Cerpen Kartika
Catur Pelita
Nama saya Zoda Yudha Wibawa. Usia saya
26 tahun. Tubuh saya kekar, tampang keren. Kulit kecoklatan mirip sawo
matang, rambut jabrik. Pekerjaan: buruh
pabrik!
Pagi menjelang siang, udara di sekitar pabrik berhembus garang. Musim kemarau
menggila menggulai gerah dan polusi.
Saya mengencangkan ikat pinggang. Masker menyumpal mulut, nafas berhembus liris. Sambil bersenandung tembang
dangdut saya sedang asyik mengebor
komponen kaki kursi, ketika Aisah Aini-cleaning service-di Pabrik
Furniture ini membawa satu kabar
berita.
“Kamu dipanggil
Personalia, Zodak.”
“Kapan?”
“Sekarang juga ke
kantor Personalia!”
Saya segera menyelesaikan pekerjaan mengebor. Tanggung. Tinggal dua frame meja yang belum aku bor! Setelah
selesai saya meminta ijin pada Mandor.
“Mau ke mana, Dak?” tanya Gonzi,
teman saya. Ia Operator Spindle.
“Ke kantor Personalia. Dipanggil
Albabi!” Saya menyebut
nama personalia pabrik tempat saya dan
ratusan teman mencari sesuap nasi.
“Ya…selamat masbro kamu naik gaji. Jangan lupa usulkan gajiku
juga, Dak.”
Saya tersenyum kecil. Sebulan yang lalu upah buruh pabrik ini dinaikkan saicrit. Naik 10 %. Tak
sebanding dengan harga-harga sembako di luaran yang naik lebih dari 50%.
Ah…tapi memang
beginilah nasib wong cilik. Buruh.
Kuli. Bekerja, seperti robot. Gaji irit. Sedikit. Bagaimana bisa hidup sejahtera?
Untuk bertahan
hidup harus bisa mengatur pendapatan sehemat mungkin. Gali lobang tutup lobang.
Ngutang sana-sini. Karena upah yang tak manusiawi ini pantas saja jika
para buruh sering demo.
Saya telah sampai
di Kantor Personalia. Mengetuk pintu.
“Masuk!”
“Selamat siang,
Pak.”
“Siang. Duduk!”
Saya duduk
berhadapan dengan Kepala Personalia-yang semuanya serba gendut. Kepala gendut.
Pinggang gendut. Perut juga gendut.
Apa sih isi perut
gendut itu? Dari mana Pak Albabi
memiliki uang banyak, sehingga hidupnya terlihat makmur?
Inilah yang sering diomongin teman-teman buruh bila kami berkumpul.
Sebagian besar peraturan yang dibuatnya selalu menguntungkan pihak pabrik daripada kesejahteraan buruh.
“Tentu saja dia memilih Pabrik! Pabrik kan yang
memberinya makan, sehingga perutnya sebesar gantong, anaknya bisa kuliah, punya
mobil mewah, gedung magrong-magrong...,”
celetuk si Oye satu teman kami, suatu waktu, ketika kami sedang menunaikan sholat di Mushola Pabrik. Sholat cukup lima menit. Nongkrongnya sepuluh menit.
“Kamu betah kerja di Pabrik ini, saudara
Zodak?”
“Ya…lumayan betah sih, Pak.” Padahal kalau ada
pekerjaan yang gajinya lebih banyak saya pengen
pindah kerja.
“Kamu suka
kerja di bagian produksi, saudara Zodak?”
Saya mengiyakan. Pertama
kerja di pabrik ini dan ditempatkan di bagian pengepakan, lalu tiga bulan
kemudian dipindah di bagian service, enam bulan kemudian
dimutasikan ke bagian produksi. Sebagai operator mesin bor.
“Bagian mesin boiler
dan tungku pengopenan kekurangan personil.
Saudara Zodak, kamu saya
mutasikan ke sana!”
* * *
“Kamu dipindah ke
mana, Kang?”
“Ke bagian
Boiler, In.”
“Boiler?”
“Tungku. Ngopen
kayu. Supaya kering, In.”
“Terus apa
masalahnya, Kang. Mengapa kamu menolak
pindah?”
“Karena lebih enak kerja di produksi seperti sekarang ini In,” Saya
memandangi Indah, istri saya yang tengah berjalan tertatih- mengangsurkan
secangkir teh manis untuk saya.
“Kerja di bagian produksi tak terlalu berat. Bisa masuk pagi terus. Beda di bagian
Boiler, In. Saya nanti harus masuk 3 shift,
pagi, sore dan malam. Bagaimana saya nanti bisa menjaga kamu.”
Indah Suryana,
istri saya terpekur.
“Kamu besok ikut
saya ke Pabrik , In. Kalau kamu yang ngomong mungkin Pak Albabi kasihan dan tak jadi memindahkan Kakang.”
Esoknya kami
menghadap Pak Albabi.
”Saya tak mungkin
membiarkan istri saya sendirian di rumah bila
saya masuk shift malam. Ia, istri
saya paling takut tidur sendirian. Indah
sering mimpi buruk, dan....”
Indah trauma
gara-gara melihat juragannya dibunuh perampok dengan sadis. Bahkan ia pun
menjadi sasaran penyekapan, ketika toko
emas itu dirampok. Kaki kirinya tertembak peluru, sehingga diamputasi, dan kini harus memakai
tongkat.
Saya tak bisa
membayangkan bagaimana kalau nanti saya masuk shift malam dan Indah tinggal sendirian di rumah. Anak kami satu-satunya masih bayi.
“Tolonglah agar suami saya bekerja di bagian semula saja Pak. Suami saya jangan dipindah,” Indah memohon.
Ternyata di dunia
ini memang ada orang yang hatinya
terbuat dari batu.
“Tidak bisa, Bu.
Ini sudah keputusan pabrik.”
“Tapi bapak kan
yang bikin peraturan.”
“Tidak bisa. Saudara
Zodak, kamu tetap saya mutasikan. Saya menempatkan
karyawan sesuai kebutuhan. Saat ini ada karyawan boiler yang keluar. Kamu telah saya pilih
untuk menggantikan. Kamu tak usah khawatir masalah upah kamu. Jabatan kamu pun tetap Operator.”
Operator Boiler. Malam-malam di saat orang tengah tidur-saya malah
harus bekerja. Meninggalkan istri dan anak saya sendirian di rumah!
Saya memijit
kepala yang berdenyut-denyut. Pening. Pusing.
“Bagaimana, saudara Zodak?”
“Bagaimana kalau saya
menolak keputusan Bapak?”
“Karena melanggar Peraturan Pabrik, saudara Zodak, kamu saya
pecat!”
“PHK?”
“Ya…Pemutusan Hubungan Kerja! PHK! Tanpa
pesangon!”
“Tanpa pesangon?”
“Tanpa pesangon!”
“Tapi saya masih
ingin bekerja, Pak. Saya butuh uang untuk hidup.
Sungguh Pak saya sebenarnya tak
ingin menolak keputusan Bapak. Tapi saya
tak bisa meninggalkan istri saya yang cacat
di rumah di saat malam, saat….”
“Itu bukan urusan
saya! Terserah kamu masih mau bekerja di Pabrik ini
atau kamu saya PHK!”
* * *
Kota Ukir, 2010 - 2011
Ilustrasi: Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar