Notification

×

Iklan

Iklan

Mengintegrasikan Sains dan Agama: Tantangan OMI yang Sesungguhnya

Jumat, 19 September 2025 | 18:32 WIB Last Updated 2025-09-19T11:32:12Z

Ali Achmadi. Foto: dokumen pribadi. 



Oleh : Ali Achmadi, Kabid Humas Yayasan Ar Raudloh, Perguruan Islam Raudlatut Tholibin Pakis-Pati


Olimpiade Madrasah Indonesia (OMI) bukan sekadar ajang adu cerdas. Di atas kertas, ia hanya lomba – tapi di lapangan, para peserta seperti dihadapkan pada pertarungan intelektual yang menguras tenaga, logika, dan iman sekaligus.


Sulit? Tentu saja. Bukan hanya karena soalnya berlapis-lapis, tetapi karena OMI menuntut cara berpikir yang lintas dunia: antara sains modern dan ilmu agama. Satu saat peserta harus menghitung gaya sentripetal pada gerak planet, di saat berikutnya diminta menjawab bagaimana fenomena itu tercermin dalam ayat-ayat kauniyah. Fisika, kimia, biologi, matematika – semua bercampur dengan tafsir, fikih, bahkan aqidah akhlak.


Inilah yang membedakan OMI dari olimpiade sains pada umumnya. Peserta tidak hanya diminta menyelesaikan soal fisika, kimia, atau matematika secara murni, tetapi juga mengaitkan konsep-konsep itu dengan nilai-nilai keislaman. Sebuah soal dapat dimulai dengan perhitungan hukum Newton, lalu diakhiri dengan pertanyaan reflektif: bagaimana hasil perhitungan tersebut dikaitkan dengan jumlah ayat dalam salah satu surah yang relevan.


OMI menuntut kemampuan berpikir integratif – memadukan data ilmiah dengan kedalaman spiritual. Inilah yang membuat banyak peserta mengaku, soal OMI terasa jauh lebih sulit dibanding olimpiade sains biasa, bahkan dibanding OSN sekalipun.


Tantangan ini menuntut peserta untuk melampaui teori dan rumus. Mereka harus mampu berpikir kritis, holistik, dan integratif. Dalam prosesnya, OMI sejatinya sedang membentuk generasi pelajar yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki pandangan dunia yang utuh – melihat ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk semakin mengenal Sang Pencipta.


Harapannya, dari kesulitan itu lahir pembelajar sejati. Peserta belajar bahwa pengetahuan tidak terkotak-kotak; bahwa sains dan agama bukan dua jalan yang berseberangan, melainkan dua sisi dari satu pencarian kebenaran. Sains bukan sekadar kumpulan angka dan teori, melainkan sarana untuk memahami keteraturan alam semesta dan menguatkan nilai spiritual.


OMI bukan hanya sekadar ajang lomba, namun merupakan laboratorium kecil, tempat generasi muda diuji: mampukah mereka menjadi ilmuwan yang beriman, atau santri yang berpikir saintifik? Dan di balik setiap soal yang membuat kening berkerut, tersimpan pesan sederhana: ilmu pengetahuan hanyalah alat – tujuan akhirnya tetap sama, mencari kebenaran dan mendekat pada Sang Pencipta. (*)

close close