Pil tidur sengaja kutelan. Kuhitung satu, dua, tiga,
sebelas pil kujejalkan dalam mulut. Berapa yang masuk, berapa yang kumuntahkan?
Aku tak ingat. Sesaat semburat hitam itu melintas. Tentang siapa diriku.
Aku yang sudah ternoda. Aku yang sudah tak perawan.
Aku yang kotor. Aku yang cacat dan semakin cacat. Aku ingin mati. Lebih baik aku mati daripada diperlakukan keji
dan hina. Perempuan
belia itu takut.
“Awas. Jangan
bilang pada siapa pun apa yang telah kulakukan padamu. Kalau kau masih ingin hidup....!”
Perempuan
berkulit lembut itu kalut.
“Mengapa sih hari-hari ini kamu
sering melamun, Is? Enggak kayak
dulu deh. Ceria. Suka bercanda gitu. Sekarang bawaannya diam mulu. Sakit yach? Ada problem nih? Sebagai sahabat,
ceritain dong!”
Perempuan berdagu belah itu meragu.
Malu. Tak semua cerita harus diungkap. Apalagi hal tabu.
“Mengapa kau tiba-tiba ingin
berpisah, sayang?”
“Aku...”
“What?
Ada orang ketiga diantara kita. Siapa?”
“Aku tak bisa mengatakannya
padamu. Aku sudah tak pantas lagi untukmu, Re.”
Rei
berlalu, berlalulah.
Perempuan
bermata sayu tersedu pada kamar biru. Tak
seorang pun tahu apa yang menimpaku. Ibarat aku terjatuh,
tertimpa tangga pula. Terluka dan...sakit!
Air mata telah kuperas habis. Pada diary ingin kutulis, peristiwa kelam yang
menghiasi jalan hidupku.
* * *
“Mengapa
kau tak makan, Nduk?”
Seorang ibu memandang buah hatinya dengan perasaan khawatir.
“Is...
tidak pengen makan, Mak.”
“Kamu sakit?” Bapak menatap iba.
“Tidak. Is tak apa-apa.”
“Kalau begitu kau makan.
Sebentar lagi ujian. Bagaimana kalau kau sakit.”
“Mak...” Seandainya
aku mampu berterus terang. Apakah perempuan
yang melahirkanku akan percaya? Apakah
ia takkan menyalahkanku?
“Ada apa, Nduk?”
“Apakah uang bayar SPP
sudah ada, Mak?”
“Jadi kamu mogok makan karena mikirin
uang bayaran sekolah? Hahaha, Isna,
Isna ...Bapak pikir ada apa?”
“Sudah
ada, Nduk. Kebetulan dagangan Mak hari
ini laris. Besok kamu bisa bayar. Sekarang makanlah!”
Diambilnya
secentong nasi putih. Lauk, telor sambal balado. Aku memakannya
lamat-lamat. Nasi terasa sesat di tenggorokan. Entah.
Mengapa selalu terbayang peristiwa menjijikkan. Membuatku
mual dan ingin muntah!
“Is, kamu sakit?”
“Tidak, Mak. Mungkin hanya masuk angin. Beberapa
hari Is begadang, belajar untuk ujian minggu depan.”
“Ya, sudah, Nduk. Setelah ini kamu minum obat, ya. Kalau masih belum sembuh,
nanti Mak kerokin.”
* * *
Perempuan
berambut panjang meraih selimut, menutupi tubuhnya yang nyaris
telanjang. Retina
matanya pedih menatap bajingan tua
yang tersenyum lebar, puas usai melakukan nafsu bejatnya!
“Mengapa
Bapak tega melakukannya pada, Is?”
“Karena Makmu pun tega pada Bapak.”
“Tapi, Is
anak bapak.”
“Anak?
Siapa bilang kau anakku? Ketahuilah,
makmu sudah hamil 4 bulan ketika
aku mengawininya. Di atas kertas aku memang bapakmu.
Tapi kau bukan benih yang kutanam. Jadi kalau aku memakan benih
itu…”
“Bapak biadab.”
“Yang biadab ibumu. Kau
tahu binalnya dia. Dia bercinta dengan
banyak lelaki. Tak ubahnya lonte.
Setelah hamil dia menjeratku untuk menikahiku. Aku terpaksa
menikahinya!”
“Diam… diam…
Is tak ingin mendengar kebohongan ini! Diam...!”
“Isna, bangun. Kau mimpi buruk
apa, Nduk?”
Ternyata
ia dihantui mimpi.
Kudapati
diriku sendiri di kamar tidur. Sendiri. Sepi. Apakah yang kualami mimpi
buruk? Mimpi buruk yang seolah mengulangi tragedi yang terjadi
beberapa bulan ini. Kejadian pada setiap
kesempatan. Perbuatan menjijikkan yang terus berulang. Mengapa aku tak bisa
mencegahnya? Mimpi ini adakah
refleksi dari ketakutan dan trauma
karena perbuatan terkutuk itu.
* * *
Perempuan
berdagu belah itu menulis pada diary pink.
Kisah
dukaku. Kisah nestapaku. Hujan pun ikut menangisi kepiluan hatiku. Aku hanya bisa bercerita pada kertas lewat
pena. Aku tak sanggup bertutur pada ibu. Aku tak mau berkisah pada teman. Aku malu. Aku takut mereka kecewa.
Aku takut mereka menghina, seandainya tahu peristiwa bejat yang dilakukan
bajingan itu padaku.
Sebagai tanda cinta abadiku
padamu. Ketahuilah bahwa cinta suciku hanya padamu. Hanya untukmu.
Dia
menulis sepucuk surat ungu berkisah kelabu. Sebagai kado untuk ultah Rei. Lusa ia
ultah. Semoga kado yang dikirimnya hari
ini sampai. Sebelum esok ia pergi untuk selamanya.
Segumpal pil tidur sengaja ditelannya. Perempuan
berkulit bersih itu memucat. Dia sekarat,
terbayang wajah Mak, Rei, Ina, dan teman-temannya.
Apakah setelah aku tiada, mereka akan kehilangan?
Mak,
maafkan anakmu yang tak pantas menjadi anakmu. Seperti lelaki bejat itu yang
tak pantas jadi bapakku! Dia bukan
bapakku, kan Mak? Tak ada bapak yang tega menista anaknya!
Mungkin
benar, Mak sudah hamil ketika menikah dengannya? Tapi bukan berarti kemudian
dia memperkosa anak yang bukan darah daging, tapi
dibesarkan, bahkan pernah dipangku, dininabobokan
dan dimandikankannya ketika kecil.
Kalau
dia bukan bapak kandungku, lalu siapa yang telah meneteskan benih di rahimmu,
Mak, sehingga terlahir aku? Siapa bapakku?
Peduli
amat! Dia tak lebih baik dari bajingan itu! Untuk apa aku mencari tahu.
Perempuan
yang duduk di bangku kelas 2 SMP itu
menyusut air mata. Aku merasakan mataku perih
mengabut, nafas sesak, tubuh terasa sangat sakit, sakit. Kemudian gelap
dan pekat!
* * *
Apakah
aku sudah mati? Di manakah aku? Surga atau neraka kah ini?
Mengapa aku ada di sini? Seseorang
berbaju putih menyentuhku, hei, dia menciumku. Dia tulus. Diakah malaikat penjaga surga?
Hei,
hei mengapa ada stetoskop di lehernya?
“Adik telah sadar. Bersyukurlah pada Tuhan, nyawa adik terselamatkan!”
Seorang
dokter keibuan menatapku haru, seiring suaranya yang lembut sarat kasih. Pada
sebuah rumah sakit.
“Mengapa kamu bunuh diri? Ada masalah apa, Nduk? Semua masalah ada jalan keluarnya.”
Mak
memelukku. Ternyata ia sangat menyayangiku dan takut
kehilanganku.
“Jangan
sembunyikan rahasia. Ini makmu, ceritakan ada masalah apa. Jangan takut.”
Perempuan
yang payudaranya baru tumbuh itu menangis, meraung panjang-panjang sehingga bahunya berguncang-guncang.
Sudah saatnya aku menceritakan segalanya.
Perempuan tua terlongong. Marah. Pulang
ke rumah. Kalap. Mengambil pisau dapur
dan menusuk lelaki biadab itu sampai mati, mengantar dirinya ke penjara.
“Maafkan Is, Mak. Seandainya Is
bisa menjaga diri.”
“Semua sudah terjadi, Nduk.”
“Mak...
”
“Mak
kecolongan. Mak tak sadar kalau tinggal
seatap dengan srigala. Mak tak menyesal
sudah membunuh binatang itu.”
“Benar...bahwa Is bukan
anaknya?”
“Dia pasti bercerita tentang perempuan
hamil yang dinikahinya.”
“Bapak kandung, Is?”
“Tak usah kau tanyakan itu. Mak
pun tak sudi mengingatnya. Dia pergi setelah mengambil seluruh milik Mak. Cinta Mak hanya untuk dia. Mak memberinya warna pelangi, dia memberi hitam. Hitam.”
* * *
“Terimakasih Rei, kau sudah
membantuku....”
“Aku melakukannya karena aku
menyayangimu, Is. Tahukah kau betapa
hancur hatiku membaca diarymu. Peristiwa
tragis yang kau alami. Aku akan mengadukannya pada Makmu. Ketika aku datang ke rumahmu, semuanya terlambat.
Makmu...”
“Akhirnya Mak tahu segalanya. Walau
untuk itu mak menghabiskan umurnya di penjara.”
“Aku turut prihatin, Is.”
“Terimakasih, Rei. Eh, sudah malam.
Pulanglah.”
“Kita, maksudku apakah kita bisa seperti dulu lagi?”
Ia
menggelengkan kepala. Aku sudah memutuskan jalan yang kupilih.
Tak
hanya Rei dan teman sekolah yang tahu. Tetangga tahu. Orang yang baca koran dan
nonton teve tahu. Isna-diperkosa ayah tirinya! Isna-anak seorang pembunuh!
“Seandainya aku masih punya perasaan itu pun, aku sudah tak pantas lagi memiliknya. Pulanglah, Rei. Satu hari kau
akan menemukan cewek yang lebih segalanya dari aku.”
“Tapi, Is...”
“Jika kau masih punya rasa itu. Simpan saja sebagai kenangan.”
“Aku
masih menyayangimu, Isna.”
Rei,
lekaslah berlalu. Biar waktu yang akan menjadi saksi sepasang cinta manusia.
Kita tak bisa memilih akhir cinta
seperti yang dimau. Terimakasih atas
segenap cinta yang pernah kau berikan.
Perempuan
belia, ayu, bermata sayu, belah dagu, berambut panjang, menyeret sebelah kaki
yang pincang, dan menatap
punggung bungkuk yang berpaku pada kursi roda itu- untuk yang terakhir
kali. Esok aku akan meninggalkan rumah ini, kota ini, memulai lembaran hidup
baru. Kalian tahu, aku perlu seribu waktu untuk
menyembuhkan luka mengungu karena tergores sejuta sembilu.
Kota Ukir, 11 Januari 2011 - 16 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar