![]() |
Ilustrasi : Google |
Cerpen : Akhmad
Yusuf
Arya berlari di tengah teriknya mentari. Ia
harus mengelilingi lapangan karena mencontek rekannya pada saat ulangan.
Langkahnya semakin gontai seiring bertambahnya putaran. Keringat membasahi
tubuh keringnya itu.
"Tiga putaran lagi, Arya," kata
Usman di ujung lapangan yang sedari tadi hanya berteriak berapa Arya berputar.
Arya hanya tersenyum pahit kepada Usman itu.
"Ayo, Arya! Kamu lamban sekali!"
"Satu putaran terahir, Man," kata
Arya berbata.
"Tak usah. Hey! Arya. Kamu kenapa?"
teriak Usman yang mendapati Arya yang sudah tergeletak di tengah lapangan.
Entah apa yang terjadi.
Setelah di UKS, perlahan mata dengan sayu.
"Dimana Usman? Bukankah ia tadi bersamaku?" tanya Arya seraya menahan
sakit.
"Tak usahlah kau tanya tu orang kenapa.
Dia yang menyebabkanmu begini."
"Begini? Maksudnya?"
"Alah, tak usah kau tutupi Arya.
Seandainya kau tidak diancam dengan ini, kau pasti tak begini" kata Ruslan
seraya menunjukkan pisau kecil yang pemiliknya tak lain adalah Usman.
Arya tertegun. Mengapa teman-temannya
mengetahui keberadaan benda itu. Padahal, mungkin sudah diamankan Usman tadi.
"Kaget ya?" tanya Silvi.
"Aku yang melihat semuanya.
Kau dipaksa untuk mencontek si Arman, bukan?
Dan kalau tidak mau, pisau itu siap menyayat lenganmu. Karena dia tahu bahwa
kau agak fobia pisau, makanya dia memaksamu untuk mencontek," kata Silvi
lagi.
"Tapi…."
"Sudahlah, Arya. Semua sudah beres. Ibu
sudah membawa Usman ke Kepala sekolah," kata bu Ratna.
"Nah, anak-anak. Boleh kita berusaha.
Tetapi harus dengan cara yang benar. Bukan seperti itu."
"Iya, bu." kata mereka serempak.
Arya hanya terdiam. Ia berpikir bagaimana
berurusan dengan Usman jika di luar sekolah. Karena, ia bersama Usman tetap
seterusnya. (*)