![]() |
Ali Achmadi. Foto: koleksi pribadi. |
Oleh : Ali Achmadi, Kabid Humas Yayasan Ar Raudloh, Perguruan Islam Raudlatut Tholibin Pakis-Pati
Tes Kemampuan Akademik (TKA) digadang-gadang sebagai instrumen objektif untuk mengukur capaian akademik murid. Tidak ada pungutan biaya, seluruhnya ditanggung negara, dan – yang membuat tanda tanya - sifatnya tidak wajib. Kedengarannya ideal: memberi kesempatan setara bagi semua murid tanpa tekanan. Murid dan sekolah yang siap bisa ikut, yang belum siap tidak perlu memaksakan diri.
Namun, di balik wajah ramah itu, ada paradoks yang sulit diabaikan. Di satu sisi, murid diberi kebebasan untuk tidak ikut TKA. Di sisi lain, hasil TKA justru akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya: dari SD ke SMP, SMP ke SMA/SMK/MA, hingga perguruan tinggi jalur prestasi seperti SNBP. Dengan kata lain, siswa boleh tidak ikut, tetapi konsekuensinya mereka kehilangan salah satu "kartu akses" penting yang bisa menentukan masa depan akademiknya.
Jika murid yang tidak ikut otomatis tersisih dari peluang seleksi, maka kata “opsional” kehilangan maknanya. Sistem seperti ini membuat TKA berpotensi menjadi ujian tersembunyi yang de facto wajib. Siswa yang serius ingin melanjutkan pendidikan tentu akan merasa perlu ikut TKA, walau secara formal disebut pilihan.
Dan di sinilah masalah baru muncul: celah ketimpangan. Murid dengan fasilitas belajar memadai, akses internet cepat, dan dukungan orang tua yang mampu membiayai bimbingan belajar akan jauh lebih siap menghadapi TKA. Sementara murid di daerah terpencil atau keluarga kurang mampu mungkin akan kesulitan mengimbangi, meski biaya TKA ditanggung negara.
Lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan filosofis: apakah negara sedang mendorong penyeragaman penilaian, atau justru menciptakan lapisan seleksi baru yang menambah beban murid? Bukankah kita baru saja berupaya melepaskan diri dari bayang-bayang Ujian Nasional yang selama bertahun-tahun dikritik karena menciptakan tekanan psikologis berlebihan pada siswa?
Ironisnya, di tengah upaya pemerintah menyederhanakan beban belajar, mengurangi jumlah mata pelajaran, dan menekankan well-being murid, TKA justru seperti menambahkan rintangan baru. Bukan lagi sekadar alat ukur, melainkan gerbang yang harus dilewati jika ingin melangkah ke jenjang berikutnya.
Jika memang TKA ditujukan sebagai penguatan capaian akademik, seharusnya ia berfungsi sebagai cermin, bukan gerbang. Sebagai umpan balik bagi guru dan sekolah, bukan tiket yang menentukan masa depan pendidikan anak. Hasil TKA seharusnya membantu sekolah mengidentifikasi kelemahan sistem pengajaran, memetakan kebutuhan belajar murid, dan menjadi dasar perbaikan kurikulum — bukan hanya menjadi angka yang menentukan siapa berhak melanjutkan dan siapa yang tidak.
Kita perlu jujur: tidak ada yang benar-benar sukarela ketika masa depan dipertaruhkan. Jika TKA akan dijadikan dasar seleksi di setiap jenjang pendidikan, maka pemerintah wajib memastikan bahwa setiap murid memiliki kesempatan yang sama untuk mempersiapkan diri: kurikulum yang konsisten, akses sumber belajar mudah dan gratis, latihan soal yang terbuka, bahkan bimbingan belajar daring yang disediakan negara. Tanpa itu, TKA hanya akan memperlebar jurang ketimpangan antara yang mampu dan yang tidak. Antara sekolah unggulan dan sekolah pinggiran.
Dan jika tidak ada upaya serius ke arah itu, maka TKA hanya akan menjadi jebakan manis — kelihatan opsional, padahal diam-diam memaksa. Kita mungkin sudah menanggalkan Ujian Nasional, tetapi jika TKA dibiarkan menjadi “Ujian Nasional berganti nama”, kita sedang mengulang sejarah dengan wajah baru. (*)