Jepara, soearamoeria.com
10 tahun silam
desa Margoyoso kecamatan Kalinyamatan menjadi pusat pelimbangan atau gombang
emas. Pelimbangan merupakan usaha yang menggiurkan. Semakin langkanya perajin
emas berdampak pula pada warga yang fokus pada usaha tersebut. Kini usaha
tersebut hanya digeluti tinggal satuan orang.
Adalah Chudri
warga Margoyoso RT.05 RW.03 yang masih bertahan menekuni usaha pelimbangan.
Usaha tersebut ia terkuni sejak beberapa tahun silam. Meskipun teman-teman
seperjuangan sudah banyak yang pindah profesi ia masih bertahan.
Usaha pelimbangan
menggiurkan disamping hasilnya besar modal yang dibutuhkan juga sangat besar.
Modal tersebut untuk menebas, membeli tanah dari perajin emas. Duit yang
dikeluarkan antara 5-10 juta per-tebasan. “Tanah bekas perajin emas di beli
seharga 5-10 juta mas,” kata Rouf Fredianto, putra Chudri.
Selain dari
Margoyoso tanah juga dibeli dari desa-desa sekitar semisal Kriyan, Purwogondo,
Robayan (Kalinyamatan) dan Krasak (Pecangaan). Setelah ditebas tanah menjadi
hak milik pembeli untuk kemudian dilimbang sisa-sisa emas yang bercampur tanah
tersebut. Pelimbangan melalui beberapa tahap. Intinya proses yang meliputi
beberapa tahap tersebut adalah memisahkan emas dan tanah.
“Proses
pelimbangan dibantu dengan zat-zat kimiawi semisal air raksa, komboran, sabun,
pijar dan sendawa,” ungkapnya. Zaman semakin maju untuk melimbang pun
alatnya kian modern. Pelimbang hanya butuh waktu sekitar 1-2 jam untuk
memproses setelah itu diserahkan sepenuhnya pada alat yang memutar sendiri.
Alat memutar sendiri dalam 5 jam lamanya.
Satu sak tanah
belum menjangkau jumlah emas yang diperoleh. Sehingga perlu satuan hingga
puluhan sak untuk memperoleh emas yang bisa digramkan. Hasilnya, Chudri
menjual hasil limbangan 1 gramnya sebesar Rp.480-000-500.000 kepada agen yakni
tetangga yang masih bertahan sebagai perajin emas.
Untuk harga
standarnya sekitar Rp.470.000. Ia menungkapkan emas limbangan beda tipis dengan
emas batangan. Emasnya sama-sama murni bedanya pada emas limbangan ada sedikit
campuran partikel. Dari agen, emas limbangan dibatangkan kemudian dijual
kepada orang China kemudian orang Jawa yang jadi anteknya diminta untuk
membuatnya jadi berbagai model kerajinan emas.
Langka
Usaha pelimbangan
semakin langka karena warga terjerat modal yang sangat besar. Ditambah makin
jarangnya penduduk yang berprofesi sebagai buruh kemasan atau perajin emas yang
dulu ngantek dengan China. Sebenarnya masih banyak tanah hasil perajin
emas yang berasal dari luar daerah semisal Kudus, Semarang, Solo, Bandung dan
Jakarta.
Tetapi harga tanah
tersebut tidak lagi bernilai jutaan melainkan sudah bernilai milyaran. Akhirnya
warga memang harus angkat kaki dari usaha menggiurkan tersebut. Mereka pun
terpaksa alih profesi sebagai perajin monel, konveksi dan beberapa pekerjaan
yang sesuai dengan pilihannya. (qim)