Kisah Sepasang Tangan - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 26 November 2014

Kisah Sepasang Tangan


Cerpen Kartika Catur Pelita

Pelajar usia sweet seventeen  itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengetik. Menghela nafas  pendek, lalu menutup notebook-nya. “Aku harus istirahat. Pasti kedua tanganku capek setelah sejak pagi tadi ngetik. Terutama tangan kiriku. Uuh…. pegalnya. Ntar deh  setelah lelahnya hilang diterusin lagi. Soalnya esok pagi tugas itu harus dikumpulin!”

Si pemuda belia  itu melepas penat, memijit sepasang  tangan kokohnya. Aku memandang tangan  kiri dengan sebal!



“Mengapa sih males-malesan gitu. Kasihan dia harus nyelesein tugas tapi tertunda tuh.”

“EGP.” si tangan kiri mendecih.

“Sebenarnya ada masalah apa sih. Beberapa hari belakangan ini kamu angot-angotan gitu.”

“Terserah gue dong. Mau rajin, mau males. Suka-suka dong. Emang masalah buat lo?”

“Tapi kita  tuh perlu kerja sama yang baik. Hubungan kita melebihi teman, saudara. Kita harus seia sekata.”

”Oya? Tapi mengapa Tuan lebih sayang pada elu. Aku benci lu!”

“Mengapa kamu membenciku? Apa salahku?”

“Gak merasa ya? Tuan emang lebih sayang dan  perhatian sama lu, ketimbang gue. Lihat aja kegiatan elu. Lu tuh  digunaian untuk bersalaman, menulis, menerima kado, makan. Sementara gue digunain untuk memungut sampah, ngupil bahkan untuk cebok! Ih jijay bajay deh!”

“Hei,...jadi ceritanya kamu cemburu nih?”

“Apa salah gue cemburu? Tuan menghiasi lu dengan gelang indah,  arloji mahal. Ada pula cincin. Gue...boro-boro. Digelangin karet gelang tuh. Huh!”

“Jangan marah gitu ah. Kupikir enggak semua yang lu pikir tentang Tuan benar. Menurutku…Tuan  juga sayang elu. Buktinya dia selalu  menggunakan lu juga untuk membuka  pintu, menyetiri mobil, mengetik dan kegiatan lainnya! Ah  kecemburuanlu hanya perasaan yang tak  seharusnya lu  pelihara, Saudaraku!”

“Tentu saja lu belain Tuan, karena dia lebih sayang pada lu. Pokoknya gue benci kamu dan benci  Tuan. Esok gue akan mogok, biar Tuan tahu rasa!”

“Jangan dong!”

“Biarin. Biarin rasain  gak enaknya jika elu jadi gue. Hihihi…!”

* * *

Pemuda berseragam putih abu-abu itu menggerutu.  Macet lagi. Padahal tujuh menit lagi bel berbunyi. Semua gara-gara dia bangun telat setelah mengetik semalaman.

Uh, lampu merah belum berubah hijau ketika dia tak sabar  memacu motornya. Kencang dan musibah terjadi.

Motornya menyerempet mobil yang melaju dari arah pertigaan.

Dia terpelanting dari motor.  Tulang tangan kanannya  patah,  harus digips.

* * *

22 jam kemudian. Aku masih meringis kesakitan. Tuan Muda hanya bisa terbaring di ranjang. Kasihan. Aku memandangnya haru. Tiba-tiba  aku merasa  dia menyentuh diriku.

“Sakit ya? Kasihan elu….” Si Tangan kiri menatapku simpati. Aku menatapnya lurus-lurus. Heran.

“Untuk apa sih minta maaf?”

“Seandainya pagi itu  gue tak mogok ketika Tuan mengerem, tentu kecelakan tak terjadi. Tentu Tuan tak harus dirawat sehingga tak bisa sekolah. Elu juga juga dibalut begitu. Sungguh deh gue nyesel.

“Untuk apa?”

“Kupikir enak jadi elu. Tahu gak… selama lu sakit Tuan gunain gue  untuk melaksanakan tugas lu.  Gue digunain untuk makan,  ngambil barang,  nulis.Uh ternyata gak asik. Apalagi saat digunain untuk menulis. Sulit, sulit banget. Uh…sebel deh.”

“Gitu ya…?

“Belum lagi Tuan memasang arloji di bodi gue. Kerasa berat tuh.  Biasanya tuh gue kan enteng bergerak ke sana-ke mari.  Benar-benar gak  nyaman deh. Kupikir enak jadi elu, ternyata gak juga sih. Enakan seperti dulu ketika  lu belum sakit. Kita bisa berdua ngangkat barang, berdua mengetik….

“Masa sih?”

“Iya bener. Untuk  apa sih kita harus cemburu dan iri. Bener katamu kita harus kompak, kerja sama yang bagus untuk melaksanakan tugas masing-masing atau saat melakukan tugas bersama. Sehingga ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”

“Ah…”

“Maafin gue ya. Beberapa  hari belakang  ini berbuat buruk pada elu. Swear… gue nyesel pernah  menyangka Tuan pilih kasih. Ternyata gak juga. Kita masing-masing punya tugas sendiri. Dan Tuanlah yang tahu dan membaginya untuk kita.”

“Ya. Tentu aku maafin kamu. Aku suka kamu nyadar. Doaian  aku lekas sembuh, ya. Eh,jangan pijit keras-keras dong, masih sakit nih.”

Insyaallah lekas sembuh, Tangan  Kanan sayang. Hehehe…”
    “Sst… jangan berisik ah, Tuan sedang istirahat!”
    “Oye….”

Kota Ukir, 24 Agustus 2013-25 November 2014

*) Kartika Catur Pelita, penulis novel “Perjaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar