![]() |
Ali Achmadi. Foto: Koleksi pribadi. |
Oleh : Ali Achmadi, peminat masalah sosial, tinggal di Pati
“Zamane zaman edan, yen ora ngedan ora keduman.” Kalimat itu dulu hanya pitutur. Tapi hari ini, di Pati, ia terasa seperti deskripsi. Zamannya memang edan. Di mana akal sehat dijadikan cadangan, dan kepentingan pribadi dijadikan haluan. Di mana yang dulu lantang bicara moral, kini bisa bergandengan dengan yang dulu ia hujat — asal kursinya aman dan aliran dana tetap jalan.
Hari ini ngalor, besok bisa ngidul. Lusa bisa ngetan, minggu depan bisa ngulon. Asal diminta jalan, berangkat. Tak peduli siapa yang meminta, tak peduli untuk tujuan apa. Itulah wajah politik lokal kita hari ini: cair, pragmatis, dan nyaris tanpa arah ideologis. Yang dipertahankan bukan prinsip, tapi akses. Yang dijaga bukan marwah, tapi jaringan. Dan siapa yang berani tetap waras, siap-siap disingkirkan. Karena di zaman seperti ini, “waras” sering kali dianggap penghalang.
Padahal, Pati bukan tidak punya orang cerdas. Bukan tidak punya tokoh yang punya niat baik. Tapi sistem sosial dan politiknya seperti rawa: siapa yang terlalu bersih, cepat tenggelam. Di panggung yang sama, kita lihat pejabat bicara soal pembangunan, tapi di belakangnya sibuk menghitung peta dukungan dan pembagian kue proyek. Kita lihat tokoh masyarakat berbicara soal persatuan, tapi diam-diam ikut membelah warga — karena perpecahan itu ternyata menguntungkan.
Ya, hari ini yang sedang dijual bukan gagasan, tapi keberpihakan. Yang diperebutkan bukan kebenaran, tapi kendali atas massa. Dan rakyat — seperti biasa — hanya jadi obyek. Diseret ke sana, dibelokkan ke sini. Dibenturkan dengan sesamanya sendiri.
Ironinya, di tengah kegilaan itu, semua pihak merasa benar. Yang menyusun strategi merasa paling realistis. Yang berpindah haluan merasa paling cerdas. Yang diam merasa paling aman. Tak ada lagi ukuran idealisme. Semua bisa dinegosiasikan. Yang penting: ada dana, ada peran, ada bagian. Dan itulah bentuk “ngedan” paling halus: gila tapi tetap berpenampilan waras. Bicaranya sopan, jalannya rapi, tapi nuraninya disandera kepentingan.
Namun leluhur kita tak berhenti di kalimat itu saja. Masih ada sambungannya yang lebih bijak: “Sak beja bejane wong kang lali, iseh bejo wong kang eling lan waspodho.” Artinya, meski ikut dalam pusaran zaman edan, selama kita masih eling lan waspada — masih punya kesadaran dan pegangan nilai — masih ada harapan untuk selamat.
Mungkin inilah waktunya Pati belajar dari pitutur itu. Karena kegilaan ini tidak akan berakhir kalau semua pihak ikut arusnya. Harus ada yang memilih tetap eling, tetap waspada — meski risikonya tidak populer, tidak menguntungkan.
Pati butuh orang waras yang berani. Yang tidak menukar nurani dengan gepokan uang. Yang tidak tega melihat warganya dipecah belah hanya demi sebuah kepentingan. Karena di tengah zaman edan, justru kewarasan adalah bentuk keberanian tertinggi. (*)