Komunitas
Matapena Yogyakarta kembali menggelar Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) #12
berlangsung di pesantren Raudlatul Ulum I desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi
kabupaten Malang, Kamis-Sabtu (25-27/12) lalu.
Kegiatan
yang diikuti 64 santri asal Jawa dan Madura diawali dengan stadium general bertajuk
“Pesantren, sastra dan Tradisi Menulis”, Kamis (25/12) malam. Sebagai pembicara
KH Madarik Yahya menyebutkan pesantren menyimpan bakat-bakat tersembunyi.
Bakat-bakat
itu terang Gus Madarik perlu dieksplorasikan. Apalagi pesantren dekat dengan
NU. NU perlu didokumentasikan, diteliti agar keberadaan NU semakin membumi.
Caranya,
lanjut ketua Yayasan KH Yahya Syabrawi santri perlu belajar menulis. “Sering-seringlah
melakukan latihan menulis, perenungan dan membaca/ iqra,” tegasnya.
Pembicara
lain, M Faizi menambahkan pesantren merupakan lembaga yang mentransformasikan
sastra; puisi dan nadzam sebagaimana kitab amsilatut tasrifiyah.
“Zaman
orde baru santri minder karena direndahkan martabatnya. Tapi era Gus Dur ia
membuka pesantren sebagai cakrawala dunia,” sebut kiai nyentrik asal Guluk-guluk, Sumenep, Madura.
Dengan
itu santri harus direkatkan dengan menulis. “Santri harus bersastra,” imbuh penulis
buku Merentang Sajak Madura-Jerman.
Hal lain
dikemukakan Nyai Siti Aisyah. Kepala Madin pesantren Raudlatul Ulum, pesantren
menghadapi banyak dinamika. Misalnya santri modern lebih mengenal artis Korea
Lee Min Ho daripada KH Wahab Hasbullah.
Dalam
menghadapi hal itu, santri harus lebih mengenal tradisinya. “Sebelum santri
mengenal dunia luar terlebih dahulu kenal dengan pengasuh pesantren
masing-masing,” kata Aisyah.
Santri
tambah dia juga perlu banyak pengetahuan umum. Misalnya, sejarah Islam maupun dunia.
Disamping itu, ungkapnya perlu pula menguasai teknologi. “Santri tidak hanya sebagai
konsumen tetapi juga perlu menebar nilai-nilai luhur pesantren melalui sarana
teknologi,” harapnya. (Syaiful Mustaqim)