![]() |
Ilustrasi : google |
Kesiur asin angin pantai menerobos kisi-kisi jendela pondok bambu pada sebuah pantai berpasir
hitam. Sinar hangat bagaskara siang lembut menerpa ambin, membasuh raga. Aku
merasakan lemah yang teramat sangat. Lemas. Lelah.
Aku membuka mata, perih ketika melihat beberapa orang
mengelilingiku. Seorang lelaki tua dan perempuan sepantaran, yang memberiku
minum air gula merah. Bujang tanggung yang duduk di kursi di dekatku, menyorongkan piring
tembikar berisi bubur beras. Juga dua
orang berbadan tegap. Mereka tampaknya
orang-orang baik. Gusti Allah, apa yang tengah terjadi padaku?
”Kowe selamat, Kisanak.”
”Dewata telah menolongnya dari amukan Setan Marakayangan penguasa
lautan.”
”Di mana aku? Siapa kalian?”
”Tenanglah, Kisanak. Kowe
berada di kerajaan Kalingga. Negeri yang
aman sentosa dan dengan tangan terbuka menerima kedatangan orang asing.”
”Kami bermaksud
menolong Kisanak. Bukan mencelakakan.”
Sekilas kusapu pandang
orang yang memakai semacam
celana terbuat dari anyaman tumbuhan, tapi mereka masih bertelanjang dada. Memamerkan
tubuhnya yang berotot, liat dan kuat. Kelihatannya mereka memang bukan orang jahat.
”Terimakasih kalian sudah menolongku.”
”Kami Bagas dan Kara. Kami berdua adalah prajurit kerajaan yang kebetulan sedang berpatroli di daerah perbatasan. Kami menemukan
kowe terdampar di pinggir pantai. Kowe pingsan dan kami membawa ke rumah seorang penduduk di pantai ini. Kowe sudah siuman, tapi kelihatannya masih lemah. Beristirahatlah,
makanlah bubur dan air gula merah ini. Jika keadaanmu sudah pulih kami akan
membawa kowe sowan ke junjungan kami. Ratu Shima.”
Aku yang sedang minum air gula merah nyaris tersedak.
* * *
Sebuah istana, tempat tinggal Ratu Shima merupakan rumah panggung berukuran sangat besar dan berbentuk
indah. Terbuat dari berbagai jenis kayu yang diukir dan dihias.
Aku terpesona
memandangi kemegahan arsitektur di hadapanku.
”Ukiran-ukiran indah ini adalah hasil karya penduduk Kerajaan
Kalingga, ” jelas Bagas tanpa diminta.
”Kami memiliki banyak ahli ukir, ahli rancang bangunan, ahli hias.”
Aku mengangguk. Mengikuti
langkah Bagas dan Kara menaiki undakan yang lumayan tinggi. Sampailah kami di sebuah
ruangan luas yang ternyata adalah sebuah
balairung, tampak singgasana yang terbuat dari gading gajah yang diukir indah.
Seorang wanita berwajah elok beraura tegas, mengenakan baju kebesaran Ratu yang berhias
manik ratna mutumanikam terbuat dari emas permata, duduk anggun di atas singgasana. Maha Patih dan Punggawa Kerajaan mendampingi.
Para dayang melayani. Para pengawal menjaga keamanan.
Bagas dan Kara menghaturkan sembah di hadapan Sang Ratu
Shima. Aku pun berbuat sama. Kami bersimpuh tak jauh dari Ratu Shima. Gemerincing,
gemerlepanan perhiasan dan wangi harum bunga menebar seputar ruangan, seiring
dia menabur pertanyaan padaku.
”Siapa nama kowe
Kisanak? Dari negeri manakah kau berasal?”
”Saya…saya Mustaqim Masrukhan. Saya mahasiswa Fakultas
Budaya semester 3, jurusan Antropologi, Gajah Mada. Saya berasal dari Indonesia, dari kota Jepara,
tepatnya desa Pesisir Ujungwatu.”
Tampak kening Ratu
Shima berkerenyit.
”Gajah Mada...Indonesia...Jepara…Pesisir..Ujungwatu? Negeri asing atau baru kah? Rasanya baru
sekali ini aku mendengarnya? Di manakah letak negeri itu…. hei Kisanak?”
Buru-buru Maha Patih
menjelaskan pada junjungannya.
”Hamba bisa menerawang masa depan, Sang Ratu. Negeri yang
disebutkan Kisanak ini adalah negeri yang kelak akan berdiri pada masa ratusan tahun mendatang. Jepara adalah negeri
yang kelak berada di mana kerajaan kita saat ini bertahta
Yang Mulia.”
Ratu Shima mengangguk pada Maha Patih, bagai ucapan terima kasih.
”Ceritakan Kisanak, bagaimana kowe bisa sampai di negeri kami.”
Aku menceritakan peristiwa yang kualami, saat mencari ikan
bersama Kang Kemijan dan Lik Tawar, perahu kami dihempas gelombang sampai aku
ditemukan pingsan oleh Bagas dan Kara di pinggir pantai negeri Kalingga.
”Cerita kowe membuatku terharu, Kisanak. Tinggallah di sini beberapa hari.
Sekarang istirahatlah atau jalan-jalan melihat negeri kami. Nanti malam aku mengundang makan malam. Sekarang aku akan mengadakan rapat
dengan pejabat kerajaan.”
* * *
Bagas dan Kara mengajakku keliling seputar kerajaan
Kalingga.
Setelah puas melihat bangunan kerajaan dan rumah pejabat
istana, aku ingin melihat perkampungan rakyat jelata Kerajaan Kalingga. Kedua
prajurit pilihan dengan senang hati
mengantar, melihat-lihat rumah penduduk
pedesaan.
Rumah penduduk kebanyakan
berdinding kayu dan bambu. Atapnya
terbuat dari rumbia. Rumbia adalah sejenis daun kelapa atau enau, bisa juga
daun rembulung. Lantai tanah cadas
dan bersih.
Beberapa rumah penduduk tampak sepi ketika kami datang. Mereka sedang pergi bersawah atau
berladang. Sementara sebagian penduduk
ada yang sedang bekerja di halaman rumah—menganyam bambu, membuat ukiran kayu,
membuat pande besi atau membuat gerabah.
”Bermacam-macam mata pencaharian penduduk negeri Kalingga,
Kisanak. Inilah wajah desa pegunungan. Sementara
desa pesisir seperti yang kemarin kowe
lihat. Mereka yang membuat perahu, menggantungkan
hidup dari laut, mencari ikan, berniaga.”
”Negeri kami negeri yang kecil tapi sejahtera damai dan aman
sentosa. Karena kami memiliki pemimpin yang tak hanya memerintah tapi juga
memberi kami suri tauladan. Sang Ratu tak segan-segan turun ke sawah atau ladang, mengajari kami bercocok tanam. Sang
Ratu juga kerap mengundang ahli ukir,
ahli perkapalan, ahli pembuat logam mulia dan
para cerdik pandai dari negeri seberang untuk mengajari kami
berbagai hal.”
”Sang Ratu Shima adalah
pemimpin yang arif, adil dan bijaksana.”
Alangkah bukan sebuah mimpi jikalau kelak negeri kami
juga memiliki pemimpin seperti Ratu Shima. Tak memandang jenis gender, kalau
dia memang mampu memimpin dan memberi kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan….mengapa tak diberi
kesempatan? Ah…
Aku menghela nafas
kecil. Setelah lelah berkeliling, kami mampir ke rumah seorang penduduk.
Kami disuguhi singkong bakar dan minum legen.
Rasanya nikmat dan sega. Enak,enak, enak, enak!
Siang menjelang senja, Bagas dan Kara mengajak kembali ke istana. Kali ini kami melewati
jalan belakang benteng. Di jalan setapak, tak jauh dari benteng, aku mematikan langkah.
Benda berkilauan mengundangku untuk
menghampiri dan mendekatinya. Astaganaga! Yang kulihat
berkilauan ternyata adalah tumpukan koin emas yang ada di dalam sebuah guci gerabah. Guci berukuran besar itu dibiarkan terbuka dan
aku penasaran menyentuh guci dan mengambil sebiji koin. Sial,
guci tersepak kakiku, lalu jatuh dan uang bermuntahan.
Kilau uang emas menyamarkan pandangan. Ternyata tak
salah yang kulihat…benar-benar tumpukan koin emas, menggunung.
Aku terpana. Tapi Bagas dan Kara memandangku dengan wajah
pucat pasi.
”Kowe telah melakukan
kesalahan, Kisanak.”
”Apa maksud kalian?”
Bagas dan Kara belum sempat melontar jawaban, ketika terdengar derap langkah kuda menghampiri. Iring-iringan tandu berbariskan pengawal
telah berdiri menghadang langkah kami. Ratu Shima turun dari tandu kerajaan.
Bagas dan Kara menyembah dengan sangat hormat dan sangat
ketakutan!
Aku pun segera melakukan hal yang sama.
”Apa yang telah terjadi hei...Prajurit?”
”Maafkan kami Sang
Ratu. Kami tak bisa mencegah. Kisanak ini telah berbuat kesalahan. Kami mohon beribu ampun.”
”Ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi, Kisanak.” Ratu Shima memandangku tajam.
Aku merasa bersalah. Tapi bagaimana pun aku harus mengungkap
tabir kejujuran.
”Saya orang miskin Sang Ratu. Seumur hidup saya belum pernah melihat uang emas, apalagi dalam jumlah
sebanyak ini. Saya ingin mengambil—menyentuh uang emas itu, tapi naas guci
tersenggol kaki hamba, dan terjatuh,
lalu uang emas berserakkan. Semuanya salah hamba. Bukan Bagas dan Kara prajurit Sang Ratu.”
Sesaat Ratu Shima, lalu menghela nafas panjang, memandangku.
”Aku bangga mendengar kejujuran dan keberanian kowe mengakui sebuah kesalahan yang telah
dilakukan, Kisanak. Tapi bagaimana pun
alasannya kowe telah melakukan sebuah
pelanggaran.”
”Maafkan hamba Sang Ratu.”
”Siapa yang bersalah, melanggar aturan yang telah kubuat
harus menerima hukuman!”
”Sekali lagi maafkan hamba Sang Ratu.”
”Sebagai diri pribadi aku bisa memaafkanmu, tapi sebagai
Ratu kerajaan Kalingga aku harus berbuat tegas seperti tempo hari yang pernah
kulakukan pada Putra Mahkota!”
Aku teringat cerita tentang Ratu Shima...ketika Putra Mahkota harus dipotong
tangannya karena mencuri, menyentuh
emas! Apakah aku akan mengalami hal yang
sama. Tubuhku gemetar.
”Pengawal tangkap dia dan bawa ke alun-alun. Algojo
segera lakukan hukuman!”
Bagai pesakitan aku digiring ke alun-alun, aku di dudukkan
di atas panggung.
Aku menjadi tontonan seluruh warga kerajaan Kalingga.
Sungguh, aku berharap ini mimpi…!
Tapi mengapa aku tak terbangun-bangun? Malah sepasang algojo berwajah sangar dan
kejam itu menghampiri. Kakiku diikat dan
diletakkan pada sebuah balok...lalu algojo mengayunkan pedangnya yang berkilat!
Secepat petir pedang tajam menebas, aku menjerit, ngilu,
tubuhku mati rasa, sakit sekali!
* * *
Aku menjerit, meronta, aku ingin terbangun dari mimpi?
Aku merasakan dunia gelap. Gulita. Hitam. Pekat.
Entah beberapa saat. Ketika aku membuka mata…seseorang
berpakaian putih, hei dia perawat yang
cantik, telah ada di dekat pembaringanku. Khas bau obat menyengat menguak kesadaran.
Aku mengusap mataku, lekat. Ah, semoga ini hanya mimpi
sesaat!
”Aku ada di mana, suster?”
”Kamu berada di rumah sakit.”
”Rumah Sakit Kerajaan
Kalingga?”
”Hush ngawur….RS Kartini!”
”Tapi Suster….bagaimana saya bisa sampai disini?”
”Seseorang menemukanmu terluka parah di bibir pantai.
Kamu dalam keadaan pingsan. Sepasang kakimu sepertinya dimakan ikan buas.”
Aku terlonjak. Aku
membuka selimut.
Tak hanya kaki, tapi hatiku terasa telah mati separoh.
Kuraba sesuatu yang mengganjal di saku celana. Aku
mengambilnya. Sekeping uang emas bergambar Ratu Shima. Aku menggegamnya erat.
Erat. Air mataku tumpah ruah seperti air
segara.
Kota Ukir, 16 April-18 Mei 2014
Ceritanya serius kenyataan apa boongan?
ReplyDelete