![]() |
Ilustrasi: Google |
Pagi-pagi
sekali Sam sudah datang dengan
kotak kardus berisi seratus anak itik. Berusia sekitar satu minggu. Sam bahagia dan bangga bisa membeli anak itik sebanyak itu. Tabungan
yang dikumpulkannya rupiah demi rupiah, dari
upahnya bekerja sebagai tenaga
serabutan di gudang mebel milik wong
Londo.
Sebagai tenaga
serabutan sebenarnya lelaki berusia 40 tahun itu betah. Tapi inilah
pekerjaan satu-satunya, yang didapatnya, setelah dia mencari door
to door, ke sana ke mari. Ia
dulu bekerja di penggergajian kayu. Kerja di sawmill memang berat, tapi kantongnya pun berat.
Borongan. Semakin banyak kayu yang
digergajinya, semakin banyak uang mengalir di dompet.
Bertahun-tahun
Sam bekerja di penggergajian. Hasilnya lumayan. Bisa memperbaiki rumah
warisan mertua. Mengganti tegel ubin
dengan keramik. Bikin dapur dan sumur bor. Bisa memberi kehidupan yang layak
pada anak dan istrinya. Tapi ketika
penggegajian tempatnya bekerja dijual bosnya, ia di PHK. Ada pesangon, tapi tak
banyak. Ketika tiga bulan terlewati uang
itu habis, sementara pekerjaan belum didapat.
Baru sebulan
berikutnya kemudian Sam bekerja di serkelan, mesin pembelah kayu. Tapi ia tak betah. Lalu pindah dari satu brak ke brak lain. Sampai terdampar di perusahaan pengolahan
kayu ini. Lowongan di mesin sudah penuh. Yang dibutuhkan cuma tenaga serabutan.
Daripada menganggur, untuk menyambung hidup Sam pun menerima
tawaran itu.
Bekerja sebagai tenaga
serabutan berat. Gajinya lebih sedikit dibanding kerja di mesin. Tenaga serabutan banyak
mengandalkan otot. Disuruh ini itu, memindahkan perabotan mebel, diajak membuang grajen dan limbah kayu, atau disuruh membeli amplas atau tinner. Atau yang lainnya.
Sam
berpikir, tak selamanya bekerja sebagai tenaga serabutan. Ia akhirnya mengumpulkan
uangnya untuk beli anak itik. Sam bosan
jadi kuli. Sam pernah melihat peternak itik yang sukses dan
kaya. Beruang banyak. Punya tanah
luas, rumah megah, mobil mewah. Ia ingin mengikuti jejak peternak itu.
Hari Jumat Legi Sam memulainya, dengan membeli seratus anak itik!
* * *
Sebuah kandang itik yang lumayan
besar. Panjang dua meter, lebar ada enam meter. Tanpa penyekat. Itik- itik bebas makan, minum dan berbaris ke sana- ke
mari.
Setiap pagi sebelum berangkat
kerja Sam memberi makan itik. Sepulang
kerja memberinya makan
lagi. Seharusnya itik diberi makan tiga kali sehari. Tapi karena tak ada
waktu, mau apalagi.
Sebenarnya di rumah ada Emak yang
bisa memberi makan bebek. Tapi perempuan yang pernah
mengandung Sam itu alergi pada kotoran
dan bulu bebek. Pernah sekali
memberi makan, lalu malah
muntah-muntah. Sejak itu tak pernah lagi membantu memberi makan bebek.
Hari-hari berlalu. Itik semakin besar. Semakin bergas berlarian. Tapi
ada satu dua itik yang mati, karena
terinjak temannya ketika berebutan makan. Ini hal wajar.
* * *
Sam memandang nelangsa dua ekor anak itik yang mati. Dibuangnya bangkai unggas itu di pekarangan belakang rumahnya yang berbatasan dengan sepetak sawah yang luas.
“Mengapa bangkai meri itu tak kau
kubur saja, ” tanya Emak.
“Tak perlu, Mak. Cuma anak itik.”
“Sudah berapa anak itikmu mati?”
“Sekitar sepuluh ekor, Mak.”
“Seharusnya kamu bertanya pada
peternak yang kau beli itiknya itu. Mungkin itikmu terkena sakit,
atau…”
“Hanya terinjak teman-temannya
ketika berebutan makan, Mak.”
“Tapi….”
“Saya lebih tahu soal cara
memelihara itik daripada Mak!”
Emak tercenung mendengar jawaban Sam
yang bernada keras. Tajam. Keras. Tak mau disalahkan. Padahal ia hanya memberi nasihat.
“Ya, terserah kamu, Sam,”
Emak memilih mengalah. “Itik-itik itu memang milik kamu.”
Seiring Sam memelihara bebek, seiring ia semakin giat bekerja. Sam sering berkhaya, seandainya
itik-itiknya nanti sudah bertelor. Berapa banyak telor yang dihasilkan saban
hari? Berapa rupiah yang yang didapatnya dari
penjualan telor-telor itu? Sam sibuk menghitung laba. Sam berpikir, seandainya usaha ternaknya sukses,
bisa bekerja di rumah. Mengurusi itik-itiknya.
Sam ingin jadi peternak itik sukses.
Bos. Bukan sebagai kuli serabutan yang bisa disuruh angkat ini angkat itu, pergi ke sana-ke mari.
Sam kerap sebal. Tapi dia harus
patuh . Harus menurut. Agar dapat uang.
Untuk mengirim jatah bulanan
Wulansari, anak semata wayangnya, hasil pernikahan dengan Kumaladewi, mantan
istrinya. Wanita ayu yang memilih memburaikan ikatan perkawinan yang sudah terajut lima tahun.
Sejoli yang memasuki gerbang pernikahan karena dijodohkan. Di tengah
jalan belahan jiwa itu memilih bubar jalan, dengan alasan diantara mereka tak ada lagi
kecocokkan.
Alasan belaka. Dasar wanita mata duitan.
Sam tahu, mengapa bojo meninggalkannya. Masalah ekonomi adalah penyulutnya. Kumaladewi tak bisa menerima hidup kekurangan.
Ketika Sam kerja di penggegajian kayu, upahnya lebih dari
cukup, sang Kumaladewi hati senang. Tapi ketika Sam terkena PHK dan kerja mocok, si istri cemberut. Pertengkaran
kerap berlanjutan tak pernah berkediaman. Muara terdalam terjadi, belahan hati menggugat cerai!
Peristiwa itu telah tiga tahun
menangkup. Tapi luka hati belum
surut. Wulansari, anak semata wayangnya ikut mantan
mertua. Saban bulan Sam mengirim nafkah.
Konon mantan istrinya telah pergi
ke negeri seberang. Kerja jadi TKI.
Di kota Pesisir ini Sam melupakan lara hati dengan sibuk
bekerja dan berusaha. Sam sering berangan bila
kelak telah menjadi peternak bebek yang sukses, dan beruang banyak,
mungkin Kumaladewi mau rujuk? Karena jujur saja, Sam masih menncintai wanita yang telah menusuk
duri ke hatinya itu. Namun entah mengapa
dia masih memujanya.
Sam menguntai harapan sambil memberi
makan bebeknya. Semoga itik cepat besar. Semoga itikku cepat bertelor.
* * *
Usia itik-itik Sam telah 6
bulan lebih. Unggas yang semula berjumlah 100 kini tinggal
70 ekor. Lumayan jumlahnya. Tapi kasihan
pertumbuhannya. Mungkin karena
kekurangan makan, sebagian besar bebek
tumbuh kurus kering.
“Mengapa itik-itik kamu kurus kering, Sam?”
tanya Emak, prihatin
“Mana saya tahu, Mak. Saya sudah
memberinya makan.”
“Mungkin makanannya kurang bervitamin.”
“Saya sudah mencampur vitamin di
makanannya, Mak!”
“Tapi nyatanya…?”
“Saya lebih tahu soal cara
memelihara itik daripada Mak!”
Mendengar
perkataan itu Emak memilih mengunci
mulut. Terdiam, mengalah. Bukan berarti
kalah.
Tapi
ketika sebulan kemudian berlalu. Emak tak bisa membisu
ketika melihat itik-itik Sam belum bertelor juga. Emak menuduh Sam
keliru membeli bibit itik.
“Jangan-jangan
yang kau beli bebek betina bukan itik jantan!”
Sam pun
uring-uringan. “Saya lebih tahu soal
cara memelihara itik daripada Mak! Saya
akan menunggu sampai itik-itik itu bertelor!”
* *
*
Kota
Ukir, 2 September 2014
Catatan
Brak : gudang
Gergajen : serbuk
kayu
Sawmill :
penggergajan kayu
Mocok : kerja
tak menentu
Bergas : sehat
Meri : anak
itik