Koin Emas Ratu Shima - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 30 Juni 2014

Koin Emas Ratu Shima

Ilustrasi : google
Cerpen : Kartika Catur Pelita

Kesiur asin angin pantai menerobos kisi-kisi jendela  pondok bambu pada sebuah pantai berpasir hitam. Sinar hangat  bagaskara siang  lembut menerpa ambin, membasuh raga. Aku merasakan lemah yang teramat sangat. Lemas. Lelah.


Aku membuka mata, perih ketika melihat beberapa orang mengelilingiku. Seorang lelaki tua dan perempuan sepantaran, yang memberiku minum air gula merah. Bujang tanggung yang duduk  di kursi di dekatku, menyorongkan piring tembikar berisi bubur beras. Juga  dua orang berbadan tegap.  Mereka tampaknya orang-orang baik. Gusti Allah, apa yang tengah terjadi padaku?

Kowe  selamat, Kisanak.”

”Dewata telah menolongnya dari amukan Setan Marakayangan penguasa lautan.”

”Di mana aku? Siapa kalian?”
                                                                        
”Tenanglah,  Kisanak. Kowe berada di kerajaan  Kalingga. Negeri yang aman sentosa dan dengan tangan terbuka menerima kedatangan orang asing.”

”Kami  bermaksud  menolong Kisanak. Bukan mencelakakan.”

Sekilas kusapu pandang  orang   yang memakai semacam celana terbuat dari anyaman tumbuhan, tapi mereka masih bertelanjang dada. Memamerkan tubuhnya yang berotot, liat dan  kuat.  Kelihatannya mereka memang bukan orang jahat.

”Terimakasih kalian sudah menolongku.”

”Kami Bagas dan Kara. Kami berdua  adalah prajurit kerajaan yang kebetulan  sedang berpatroli di daerah perbatasan. Kami menemukan kowe terdampar di pinggir pantai. Kowe pingsan  dan kami membawa ke rumah seorang  penduduk di pantai ini. Kowe sudah siuman, tapi kelihatannya masih lemah. Beristirahatlah, makanlah bubur dan air gula merah ini. Jika keadaanmu sudah pulih kami akan membawa kowe sowan ke junjungan kami. Ratu Shima.”

Aku yang sedang minum air gula merah nyaris tersedak.  
                                                                * * *

Sebuah istana, tempat tinggal Ratu Shima merupakan  rumah panggung berukuran sangat besar dan berbentuk indah. Terbuat dari berbagai jenis kayu yang diukir dan dihias.  

Aku  terpesona memandangi kemegahan arsitektur di hadapanku.

”Ukiran-ukiran indah ini adalah hasil karya penduduk Kerajaan Kalingga, ” jelas  Bagas tanpa diminta.

”Kami memiliki banyak ahli ukir, ahli  rancang bangunan, ahli hias.”

Aku mengangguk.  Mengikuti langkah Bagas dan Kara menaiki undakan yang lumayan tinggi. Sampailah kami di sebuah ruangan luas yang  ternyata adalah sebuah balairung, tampak singgasana yang terbuat dari gading gajah yang diukir indah.

Seorang wanita berwajah elok beraura tegas,  mengenakan baju kebesaran Ratu yang berhias manik ratna mutumanikam terbuat dari emas permata,  duduk anggun di atas singgasana.  Maha Patih dan Punggawa Kerajaan mendampingi. Para dayang melayani. Para pengawal menjaga keamanan.

Bagas dan Kara menghaturkan sembah di hadapan Sang Ratu Shima. Aku pun berbuat sama. Kami bersimpuh tak jauh dari Ratu Shima. Gemerincing, gemerlepanan perhiasan dan wangi harum bunga menebar seputar ruangan, seiring dia menabur pertanyaan padaku.

”Siapa nama kowe Kisanak?  Dari negeri manakah  kau berasal?”

”Saya…saya Mustaqim Masrukhan. Saya mahasiswa Fakultas Budaya semester 3, jurusan Antropologi, Gajah Mada. Saya  berasal dari Indonesia, dari kota Jepara, tepatnya desa Pesisir Ujungwatu.”

Tampak kening  Ratu Shima  berkerenyit.

”Gajah Mada...Indonesia...Jepara…Pesisir..Ujungwatu?  Negeri asing atau baru kah? Rasanya baru sekali ini aku mendengarnya? Di manakah letak negeri itu…. hei Kisanak?”

Buru-buru  Maha Patih menjelaskan pada junjungannya.

”Hamba bisa menerawang masa depan, Sang Ratu. Negeri yang disebutkan Kisanak ini adalah negeri yang kelak akan  berdiri pada masa  ratusan tahun mendatang. Jepara adalah negeri yang   kelak  berada di mana kerajaan kita saat ini bertahta Yang Mulia.”

Ratu Shima mengangguk pada Maha Patih, bagai ucapan  terima kasih.

”Ceritakan Kisanak, bagaimana kowe bisa sampai di negeri kami.”

Aku menceritakan  peristiwa yang kualami, saat mencari ikan bersama Kang Kemijan dan Lik Tawar, perahu kami dihempas gelombang sampai aku ditemukan pingsan oleh Bagas dan Kara di pinggir pantai negeri Kalingga.

”Cerita kowe  membuatku  terharu,  Kisanak. Tinggallah di sini beberapa hari. Sekarang istirahatlah atau jalan-jalan melihat  negeri kami. Nanti malam aku mengundang makan  malam. Sekarang aku akan mengadakan rapat dengan pejabat kerajaan.”
* * *
        
Bagas dan Kara mengajakku keliling seputar kerajaan Kalingga.

Setelah puas melihat bangunan kerajaan dan rumah pejabat istana, aku  ingin  melihat perkampungan  rakyat jelata Kerajaan Kalingga. Kedua prajurit pilihan  dengan senang hati mengantar,  melihat-lihat rumah penduduk pedesaan.

Rumah penduduk  kebanyakan berdinding  kayu dan bambu. Atapnya terbuat dari rumbia. Rumbia adalah sejenis daun kelapa atau enau, bisa juga daun rembulung. Lantai tanah cadas dan bersih.

Beberapa rumah penduduk tampak sepi ketika  kami datang. Mereka sedang pergi bersawah atau berladang.  Sementara sebagian penduduk ada yang sedang bekerja di halaman rumah—menganyam bambu, membuat ukiran kayu, membuat  pande besi atau  membuat gerabah.

”Bermacam-macam mata pencaharian penduduk negeri Kalingga,  Kisanak. Inilah wajah desa pegunungan. Sementara desa pesisir seperti yang kemarin kowe lihat. Mereka   yang membuat perahu, menggantungkan hidup dari laut, mencari ikan, berniaga.”

”Negeri kami negeri yang kecil tapi sejahtera damai dan aman sentosa. Karena kami memiliki pemimpin yang tak hanya memerintah tapi juga memberi kami suri tauladan. Sang Ratu tak segan-segan turun ke sawah  atau ladang, mengajari kami bercocok tanam. Sang Ratu  juga kerap mengundang ahli ukir, ahli perkapalan, ahli pembuat logam mulia dan  para cerdik pandai   dari negeri seberang untuk mengajari kami berbagai hal.

”Sang Ratu Shima  adalah pemimpin yang arif, adil dan bijaksana.”

Alangkah bukan sebuah mimpi jikalau kelak negeri kami juga memiliki pemimpin seperti Ratu Shima. Tak memandang jenis gender, kalau dia memang mampu memimpin dan memberi kesejahteraan bagi  rakyat kebanyakan….mengapa tak diberi kesempatan? Ah…

Aku menghela nafas  kecil. Setelah lelah berkeliling, kami mampir ke rumah seorang penduduk. Kami disuguhi singkong bakar dan minum legen. Rasanya nikmat dan sega. Enak,enak, enak, enak!

Siang menjelang senja,  Bagas dan Kara mengajak  kembali ke istana. Kali ini kami melewati jalan belakang benteng. Di jalan setapak, tak jauh dari benteng, aku mematikan langkah. Benda berkilauan  mengundangku untuk menghampiri dan mendekatinya.  Astaganaga!   Yang kulihat  berkilauan ternyata adalah tumpukan koin emas yang  ada di dalam sebuah guci gerabah.  Guci berukuran besar itu dibiarkan terbuka dan aku penasaran menyentuh guci dan mengambil sebiji koin.   Sial, guci tersepak kakiku, lalu jatuh dan uang bermuntahan.

Kilau uang emas menyamarkan pandangan. Ternyata tak salah  yang kulihat…benar-benar  tumpukan koin emas, menggunung.

Aku terpana. Tapi Bagas dan Kara memandangku dengan wajah pucat pasi.

Kowe telah melakukan kesalahan, Kisanak.”

”Apa maksud kalian?”

Bagas dan Kara belum sempat melontar jawaban,  ketika terdengar  derap langkah kuda menghampiri.  Iring-iringan tandu berbariskan pengawal telah berdiri menghadang langkah kami. Ratu Shima turun dari tandu kerajaan.

Bagas dan Kara menyembah dengan sangat hormat dan sangat ketakutan!  

Aku pun segera melakukan hal yang sama.

”Apa yang telah terjadi hei...Prajurit?”

”Maafkan kami  Sang Ratu. Kami tak bisa mencegah. Kisanak ini  telah berbuat kesalahan. Kami mohon beribu ampun.”

”Ceritakan dengan jelas  apa yang telah terjadi,  Kisanak.” Ratu Shima memandangku tajam.

Aku merasa bersalah. Tapi bagaimana pun aku harus mengungkap tabir kejujuran.

”Saya orang miskin Sang Ratu. Seumur hidup saya  belum pernah  melihat uang emas, apalagi dalam jumlah sebanyak ini. Saya ingin mengambil—menyentuh uang emas itu, tapi naas guci tersenggol  kaki hamba, dan terjatuh, lalu uang emas berserakkan. Semuanya salah hamba. Bukan Bagas dan Kara  prajurit Sang Ratu.”

Sesaat Ratu Shima, lalu menghela  nafas panjang, memandangku.

”Aku bangga mendengar kejujuran dan keberanian kowe mengakui sebuah kesalahan yang telah  dilakukan, Kisanak. Tapi bagaimana pun alasannya kowe telah melakukan sebuah pelanggaran.”

”Maafkan hamba Sang Ratu.”

”Siapa yang bersalah, melanggar aturan yang telah kubuat harus menerima hukuman!”

”Sekali lagi maafkan hamba Sang Ratu.

”Sebagai diri pribadi aku bisa memaafkanmu, tapi sebagai Ratu kerajaan Kalingga aku harus berbuat tegas seperti tempo hari yang pernah kulakukan pada Putra Mahkota!”

Aku teringat cerita tentang  Ratu Shima...ketika Putra Mahkota harus dipotong tangannya   karena mencuri, menyentuh emas!  Apakah aku akan mengalami hal yang sama. Tubuhku gemetar.

”Pengawal tangkap dia dan bawa ke alun-alun. Algojo segera lakukan hukuman!”

Bagai pesakitan aku digiring ke alun-alun, aku di dudukkan di atas panggung.

Aku menjadi tontonan seluruh warga kerajaan Kalingga.

Sungguh, aku berharap ini mimpi…!

Tapi mengapa aku tak terbangun-bangun?  Malah sepasang algojo berwajah sangar dan kejam itu menghampiri. Kakiku  diikat dan diletakkan pada sebuah balok...lalu algojo mengayunkan pedangnya yang berkilat!

Secepat petir pedang tajam menebas, aku menjerit, ngilu, tubuhku mati rasa, sakit sekali!
* * *

Aku menjerit, meronta,  aku ingin terbangun dari mimpi?

Aku merasakan dunia gelap. Gulita. Hitam. Pekat.  

Entah beberapa saat. Ketika aku membuka mata…seseorang berpakaian  putih, hei dia perawat yang cantik, telah ada di dekat pembaringanku. Khas bau obat  menyengat menguak kesadaran.

Aku mengusap mataku, lekat. Ah, semoga ini hanya mimpi sesaat!

”Aku ada di mana, suster?”

”Kamu berada di rumah sakit.”

”Rumah Sakit  Kerajaan Kalingga?”

”Hush ngawur….RS Kartini!”

”Tapi Suster….bagaimana saya bisa sampai disini?”

”Seseorang menemukanmu terluka parah di bibir pantai. Kamu dalam keadaan pingsan. Sepasang kakimu sepertinya dimakan ikan buas.

Aku terlonjak.  Aku membuka selimut.
Tak hanya kaki, tapi hatiku terasa telah mati separoh.

Kuraba sesuatu yang mengganjal di saku celana. Aku mengambilnya. Sekeping uang emas bergambar Ratu Shima. Aku menggegamnya erat. Erat. Air mataku tumpah ruah  seperti air segara.
                                    
Kota Ukir,  16 April-18 Mei 2014

1 komentar: