Interdependensi PMII - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 05 Agustus 2015

Interdependensi PMII


Menelisik rentetan fakta sejarah, kita akan melihat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu bagian terpenting NU yang punya sumbangsih begitu besar.

Ini mengingat PMII merupakan wadah (organisasi) kemahasiswaan di NU yang berperan mengajarkan nilai-nilai ke-Islam-an ahlussunah wal jamaah ala NU di dunia kampus. Rentang tak kurang dari 11 tahun (1960-1972) PMII menjadi badan otonom (Banom) NU, kondisi kala itu PMII menjadi bagian yang dependen dengan NU.

Babak baru pun muncul saat NU menjadi bagian penting dalam dunia politik yang di kemudian hari menjadi salah satu jajaran partai terbesar di indonesia, melihat kondisi saat itu di mana dunia gerakan mahasiswa sudah semestinya menjaga jarak dengan parpol (red: politik praktis), maka PMII mencetuskan ide independen terhadap NU yang kemudian dikenal dengan “Deklarasi Murnajati”.

Deklarasi ini merupakan hasil Musyawarah Besar III tanggal 14-16 Juli 1972 di Murnajati, Lawang, Jawa Timur. Sikap independensi PMII kala itu merupakan keputusan yang tepat, mengingat PMII harus membuka ruang tanpa berpihak kepada salah satu partai politik.

Dengan independen, PMII juga mampu membuktikan diri untuk tidak dikebiri oleh kepentingan partai politik. Sikap PMII yang demikian inilah yang semestinya dipahami secara mendalam oleh kader dan NU, karena walapun independen, Independensi PMII kala itu hanya terlihat secara struktural, kultur dan ideologi PMII masih sama bahkan nyaris tak berbeda dengan NU, Ahlussunnah wal Jamaah lah yang merupakan benang merah antara PMII dengan NU dulu hinga kini.

Lagi-lagi sikap independen yang dimunculkan tak lain yakni untuk membuat tembok pemisah antara idealisme gerakan dengan politik praktis. “…’independensi’ itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran ahlussunah wal jama’ah ” (Mahbub Junaidi).

Baru kemudian saat NU memutuskan kembali ke khittah 1926 yakni kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dan tidak terjun di dunia politik, tepatnya saat Muktamar tahun 1984 di Situbondo yang dipimpin KH. Abdurrahman Wahid. PMII menyatakan diri Interdependen dengan NU.

Deklarasi Interdependensi ini terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta tahun 1991. Sehingga sejak saat itu PMII hanya terpisah secara struktural formal saja. Sebab kenyataannya, PMII punya persamaan-persamaan persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan dan mempunyai ikatan historis dengan NU sehingga PMII tidak akan pernah mungkin bisa terpisahkan dari NU.


Pola hubungan PMII-NU yang terekam sejarah setidaknya telah memberikan banyak pelajaran bagi kita semua, minimal kita memahami apa yang di lakukan PMII dari masa-kemasa tak lain untuk menjaga marwah PMII di kancah dunia gerakan. Termasuk masih eksisnya PMII sampai sekarang ini tidak lain ialah karena PMII selalu bersikap sesuai dengan tuntutan zaman. 

Pola hubungan yang interdependensi ini bertahan hingga kini, pola yang dibangun oleh kader PMII adalah pola yang sebenarnya sudah mengkristal dalam diri organisasi dan kadernya yang kemudian keduanya (PMII-NU) susah untuk direnggangkan, jelas, walapun PMII tidak di struktur NU, PMII takdzim ke kiai NU, kader-kader PMII masih menjalankan ritus yang dijalankan oleh NU baik di kegiatan formalnya ataupun non formal.


Nah, lebih dalam tentang sikap PMII di Muktamar ke 33 ini, pola hubungan PMII-NU masih saja dipertanyakan, keinginan untuk mengoreksi pola Interdependen menjadi Dependen dengan NU Masih saja terjadi. Namun bagi PMII Jepara, berdasarkan rapat Pleno Pengurus cabang tertanggal 29 Juli 2015 menyatakan PMII lebih arif jika Tetap Interdependen dengan NU.

Banyak sekali faktor yang mendasari kami (PMII Jepara) mengganggap Interdependensi masih menjadi pilihan yang tepat. Pertama, Tidak jelasnya asalan NU menarik PMII menjadi Banom ialah satu hal yang perlu dikoreksi manakala pola hubungan PMII-NU benar-benar dijadikan dependen.

PMII yang katanya “liar” kami rasa ini satu isu yang mengada-ngada, jelas seperti uraian di atas, justru pola sikap yang dilakukan PMII adalah pola kemajuan berfikir yang tercermin dalam dunia gerakan yang sepatutnya di apresiasi oleh Bapaknya (NU), karena Anaknya (PMII) telah mampu berfikir maju.

Pola fikir yang semacam inilah yang nantinya dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman. Justru yang harus diperdalam ialah kajian analisis tentang bagaimana kondisi PMII ketika nanti menjadi Dependen dengan NU.

Apakah PMII semakin baik sistem kaderisasi dan juga dalam memberikan sumbangsihnya kepada NU, bangsa dan negara ataukah malah sebaliknya, karena kami kira hal yang semacam ini bukan untuk ajang coba-coba, lagi-lagi kami harus dengan tegas mengatakan PMII (kami) adalah NU walapun dengan pola Interdependen.

Kedua, PMII jelas di rel NU. Ibarat penumpang kereta PMII masih naik kereta dengan gerbong yang mananya NU. Aktivitas yang dilakukan kader PMII dikesehariannya diakui ataupun tidak, selalu menginduk pada ulama-ulama NU, sehingga Ulama NU lah panutan yang selalu memberikan solusi terobosan ketika PMII membutuhkan petuah dan solusi, seringnya komunikasi dengan para kiai NU lah yang membuat cara fikir kader-kader PMII masih sama dengan NU.

Selain itu, PMII tetap bersama NU dalam memperjuangkan nilai-nilai Aswaja, sehingga mayoritas melihat Independensi PMII-NU hanya sekedar formalitas (struktural). Pada praktiknya, PMII dengan NU sangat kental dan tak terpisahkan.

Kader-kader PMII di banyak jenjang dan ruang menjadi penerus struktur NU, banom-banomnya, dan lembaga-lembaganya. Tunas-tunas PMII Lahir dari golongan NU baik dari pesantren ataupun dari keluarga NU, dan yang lebih menarik PMII masih menjalankan ritus yang sama sebagaimana lazimnya yang diajarkan para kiai NU.

Ketiga, jika yang kami sampaikan di atas disepakati, maka PMII mutlak mengajarkan apa yang diajarkan NU, sehingga pola interdependensi sebenarnya akan membuka ruang untuk meng-NU-kan banyak kader dari luar NU karena PMII membuka ruang untuk menerima kader yang tak punya KTA NU sekalipun dan kader-kader tersebut nantinya akan mengikuti pola kaderisasi PMII yang berlandaskan Aswaja ala NU.

Keempat, dalam hal lain. Pola interdependensi ini juga menjadi ruang yang baik dalam tersebarnya kader PMII di banyak ruang dan profesi, karena dengan pola ini PMII juga dapat diterima oleh kalangan di luar NU.

Pada akhirnya dengan pola Interdependensi tersebut, harapan besar kami PMII dapat semakin maju untuk memberikan sumbangsih nyata bagi NU dan Indonesia.

*) Ainul Mahfudh, Ketua PMII Cabang Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar