Cara Beternak Itik - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 27 September 2015

Cara Beternak Itik

Ilustrasi: Google
Oleh Kartika Catur Pelita

Pagi-pagi sekali Sam  sudah datang dengan kotak  kardus berisi seratus anak itik. Berusia sekitar satu minggu. Sam  bahagia dan bangga  bisa membeli anak itik sebanyak itu. Tabungan yang dikumpulkannya rupiah demi rupiah, dari  upahnya  bekerja sebagai tenaga serabutan di gudang mebel milik wong Londo.    
     
Sebagai tenaga serabutan sebenarnya lelaki berusia 40 tahun itu betah. Tapi inilah pekerjaan  satu-satunya,  yang didapatnya, setelah dia mencari door  to door,  ke sana ke mari. Ia dulu bekerja di penggergajian  kayu.  Kerja di sawmill  memang berat, tapi kantongnya pun berat. Borongan. Semakin banyak  kayu yang digergajinya, semakin banyak  uang  mengalir di dompet.       
      
Bertahun-tahun Sam bekerja di penggergajian. Hasilnya lumayan. Bisa memperbaiki rumah warisan  mertua. Mengganti tegel ubin dengan keramik. Bikin dapur dan  sumur bor. Bisa memberi kehidupan yang layak pada anak dan istrinya. Tapi  ketika penggegajian tempatnya bekerja dijual bosnya, ia di PHK. Ada pesangon, tapi tak banyak. Ketika tiga bulan terlewati  uang itu habis, sementara pekerjaan belum  didapat.
       
Baru sebulan berikutnya kemudian Sam bekerja di serkelan,  mesin pembelah kayu. Tapi  ia tak betah. Lalu pindah dari satu brak ke brak lain. Sampai  terdampar di perusahaan   pengolahan  kayu ini. Lowongan di mesin sudah penuh. Yang dibutuhkan cuma tenaga serabutan.
     
Daripada menganggur,  untuk menyambung hidup Sam pun menerima tawaran itu.
      
Bekerja sebagai tenaga serabutan  berat. Gajinya lebih  sedikit dibanding  kerja di mesin. Tenaga serabutan banyak mengandalkan otot.  Disuruh ini itu,  memindahkan perabotan mebel, diajak  membuang grajen dan limbah  kayu, atau disuruh membeli  amplas atau tinner. Atau yang lainnya.
       
Sam  berpikir, tak selamanya bekerja sebagai tenaga serabutan. Ia akhirnya  mengumpulkan  uangnya untuk beli anak itik. Sam  bosan    jadi kuli. Sam  pernah  melihat peternak itik yang sukses  dan  kaya. Beruang banyak. Punya  tanah luas, rumah megah, mobil mewah. Ia ingin mengikuti jejak peternak itu. Hari  Jumat Legi   Sam  memulainya, dengan membeli seratus anak itik!
                                               
* * *
      
Sebuah kandang itik yang lumayan besar. Panjang dua meter, lebar ada enam meter. Tanpa penyekat. Itik- itik  bebas makan, minum dan berbaris ke sana- ke mari.
     
Setiap pagi sebelum berangkat kerja  Sam memberi makan itik. Sepulang kerja  memberinya  makan  lagi. Seharusnya itik diberi makan tiga kali sehari. Tapi karena tak ada waktu, mau  apalagi.

Sebenarnya di rumah ada Emak yang bisa  memberi  makan bebek. Tapi perempuan yang pernah mengandung Sam itu alergi pada kotoran  dan bulu bebek. Pernah   sekali memberi makan, lalu   malah muntah-muntah. Sejak  itu  tak pernah lagi membantu memberi makan bebek.
       
Hari-hari berlalu. Itik  semakin besar. Semakin bergas berlarian. Tapi ada satu dua itik yang   mati, karena terinjak temannya ketika berebutan makan. Ini hal wajar.     
                                                    
* * *
      
Sam memandang nelangsa  dua ekor anak itik  yang mati. Dibuangnya bangkai  unggas itu di pekarangan belakang  rumahnya yang   berbatasan dengan sepetak sawah  yang luas.         
      
“Mengapa bangkai meri itu tak kau kubur saja, ” tanya Emak.
     
“Tak perlu, Mak. Cuma  anak itik.”
      
“Sudah berapa anak itikmu mati?”
      
“Sekitar sepuluh ekor, Mak.”      
      
“Seharusnya kamu bertanya pada peternak yang  kau beli  itiknya itu. Mungkin itikmu terkena sakit, atau…”
      
“Hanya terinjak teman-temannya ketika berebutan  makan, Mak.”
      
“Tapi….”
      
“Saya lebih tahu soal cara memelihara itik daripada Mak!”
       
Emak tercenung mendengar jawaban Sam yang  bernada keras. Tajam.   Keras. Tak mau disalahkan. Padahal ia  hanya memberi nasihat.
      
“Ya, terserah  kamu, Sam,”  Emak memilih mengalah. “Itik-itik itu memang milik kamu.”
       
Seiring Sam  memelihara bebek, seiring ia  semakin giat bekerja. Sam sering berkhaya, seandainya itik-itiknya nanti sudah bertelor. Berapa banyak telor yang dihasilkan saban hari? Berapa rupiah yang yang didapatnya dari  penjualan telor-telor   itu?  Sam sibuk menghitung laba.  Sam berpikir, seandainya usaha ternaknya sukses, bisa bekerja di  rumah. Mengurusi itik-itiknya. 
      
Sam ingin jadi peternak itik sukses. Bos. Bukan sebagai kuli serabutan yang bisa disuruh  angkat ini angkat itu,  pergi ke sana-ke  mari.  Sam  kerap sebal. Tapi dia harus patuh . Harus menurut.  Agar dapat  uang.  Untuk mengirim jatah bulanan  Wulansari, anak semata wayangnya, hasil pernikahan dengan Kumaladewi, mantan istrinya. Wanita ayu yang memilih memburaikan ikatan  perkawinan yang sudah terajut  lima tahun.
       
Sejoli yang  memasuki gerbang pernikahan  karena dijodohkan. Di  tengah  jalan belahan jiwa itu memilih bubar jalan, dengan  alasan diantara mereka tak ada lagi kecocokkan.
       
Alasan belaka. Dasar wanita  mata duitan.
        
Sam  tahu, mengapa bojo meninggalkannya. Masalah ekonomi adalah  penyulutnya. Kumaladewi  tak bisa menerima hidup kekurangan.
        
Ketika Sam  kerja di penggegajian kayu, upahnya lebih dari cukup, sang Kumaladewi hati senang. Tapi ketika Sam terkena PHK dan kerja mocok, si istri cemberut. Pertengkaran kerap berlanjutan tak pernah berkediaman. Muara terdalam terjadi,   belahan hati menggugat cerai!
       
Peristiwa itu telah tiga tahun menangkup. Tapi luka  hati   belum  surut. Wulansari,  anak  semata wayangnya  ikut  mantan mertua. Saban bulan Sam mengirim  nafkah. Konon  mantan istrinya telah  pergi  ke negeri seberang. Kerja jadi TKI.
       
Di kota Pesisir  ini Sam melupakan lara hati dengan sibuk bekerja dan berusaha. Sam sering berangan bila  kelak telah menjadi peternak bebek yang sukses, dan beruang banyak, mungkin Kumaladewi mau  rujuk?    Karena jujur saja, Sam  masih menncintai wanita yang telah menusuk duri ke hatinya itu. Namun  entah mengapa dia   masih  memujanya.
     
Sam menguntai harapan sambil memberi makan bebeknya. Semoga itik cepat besar. Semoga itikku  cepat bertelor.

* * *
      
Usia itik-itik Sam telah 6 bulan  lebih.  Unggas yang semula berjumlah 100 kini tinggal 70 ekor. Lumayan jumlahnya. Tapi kasihan   pertumbuhannya. Mungkin  karena kekurangan makan,  sebagian besar bebek tumbuh  kurus kering.
     
“Mengapa itik-itik  kamu kurus kering,  Sam?”   tanya Emak,  prihatin
      
“Mana saya tahu, Mak. Saya sudah memberinya makan.”
      
“Mungkin makanannya kurang  bervitamin.”
      
“Saya sudah mencampur vitamin di makanannya, Mak!”
      
“Tapi nyatanya…?”
      
“Saya lebih tahu soal cara memelihara itik  daripada Mak!”
       
Mendengar perkataan itu Emak memilih  mengunci mulut. Terdiam,  mengalah. Bukan berarti kalah.
       
Tapi ketika  sebulan  kemudian berlalu. Emak tak bisa membisu ketika  melihat itik-itik  Sam belum bertelor juga. Emak menuduh Sam keliru membeli bibit itik.
     
“Jangan-jangan yang  kau beli bebek betina bukan itik jantan!”
       
Sam pun uring-uringan. “Saya lebih tahu  soal cara memelihara itik daripada  Mak! Saya akan menunggu sampai itik-itik itu bertelor!”
                                                 * * *
Kota Ukir, 2 September 2014

Catatan
Brak : gudang
Gergajen : serbuk kayu
Sawmill : penggergajan kayu
Mocok : kerja tak menentu
Bergas : sehat
Meri : anak itik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar