![]() |
Ismail. |
Gerakan reformasi administrasi di sebagian besar negara berkembang muncul pertama kali ditandai dengan terputusnya sistem adminitrasi kolonial yang digantikan oleh pemerintah lokal yang berkuasa seperti Inggris di negara-negara Asia Selatan, Amerika dan Filipina dan Belanda di Indonesia.
Dengan dilandasi keinginan untuk membentuk suatu sistem
pelayanan publik dan andminitrasi yang mantap maka tindakan yang dilakukan pada umumnya
adalah menempatkan
personel dalam memberikan pelayanan publik
secara besar-besaran yang diikuti pembentukan
bermacam-macam kementerian dan agen-agen serta lembaga
pemerintah, menciptakan prosedur, dan metode baru dalam pemberian pelayanan.
Dalam praktiknya ternyata
berokrasi tidak berkembang
menjadi efisien, prosedur administrasi menjadi semakin berbelit-belit, banyak aturan formal yang tidak ditaati dan
praktik mal administration berlangsung
di hampir
segalah bidang pelayanan.
Ketidakpuasaan kepada pemerintah
Organisasi pemerintah tidak dipandang terlalu besar dan
cenderung mengonsumsi semua sumber daya (the government
is siply to large, consuming too many scarce recourses). Kondisi ini memaksa untuk melakukan perampingan dan pemangkasan
anggaran. Dalam menghadapi tuntutan gelombang
reformasi beberapa negara Asia seperti Filipina, Thailnd, dan RRC telah melakukan
program perampingan dan penyederhanaan struktur organisasi
serta pemotongan anggara pada berbagai instansinya.
Ada kecenderungan pemerintah terlalu campur tangan melakukan kegiatan di sektor-sektor yang sebenarnya bisa dilakukan oleh swasta dan masyrakat
sendiri. Kondisi ini melahirkan
tuntutan agar pemerintah mengurangi
kewenangan dan peranan yang dimiliki dengan melakukan delegasi kepada private sector dan market
mechanism.
Pemerintah dipandang memiliki cara yang telah usang dalam
menerapkan prinsip-prinsip manajemen baru, kurang menghindarkan tuntutan pasar, dan tidak
memiliki pola konsultasi yang baik terhadap warga negara. Publik menuntut agar lembaga-lembaga mengimplementasikan konsepsi manajemen yang rasional dan memandang
rakyat sebagai konsumen yang memiliki hak-hak absolut. (*)