Perempuan yang Baru Tumbuh Payudaranya - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 17 April 2014

Perempuan yang Baru Tumbuh Payudaranya

Cerpen Kartika Catur Pelita

Pil tidur sengaja kutelan. Kuhitung satu, dua, tiga, sebelas pil kujejalkan dalam mulut. Berapa yang masuk, berapa yang kumuntahkan? Aku tak ingat. Sesaat semburat hitam itu melintas. Tentang siapa diriku.

Aku yang sudah ternoda. Aku yang sudah tak perawan. Aku yang kotor. Aku yang cacat dan semakin cacat.  Aku ingin mati.  Lebih baik aku mati daripada diperlakukan keji dan hina. Perempuan belia itu takut.

Awas. Jangan bilang pada siapa pun apa yang telah kulakukan padamu. Kalau kau masih ingin hidup....!

Perempuan berkulit lembut itu kalut.

 “Mengapa sih hari-hari ini kamu sering melamun, Is? Enggak kayak dulu deh. Ceria. Suka bercanda gitu. Sekarang bawaannya diam mulu. Sakit yach? Ada problem nih? Sebagai sahabat, ceritain dong!

Perempuan  berdagu belah itu meragu. Malu. Tak semua cerita harus diungkap. Apalagi hal tabu.

 “Mengapa kau tiba-tiba ingin berpisah, sayang?”

 “Aku...”

“What? Ada orang ketiga diantara kita. Siapa?

 “Aku tak bisa mengatakannya padamu.  Aku  sudah tak pantas lagi untukmu, Re.”

Rei berlalu, berlalulah.

Perempuan bermata sayu  tersedu pada kamar biru. Tak seorang pun tahu apa yang menimpaku. Ibarat aku terjatuh, tertimpa tangga pula. Terluka dan...sakit! Air mata telah kuperas habis. Pada diary ingin kutulis, peristiwa kelam yang menghiasi jalan hidupku.


* * *
“Mengapa kau tak makan, Nduk?” Seorang  ibu memandang buah hatinya  dengan perasaan khawatir.

“Is... tidak pengen makan, Mak.”

 “Kamu sakit?” Bapak menatap iba.

 “Tidak. Is tak apa-apa.”

 “Kalau begitu kau makan. Sebentar lagi ujian. Bagaimana kalau kau sakit.”
 “Mak...” Seandainya aku mampu berterus terang. Apakah perempuan yang melahirkanku akan percaya?  Apakah ia takkan menyalahkanku?

 “Ada apa, Nduk?”

 “Apakah uang bayar SPP sudah ada, Mak?”

 “Jadi kamu mogok makan karena mikirin  uang bayaran sekolah? Hahaha, Isna, Isna ...Bapak pikir ada apa?”

“Sudah ada, Nduk. Kebetulan dagangan  Mak hari ini laris. Besok kamu bisa bayar. Sekarang makanlah!

Diambilnya  secentong nasi putih.  Lauk, telor sambal balado. Aku memakannya lamat-lamat. Nasi terasa sesat di tenggorokan. Entah. Mengapa selalu terbayang peristiwa menjijikkan. Membuatku mual dan ingin muntah!

 “Is, kamu sakit?”

 “Tidak, Mak. Mungkin  hanya  masuk  angin. Beberapa hari Is begadang, belajar untuk ujian minggu depan.”

 “Ya, sudah, Nduk. Setelah ini kamu minum obat, ya. Kalau masih belum sembuh, nanti Mak kerokin.


                                                                   * * *
Perempuan berambut  panjang  meraih  selimut, menutupi tubuhnya  yang nyaris telanjang. Retina  matanya pedih  menatap bajingan   tua yang tersenyum lebar, puas  usai melakukan nafsu bejatnya!

“Mengapa Bapak tega melakukannya pada, Is?”

 “Karena  Makmu pun tega pada Bapak.”

 “Tapi, Is anak bapak.”

“Anak? Siapa bilang kau anakku?  Ketahuilah, makmu sudah hamil 4 bulan  ketika  aku mengawininya. Di atas kertas aku memang bapakmu. Tapi kau bukan benih yang kutanam. Jadi kalau aku  memakan  benih  itu…”

 “Bapak biadab.”

 “Yang biadab ibumu. Kau tahu  binalnya dia. Dia bercinta dengan banyak lelaki. Tak ubahnya lonte. Setelah hamil dia menjeratku untuk menikahiku. Aku terpaksa menikahinya!”

 “Diamdiam Is tak ingin mendengar kebohongan ini! Diam...!”

 “Isna, bangun. Kau mimpi buruk apa, Nduk?”

Ternyata ia dihantui mimpi.   

Kudapati diriku sendiri di kamar tidur. Sendiri. Sepi. Apakah yang kualami mimpi buruk?  Mimpi buruk yang  seolah mengulangi tragedi yang terjadi beberapa bulan ini. Kejadian  pada setiap kesempatan. Perbuatan menjijikkan yang  terus berulang. Mengapa aku tak bisa mencegahnya?  Mimpi ini  adakah  refleksi dari ketakutan dan trauma karena perbuatan terkutuk itu.

* * *
Perempuan berdagu belah itu menulis  pada diary pink.

Kisah dukaku. Kisah nestapaku. Hujan pun ikut menangisi  kepiluan hatiku.  Aku hanya bisa bercerita pada kertas lewat pena. Aku tak sanggup bertutur pada ibu. Aku tak mau berkisah  pada teman. Aku malu. Aku takut mereka kecewa. Aku takut mereka menghina, seandainya tahu peristiwa bejat yang dilakukan bajingan itu padaku.

 Sebagai tanda cinta abadiku padamu. Ketahuilah bahwa cinta suciku hanya padamu. Hanya untukmu.

Dia menulis sepucuk surat ungu berkisah kelabu. Sebagai kado untuk ultah Rei. Lusa ia ultah. Semoga  kado yang dikirimnya hari ini sampai. Sebelum esok  ia  pergi untuk selamanya.

Segumpal pil tidur sengaja ditelannya. Perempuan berkulit bersih  itu memucat. Dia sekarat, terbayang wajah Mak,  Rei, Ina, dan teman-temannya. Apakah setelah aku tiada, mereka akan kehilangan?

Mak, maafkan anakmu yang tak pantas menjadi anakmu. Seperti lelaki bejat itu yang tak pantas  jadi bapakku! Dia bukan bapakku, kan Mak? Tak ada bapak yang tega menista anaknya!

Mungkin benar, Mak sudah hamil ketika menikah dengannya? Tapi bukan berarti kemudian dia memperkosa  anak yang bukan darah daging, tapi dibesarkan, bahkan pernah dipangku, dininabobokan dan  dimandikankannya  ketika kecil.

Kalau dia bukan bapak kandungku, lalu siapa yang telah meneteskan benih di rahimmu, Mak, sehingga terlahir aku? Siapa bapakku?

Peduli amat! Dia tak lebih baik dari bajingan itu! Untuk apa aku mencari tahu.
 
Perempuan  yang duduk di bangku kelas 2 SMP itu menyusut air mata. Aku merasakan mataku perih  mengabut, nafas sesak, tubuh terasa sangat sakit, sakit. Kemudian gelap dan pekat!

*  *  *

Apakah aku sudah mati? Di manakah aku? Surga atau neraka kah ini? Mengapa aku ada di sini? Seseorang berbaju putih menyentuhku, hei, dia menciumku. Dia  tulus. Diakah malaikat penjaga  surga?

Hei, hei mengapa ada stetoskop di lehernya?

 “Adik telah sadar. Bersyukurlah  pada Tuhan, nyawa adik  terselamatkan!”

Seorang dokter keibuan menatapku haru, seiring suaranya yang lembut sarat kasih. Pada sebuah rumah sakit.

 “Mengapa kamu  bunuh diri? Ada masalah apa, Nduk? Semua  masalah ada jalan keluarnya.”

Mak  memelukku.  Ternyata ia sangat menyayangiku dan takut kehilanganku.

“Jangan sembunyikan rahasia. Ini makmu, ceritakan ada masalah apa. Jangan takut.”

Perempuan yang payudaranya baru tumbuh itu  menangis, meraung  panjang-panjang sehingga bahunya berguncang-guncang. Sudah saatnya aku menceritakan segalanya.

Perempuan  tua  terlongong. Marah. Pulang ke rumah.  Kalap. Mengambil pisau dapur dan menusuk lelaki biadab itu sampai mati, mengantar dirinya ke penjara.

 “Maafkan Is, Mak. Seandainya Is bisa menjaga diri.”

 “Semua sudah terjadi, Nduk.”

“Mak... ”

“Mak  kecolongan. Mak tak sadar kalau tinggal seatap dengan srigala. Mak  tak menyesal sudah membunuh binatang itu.”

 “Benar...bahwa Is bukan anaknya?”

 “Dia pasti bercerita tentang perempuan hamil yang dinikahinya.”

 “Bapak kandung,  Is?”

 “Tak usah kau tanyakan itu. Mak pun tak sudi mengingatnya. Dia pergi setelah mengambil seluruh milik  Mak.  Cinta Mak hanya untuk dia. Mak memberinya  warna pelangi,  dia memberi hitam. Hitam.”

                                                            * * *

 “Terimakasih Rei, kau sudah membantuku....”

 “Aku melakukannya karena aku menyayangimu, Is.  Tahukah kau betapa hancur hatiku membaca diarymu. Peristiwa tragis yang kau alami. Aku akan mengadukannya pada Makmu. Ketika aku  datang ke rumahmu, semuanya terlambat. Makmu...

 “Akhirnya Mak tahu segalanya. Walau untuk itu mak menghabiskan umurnya di penjara.”

 “Aku turut prihatin, Is.”

 “Terimakasih, Rei. Eh, sudah malam. Pulanglah.”

 “Kita, maksudku apakah kita bisa seperti dulu lagi?”

Ia menggelengkan  kepala.  Aku sudah memutuskan jalan yang kupilih.

Tak hanya Rei dan teman sekolah yang tahu.  Tetangga tahu. Orang yang baca koran dan nonton teve tahu. Isna-diperkosa ayah tirinya! Isna-anak seorang pembunuh!

 “Seandainya aku  masih punya perasaan itu pun,  aku sudah tak pantas  lagi memiliknya. Pulanglah, Rei. Satu hari kau akan menemukan cewek yang lebih segalanya dari aku.”

 “Tapi, Is...”

 “Jika kau masih  punya rasa itu.  Simpan  saja sebagai kenangan.”

“Aku masih menyayangimu,  Isna.”

Rei, lekaslah berlalu. Biar waktu yang akan menjadi saksi sepasang cinta manusia. Kita tak bisa  memilih akhir cinta seperti yang dimau. Terimakasih  atas segenap cinta yang pernah kau berikan.

Perempuan belia, ayu, bermata sayu, belah dagu, berambut panjang,  menyeret sebelah  kaki  yang pincang, dan menatap  punggung bungkuk yang berpaku pada kursi roda itu- untuk yang terakhir kali. Esok aku akan meninggalkan rumah ini, kota ini, memulai lembaran hidup baru. Kalian tahu, aku perlu seribu  waktu  untuk menyembuhkan luka  mengungu  karena tergores sejuta  sembilu.


Kota Ukir, 11 Januari 2011 - 16 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar