Menelisik rentetan fakta sejarah, kita akan melihat Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU)
merupakan salah satu bagian terpenting NU yang punya sumbangsih begitu besar.
Ini mengingat PMII merupakan wadah (organisasi) kemahasiswaan di
NU yang berperan mengajarkan nilai-nilai ke-Islam-an ahlussunah wal jamaah ala NU di dunia kampus. Rentang tak kurang
dari 11 tahun (1960-1972) PMII menjadi badan otonom (Banom) NU, kondisi kala
itu PMII menjadi bagian yang dependen dengan NU.
Babak baru pun muncul saat NU menjadi bagian penting dalam dunia
politik yang di kemudian hari menjadi salah satu jajaran partai terbesar di
indonesia, melihat kondisi saat itu di mana dunia gerakan mahasiswa sudah
semestinya menjaga jarak dengan parpol (red: politik praktis), maka PMII
mencetuskan ide independen terhadap NU yang kemudian dikenal dengan “Deklarasi
Murnajati”.
Deklarasi ini merupakan hasil Musyawarah Besar III tanggal 14-16
Juli 1972 di Murnajati, Lawang, Jawa Timur. Sikap independensi PMII kala itu
merupakan keputusan yang tepat, mengingat PMII harus membuka ruang tanpa
berpihak kepada salah satu partai politik.
Dengan independen, PMII juga mampu membuktikan diri untuk tidak
dikebiri oleh kepentingan partai politik. Sikap PMII yang demikian inilah yang
semestinya dipahami secara mendalam oleh kader dan NU, karena walapun
independen, Independensi PMII kala itu hanya terlihat secara struktural, kultur
dan ideologi PMII masih sama bahkan nyaris tak berbeda dengan NU, Ahlussunnah wal Jamaah lah yang
merupakan benang merah antara PMII dengan NU dulu hinga kini.
Lagi-lagi sikap independen yang dimunculkan tak lain yakni untuk
membuat tembok pemisah antara idealisme gerakan dengan politik praktis. “…’independensi’ itu merupakan bukti dinamisnya anak yang
mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara
struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran ahlussunah wal jama’ah ”
(Mahbub Junaidi).
Baru kemudian saat NU memutuskan kembali ke khittah 1926 yakni kembalinya
NU menjadi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dan tidak terjun di dunia
politik, tepatnya saat Muktamar tahun 1984 di Situbondo yang dipimpin KH.
Abdurrahman Wahid. PMII menyatakan diri Interdependen dengan NU.
Deklarasi Interdependensi ini terjadi ketika Kongres X PMII di
Pondok Gede, Jakarta tahun 1991. Sehingga sejak saat itu PMII hanya terpisah
secara struktural formal saja. Sebab kenyataannya, PMII punya
persamaan-persamaan persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan
kemasyarakatan dan mempunyai ikatan historis dengan NU sehingga PMII tidak akan
pernah mungkin bisa terpisahkan dari NU.
Pola hubungan PMII-NU yang terekam sejarah setidaknya telah
memberikan banyak pelajaran bagi kita semua, minimal kita memahami apa yang di
lakukan PMII dari masa-kemasa tak lain untuk menjaga marwah PMII di kancah
dunia gerakan. Termasuk masih eksisnya PMII sampai sekarang ini tidak lain
ialah karena PMII selalu bersikap sesuai dengan tuntutan zaman.
Pola hubungan yang interdependensi ini bertahan hingga kini,
pola yang dibangun oleh kader PMII adalah pola yang sebenarnya sudah
mengkristal dalam diri organisasi dan kadernya yang kemudian keduanya (PMII-NU)
susah untuk direnggangkan, jelas, walapun PMII tidak di struktur NU, PMII
takdzim ke kiai NU, kader-kader PMII masih menjalankan ritus yang dijalankan
oleh NU baik di kegiatan formalnya ataupun non formal.
Nah, lebih dalam tentang sikap PMII di Muktamar ke 33 ini, pola
hubungan PMII-NU masih saja dipertanyakan, keinginan untuk mengoreksi pola
Interdependen menjadi Dependen dengan NU Masih saja terjadi. Namun bagi PMII
Jepara, berdasarkan rapat Pleno Pengurus cabang tertanggal 29 Juli 2015
menyatakan PMII lebih arif jika Tetap Interdependen dengan NU.
Banyak sekali faktor yang mendasari kami (PMII Jepara)
mengganggap Interdependensi masih menjadi pilihan yang tepat. Pertama, Tidak jelasnya asalan NU
menarik PMII menjadi Banom ialah satu hal yang perlu dikoreksi manakala pola hubungan
PMII-NU benar-benar dijadikan dependen.
PMII yang katanya “liar” kami rasa ini satu isu yang
mengada-ngada, jelas seperti uraian di atas, justru pola sikap yang dilakukan
PMII adalah pola kemajuan berfikir yang tercermin dalam dunia gerakan yang
sepatutnya di apresiasi oleh Bapaknya (NU), karena Anaknya (PMII) telah mampu
berfikir maju.
Pola fikir yang semacam inilah yang nantinya dibutuhkan untuk
menjawab tantangan zaman. Justru yang harus diperdalam ialah kajian analisis
tentang bagaimana kondisi PMII ketika nanti menjadi Dependen dengan NU.
Apakah PMII semakin baik sistem kaderisasi dan juga dalam
memberikan sumbangsihnya kepada NU, bangsa dan negara ataukah malah sebaliknya,
karena kami kira hal yang semacam ini bukan untuk ajang coba-coba, lagi-lagi
kami harus dengan tegas mengatakan PMII (kami) adalah NU walapun dengan pola
Interdependen.
Kedua, PMII jelas di rel NU. Ibarat penumpang kereta PMII masih naik
kereta dengan gerbong yang mananya NU. Aktivitas yang dilakukan kader PMII
dikesehariannya diakui ataupun tidak, selalu menginduk pada ulama-ulama NU,
sehingga Ulama NU lah panutan yang selalu memberikan solusi terobosan ketika
PMII membutuhkan petuah dan solusi, seringnya komunikasi dengan para kiai NU
lah yang membuat cara fikir kader-kader PMII masih sama dengan NU.
Selain itu, PMII tetap bersama NU dalam memperjuangkan
nilai-nilai Aswaja, sehingga mayoritas melihat Independensi PMII-NU hanya
sekedar formalitas (struktural). Pada praktiknya, PMII dengan NU sangat kental
dan tak terpisahkan.
Kader-kader PMII di banyak jenjang dan ruang menjadi penerus
struktur NU, banom-banomnya, dan lembaga-lembaganya. Tunas-tunas PMII Lahir
dari golongan NU baik dari pesantren ataupun dari keluarga NU, dan yang lebih
menarik PMII masih menjalankan ritus yang sama sebagaimana lazimnya yang
diajarkan para kiai NU.
Ketiga, jika yang kami sampaikan di atas disepakati, maka PMII mutlak
mengajarkan apa yang diajarkan NU, sehingga pola interdependensi sebenarnya
akan membuka ruang untuk meng-NU-kan banyak kader dari luar NU karena PMII
membuka ruang untuk menerima kader yang tak punya KTA NU sekalipun dan
kader-kader tersebut nantinya akan mengikuti pola kaderisasi PMII yang
berlandaskan Aswaja ala NU.
Keempat, dalam hal lain. Pola interdependensi ini juga menjadi ruang
yang baik dalam tersebarnya kader PMII di banyak ruang dan profesi, karena dengan
pola ini PMII juga dapat diterima oleh kalangan di luar NU.
Pada akhirnya dengan pola Interdependensi tersebut, harapan
besar kami PMII dapat semakin maju untuk memberikan sumbangsih nyata bagi NU
dan Indonesia.
*) Ainul Mahfudh, Ketua PMII Cabang Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar