Pelajar
usia sweet seventeen itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang
mengetik. Menghela nafas pendek, lalu
menutup notebook-nya. “Aku
harus istirahat. Pasti kedua tanganku capek setelah sejak pagi tadi ngetik.
Terutama tangan kiriku. Uuh…. pegalnya. Ntar deh setelah lelahnya hilang diterusin lagi.
Soalnya esok pagi tugas itu harus dikumpulin!”
Si
pemuda belia itu melepas penat, memijit sepasang
tangan kokohnya. Aku memandang tangan kiri dengan
sebal!
“Mengapa
sih males-malesan gitu. Kasihan dia harus nyelesein tugas tapi tertunda tuh.”
“EGP.”
si tangan kiri mendecih.
“Sebenarnya
ada masalah apa sih. Beberapa hari belakangan ini kamu angot-angotan gitu.”
“Terserah
gue dong. Mau rajin, mau males. Suka-suka dong. Emang masalah buat lo?”
“Tapi
kita tuh perlu kerja sama yang baik.
Hubungan kita melebihi teman, saudara. Kita harus seia sekata.”
”Oya?
Tapi mengapa Tuan lebih sayang pada elu. Aku benci lu!”
“Mengapa
kamu membenciku? Apa salahku?”
“Gak
merasa ya? Tuan emang lebih sayang dan perhatian
sama lu, ketimbang gue. Lihat aja kegiatan elu. Lu tuh digunaian untuk bersalaman, menulis, menerima
kado, makan. Sementara gue digunain untuk memungut sampah, ngupil bahkan untuk cebok!
Ih jijay bajay deh!”
“Hei,...jadi
ceritanya kamu cemburu nih?”
“Apa
salah gue cemburu? Tuan menghiasi lu dengan gelang indah, arloji mahal. Ada pula cincin. Gue...boro-boro. Digelangin
karet gelang tuh. Huh!”
“Jangan
marah gitu ah. Kupikir enggak semua yang lu pikir tentang Tuan benar. Menurutku…Tuan juga sayang
elu. Buktinya dia selalu menggunakan lu
juga untuk membuka pintu, menyetiri
mobil, mengetik dan kegiatan lainnya! Ah
kecemburuanlu hanya perasaan yang tak
seharusnya lu pelihara, Saudaraku!”
“Tentu
saja lu belain Tuan, karena dia lebih sayang pada lu. Pokoknya gue benci kamu dan
benci Tuan. Esok gue akan mogok, biar
Tuan tahu rasa!”
“Jangan
dong!”
“Biarin.
Biarin rasain gak enaknya jika elu jadi gue.
Hihihi…!”
* * *
Pemuda
berseragam putih abu-abu itu menggerutu. Macet lagi. Padahal tujuh menit lagi bel berbunyi.
Semua gara-gara dia bangun telat setelah mengetik semalaman.
Uh,
lampu merah belum berubah hijau ketika dia tak sabar memacu motornya. Kencang dan musibah terjadi.
Motornya
menyerempet mobil yang melaju dari arah pertigaan.
Dia
terpelanting dari motor. Tulang tangan
kanannya patah, harus digips.
* * *
22
jam kemudian. Aku masih meringis kesakitan.
Tuan Muda hanya bisa terbaring di ranjang. Kasihan. Aku memandangnya haru.
Tiba-tiba aku merasa dia menyentuh
diriku.
“Sakit
ya? Kasihan elu….” Si Tangan kiri menatapku simpati. Aku menatapnya lurus-lurus.
Heran.
“Untuk
apa sih minta maaf?”
“Seandainya
pagi itu gue tak mogok ketika Tuan mengerem,
tentu kecelakan tak terjadi. Tentu Tuan tak harus dirawat sehingga tak bisa
sekolah. Elu juga juga dibalut begitu. Sungguh deh gue nyesel.”
“Untuk
apa?”
“Kupikir
enak jadi elu. Tahu gak… selama lu sakit Tuan gunain gue untuk melaksanakan tugas lu. Gue digunain untuk makan, ngambil barang, nulis.Uh ternyata gak asik. Apalagi saat
digunain untuk menulis. Sulit, sulit banget. Uh…sebel deh.”
“Gitu
ya…?”
“Belum
lagi Tuan memasang arloji di bodi gue. Kerasa berat tuh. Biasanya tuh gue kan enteng bergerak ke sana-ke
mari. Benar-benar gak nyaman deh. Kupikir enak jadi elu, ternyata
gak juga sih. Enakan seperti dulu ketika
lu belum sakit. Kita bisa berdua ngangkat barang, berdua mengetik….”
“Masa
sih?”
“Iya
bener. Untuk apa sih kita harus cemburu dan
iri. Bener katamu kita harus kompak, kerja sama yang bagus untuk melaksanakan tugas
masing-masing atau saat melakukan tugas bersama. Sehingga ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul.”
“Ah…”
“Maafin
gue ya. Beberapa hari belakang ini berbuat buruk pada elu. Swear… gue nyesel pernah menyangka Tuan pilih kasih. Ternyata gak
juga. Kita masing-masing punya tugas sendiri. Dan Tuanlah yang tahu dan
membaginya untuk kita.”
“Ya.
Tentu aku maafin kamu. Aku suka kamu nyadar. Doaian aku lekas sembuh, ya. Eh,jangan pijit keras-keras
dong, masih sakit nih.”
“Insyaallah lekas sembuh, Tangan Kanan sayang. Hehehe…”
“Sst… jangan berisik ah, Tuan sedang
istirahat!”
“Oye….”
Kota
Ukir, 24 Agustus 2013-25 November 2014
*) Kartika Catur Pelita, penulis novel “Perjaka”