umat Islam menjalankan ibadah dan ajaran agama. Sejauh
tidak menganjurkan kemunkaran dan menghalangi hak umat Islam menjalankan
ibadah, umat Islam wajib patuh dan bahkan membela pemerintahan non-Muslim jika
ada serangan dari pihak luar.
Hal
ini sebagaimana diputuskan oleh Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936.
Rujukannya, waktu itu, kitab Bughyatul Mustarsyidîn, karya Sayyid Abdurrahman
bin Muhammad bin Husein Ba’lawi.
4.
Lalu bagaimana kita memahami ayat dari QS. an-Nisa ayat 144 dan QS. al-Maidah
ayat 51 yang sering dikutip sebagai dalil keharaman memilih pemimpin
non-Muslim? QS. an-Nisa' ayat 144 terjemahnya berbunyi: “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain
dari orang-orang mukmin.
”
QS. al-Maidah ayat 51 terjemahannya berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu,
mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa diantara kamu yang
menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.”
Terjemahan
ini saya kutip dari mushaf terjemahan Yayasan Penyelenggara Penerjemah
al-Quran. Ada satu kata yang diterjemahkan secara berbeda, yaitu kata ‘awliyâ.’
Di QS. an-Nisa’ ayat 144 diterjemahkan sebagai pemimpin, di QS. al-Maidah ayat
51 diterjemahkan sebagai teman setia. Awliyâ adalah jamak (bentuk plural) dari
kata waly. Menurut Kamus al-Munjid, waly berasal dari kata walâ-yaly-walyan wa
wilâyatan artinya 'danâ minhu wa qaruba' (dekat dengan sesuatu).
Musytaq
dari kata ini adalah kata waly, bentuk pluralnya awliya’, artinya kekasih, teman
dekat, penolong, tetangga, dan pengikut. Musytaq dari kata yang sama mawlâ,
bentuk pluralnya mawâly, artinya penguasa, tuan, hamba, kekasih, sahabat, dan
sekutu. Berbagai kata yang musytaq dari kata waly semua menunjukkan kedekatan,
baik sebagai teman, tetangga, sekutu, pembantu maupun pemimpin.
Tentu
subjektif sebagai keyakinan penafsir jika kata yang sama diberi penekanan arti
yang berbeda, sebagaimana terjemahan di atas: awliya’ diterjemahkan sebagai
pemimpin dalam QS. an-Nisa' ayat 144, dan diterjemahkan sebagai teman setia
dalam QS. al-Maidah ayat 51. Begitu juga kata mawlâ. Dalam hadits yang sangat
terkenal di Ghadir Khum, Rasul bersabda: “man kuntu mawlâhu fa ‘aliyyun
mawlâhu” (barangsiapa menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali harus juga menjadi
mawla-nya).
Orang-orang
Syiah mengartikan mawla sebagai sebagai pemimpin politis. Dari pengertian ini
muncul konsep imamah yang melekat di Sayyidina Ali Ra. dan keturunannya.
Kelompok ekstrem Syiah bahkan menyatakan, imamah hanya melekat pada Ali dan keturunannya,
karena itu kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu anhum batal.
Bagi
tafsir Sunni yang saya ikuti, mawla tidak harus diartikan sebagai pemimpin
politis. Mawla berarti sangat luas, yaitu teman, kekasih, dan sahabat yang
tidak harus selalu merujuk kepada definisi politis. Dalam doktrin Sunni,
kepemimpinan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umat, Utsman, dan Ali ) semua
sah dan wajib ditaati.
5.
Kembali kepada tafsir QS. an-Nisa’ ayat 144 dan QS. al-Maidah ayat 51, saya
tidak banyak menemukan elaborasi penafsiran ayat ini dari kitab-kitab tafsir
klasik seperti Tafsir ath-Thabary karya Ibn Jarir ath-Thabary, Tafsir ad-Durr
al-Mantsur karya Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Fakhr ar-Razi, Tafsir
al-Qurthuby, Tafsir Fath al-Qadir karya asy-Syaukani, dst. Saya temukan
elaborasi yang agak panjang justru dari Tafsîr al-Manâr karya Rashed Ridha.
Dalam
menafsirkan QS. an-Nisa’ ayat 144, Ridha menghubungkannya dengan QS. al-Maidah
ayat 51, yaitu larangan tolong-menolong dengan orang kafir dalam perkara yang
menafikan kemaslahatan umat Islam. Menurutnya, larangan berlaku pada kerjasama
dan tolong-menolong dengan orang-orang kafir yang memerangi umat Islam. Adapun
mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan Islam sebagai pelayan/pemimpin
(istikhdâm adz-dzimmiyyin fi al-hukûmah al-Islâmiyyah) tidak termasuk dilarang,
karena para sahabat dan dinasti-dinasti Islam di zaman Umayyah dan Abbasiyyah
juga melakukan hal yang sama (lihat Rashed Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut:
Darul Ma’rifah, 1993 juz 5 hal. 472-73).
Pandangan
Ridha ini sejalan dengan putusan para ulama NU pada Muktamar NU di Banjarmasin
tahun 1936. Sebuah hadits riwayat Muslim menguatkan pandangan ini. Rasul pernah
menyuruh pulang seorang kafir yang menawarkan bantuan menjelang perang Badar.
Dia dikenal sebagai pria hebat, ahli perang yang gagah berani. Rasul
menyatakan: "farji’ falan asta’ina bi musyrikin."
Konteksnya
adalah perang. Mafhum mukhalafahnya, larangan tidak berlaku dalam situasi damai
di luar perang. Jika seorang kafir berlaku baik dan dibutuhkan tenaganya, boleh
direkrut sebagai mitra. Ini padangan Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan
jumhur (lihat Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah
al-Islâmiyyah, 1930, juz 12, hal. 198-99).
6.
Saya perkirakan isu yang dilontarkan Ustadz Maulana, yang direaksi sangat keras
oleh sebagian kalangan, akan mengalami eskalasi setahun ke depan, menjelang
nominasi Ahok sebagai calon gubernur potensial pada pemilukada DKI 2017. Saya
pribadi belum tentu mendukung Ahok, tetapi Ahok harus dibela dari perlakukan
diskriminasi rasial sesuai amanat konstitusi. Terlahir sebagai seorang etnis
keturunan Tionghio adalah takdir yang tidak bisa ditawar Ahok.
Karena
itu, jika mau menyerang Ahok, seranglah pilihan kebijakan dan akhlaknya sebagai
pejabat publik, bukan takdir primordial yang tidak bisa dipilihnya sendiri.
Wallâhu a’lam.
Penulis
: M. Kholid Syeirazi
Sumber
: Muslimedianews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar