![]() |
Ketua MUI Blitar sampaikan ceramah. |
Blitar, soearamoeria.com - Siapapun kita pasti menginginkan untuk menjadi orang yang mulia. Baik di hadapan Allah SWT, maupun sesama manusia. Siapa pula yang tidak ingin mendapatkan posisi terbaik di sisi Sang Maha Cinta dan orang-orang di sekitarnya pun segan terhadapnya karena kebaikan kemuliaan pribadinya.
Hal itu diungkapkan oleh KH Syaikuddin Rohman Ketua MUI Kabupaten Blitar saat Ceramah Peringatan Maulid Muhammad SAW di hadapan ratusan jamaah Masjid Al Musthofa Bakung Udanawu Blitar Jatim Jumat (27/9/2024).
Lantas siapakah yang dimaksud dengan orang mulia itu, sehingga dicintai Allah dan Rasulnya, juga orang-orang mukmin lainnya?
Menurut Kiai Cikut panggilan akrabnya, sejatinya orang mulia bukanlah orang yang sakti. Bukan pula orang kaya raya yang bergelimang harta benda.
"Bukan juga pejabat yang menyandang gelar mentereng dan memiliki posisi terhormat di tempat kerjanya maupun di masyarakat," ujar Kiai yang juga pengurus PCNU Kabupaten Blitar itu.
Banyak sekali pelajaran tentang siapa yang paling mulia di sisi Allah dan manusia,lanjut Kiai Cikut. Apalagi di era seperti sekarang ini kita sering dibutakan oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Sehingga sering dikesankan bahwa kemuliaan seseorang itu tampak dari apa yang dimilikinya yang lebih moncer dari orang pada umumnya.
Kondisi ini menjadikan sebagian manusia rela bahkan tak malu lagi melakukan segala macam cara agar dilihat lebih mulia di mata manusia. Tentu saja ini bertentangan dengan apa yang tegaskan Allah SWT, melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49) ayat 13 yang menyatakan bahwa orang yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti," sitirnya.
Jadi Mukmin yang baik akan senantiasa memulai hari dengan doa dan niat tulus menggapai rahmat dan rida dari Allah, Sang Pemilik Semesta. Tak lupa pula memohon perlindungan dari segala mara bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan raga.
"Kebiasaan seperti inilah salah satu yang memosisikan seseorang menjadi mulia di sisi Allah SWT," jelas Kiai Cikut yang juga mantan Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKB Blitar itu.
Lalu, bagaimana caranya agar dimudahkan dalam mendapatkan perlindungan dan rahmat dari-Nya.
Lalu bagaimana agar kita mendapatkan rahmat dan perlindungan dari Allah, Rasulullah SAW telah bersabda: Yang artinya.
“Ada tiga hal yang apabila itu di lakukan akan dilindungi Allah dalam pemeliharaan-Nya, ditaburi rahmat-Nya, dan di masukkan ke dalam surga-Nya, yaitu Apabila diberi, ia bisa berterima kasih; apabila ia berkuasa, ia suka memaafkan; dan apabila marah, ia mampu menahan diri.” (HR Hakim dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas).
Hadis Rasulullah Saw tersebut, jelas Kiai Cikut memberikan pembelajaran kepada kita tentang cara menggapai kemuliaan di sisi Allah dengan mengharap perlindungannya.
Caranya antara lain dengan langkah berikut: Apabila diberi, mau berterima kasih. Ucapan terima kasih memang terkesan sederhana. Padahal dengan kerelaan kita mengucapkan terima kasih menjadi indikator bahwa kita mensyukuri pemberian seseorang. Terkait hal ini Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya, namun jika menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkarinya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad no. 157)
Begitulah indahnya Islam. Bahkan, saat hijrah, Rasulullah SAW juga berpesan agar orang-orang Muhajirin mengucapkan terima kasih kepada kaum Anshar yang telah menolong dan membantunya.
"Ketika kita orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi SAW dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya di saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita. Nabi Menjawab, ‘Bukankan kalian telah memuji dan mendoakan mereka?’ Para Muhajirin menjawab, ‘Iya.” Nabi Bersabda, ‘Itu dibalas dengan itu’.” (HR Abu Dawud dan An Nasai).
Nasihat Rasulullah selanjunya, ungkap Kiai Cikut. Apabila berkuasa, mau memaafkan. "
Nasihat Rasulullah SAW selanjutnya adalah mudah memaafkan. Tak sekadar memaafkan, ketika kita sedang ada peluang, misalnya saat berkuasa, lalu bersedia memaafkan, sungguh itulah akhlak yang luar biasa," jelas Kiai alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri itu.
Bahkan, kata kiai Cikut Allah SWT menjamin akan memaafkan kita jika kita bersedia memberi maaf kepada orang lain.
Allah menegaskan hal ini melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur (24) ayat 22 berikut ini:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema’afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Apabila marah, mampu mengendalikan Sifat dan teladan Rasulullah selanjutnya adalah mengendalikan marah. Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya pada saat marah.” (HR Bukhari dan Muslim).
"Kita menyadari bahwa marah atau dalam bahasa Arab disebut ghadlab memang fitrah dari Allah SWT kepada manusia. Setiap manusia pasti pernah merasakan rasa amarah," kata salah satu dewan Pembina dan Penasehat Yayasan Pendidikan Islam Al Mahmudi Desa Bacem Ponggok Blitar itu.
"Namun demikian, Islam telah memerintahkan umatnya agar bisa menahan amarah. Allah SWT dalam salah satu firman-Nya mengungkapkan bahwa salah satu indikator orang yang bertakwa dan akan mendapatkan ampunan dan surga dari Allah adalah orang yang mampu menahan amarahnya. Oleh karena itu, ayat tersebut sering dijadikan dasar oleh para mubaligh ketika memberikan tausiyah halalbihalal. Apalagi kalau bukan surat Ali Imran (03) ayat 133-134 yang sangat populer.
Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” tambahnya.
Menurutnya, ayat ini selain menjelaskan bahwa mengendalikan amarah adalah salah satu sifat orang-orang yang bertakwa namun juga menggambarkan bahwa orang yang mampu mengendalikan amarah tergolong orang berbudi pekerti luhur.
Ketika kita mendahulukan emosi, maka akhirnya kita akan menyesal. Begitu juga ketika kita mengedepankan amarah, maka penyesalan juga yang akan muncul di belakangnya. Amarah sangat rentan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan cenderung menggiring kita kepada kejelekan. Amarah sangat merugikan diri sendiri dan orang lain jika pada akhirnya tidak terbukti melakukan kesalahan.
"Oleh karena itu, marilah kita hadapi hal-hal yang memicu kita untuk emosi dengan kesabaran. Memang tidak mudah, namun seiring bertambahnya usia dan tumbuhnya kedewasaan kita, hal tersebut lambat laun bisa kita lakukan. Kita harus yakin bahwa dengan bersabar, ada kebaikan-kebaikan yang muncul dan Allah menyukai orang-orang yang sabar," tegasnya.
Demikianlah Islam memberikan tuntunan kepada kita tentang tata cara meraih posisi mulia, baik di hadapan Allah maupun sesama muanusia. Jika harus memilih, tentu kita lebih memilih mulia di mata Allah daripada sekedar dinilai mulia dan seolah terlihat sempurna di mata manusia. Karena tidak menutup kemungkinan ketika kita sudah berusaha berlaku baik pun masih saja ada pihak yang tidak berkenan.
"Untuk itu marilah kita terus berproses memantaskan diri agar kelak Allah memosisikan kita pada posisi mulia di sisi-Nya," pungkas Kiai Cikut. (ik)