![]() |
| Ali Achmadi. Foto: Koleksi pribadi. |
Oleh : Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan dan Peminat Masalah Sosial, Tinggal di Pati
Ada satu kebijakan yang terdengar sangat manusiawi, tapi diam-diam kejam: naik kelas otomatis.
Anak-anak dibuat bahagia hari ini. Tapi masa depannya dibiarkan rapuh. Kita seolah sepakat: tinggal kelas itu menyakitkan. Katanya bisa melukai mental. Katanya membuat anak minder. Maka solusinya sederhana: semua naik. Tanpa kecuali. Tanpa syarat yang sungguh-sungguh.
Masalahnya, sekolah bukan sekadar tempat naik tingkat. Sekolah adalah tempat memastikan isi kepala ikut naik. Di situlah sistem tinggal kelas dulu berfungsi. Ia bukan hukuman. Ia pagar. Pagar agar anak yang belum bisa membaca tidak dipaksa memahami paragraf panjang.
Agar yang belum paham hitungan dasar tidak diseret ke aljabar. Agar yang pondasinya rapuh tidak diminta membangun lantai dua. Sekarang pagar itu dibongkar. Alasannya mulia. Dampaknya berbahaya.
Saya sering bertemu siswa di kelas yang masih terbata dengan matematika dasar. Mereka naik terus, sampai kelas 12. Tapi tertinggal jauh di dalam. Setiap pelajaran jadi beban. Setiap ujian jadi ancaman. Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena kita menipu mereka sejak awal. Tanpa kemungkinan tinggal kelas, pesan yang sampai sederhana: tidak apa-apa tidak serius. Belajar atau tidak, hasilnya sama. Naik.
Akuntabilitas hilang. Motivasi menipis. Sekolah berubah jadi eskalator, bukan tangga. Padahal hidup tidak mengenal “naik otomatis”. Dunia kerja tidak peduli raport. Dunia kerja hanya bertanya: bisa atau tidak.
Dulu, tinggal kelas memberi satu hal yang sekarang langka: waktu. Waktu untuk memperbaiki.
Waktu untuk mengulang tanpa dikejar target baru. Waktu untuk membangun dasar yang tertinggal. Remedial dua jam? Terlalu naif untuk luka setahun.
Masalah akademik itu tidak hilang dengan dipindahkan ke kelas berikutnya. Ia menumpuk. Menggumpal. Meledak di jenjang lebih tinggi. Di situlah frustrasi muncul. Putus sekolah mengintai. Lulusan setengah matang bermunculan. Ironisnya, semua itu dibungkus dengan jargon “demi psikologis anak”.
Padahal membiarkan anak terus gagal diam-diam jauh lebih kejam daripada memintanya berhenti sejenak untuk memperbaiki diri. Tinggal kelas juga dulu punya efek samping yang sehat: guru lebih jujur. Menilai tidak sekadar formalitas. Sekolah tidak bisa sekadar meluluskan, lalu berlepas tangan.
Jika banyak yang tinggal kelas, itu alarm. Bukan aib. Alarm bahwa metode mengajar perlu dibenahi.
Bahwa sistem perlu dikoreksi. Mengembalikan sistem tinggal kelas bukan langkah mundur. Justru itu langkah berani.
Berani mengakui bahwa mutu lebih penting daripada statistik kelulusan. Berani mengatakan bahwa tidak semua masalah selesai dengan senyum dan slogan. Berani menjaga pendidikan agar tidak sekadar ramah, tapi juga bermakna. Naik kelas itu penting. Tapi lebih penting lagi: layak untuk naik. (*)
