![]() |
Ilustrasi : Google |
Jakarta, soearamoeria.com
Meski Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah
meminta maaf secara terbuka, kontroversi soal surat Al-Maidah 51 belum tamat.
Pasalnya, penanganan pelaporan dari sejumlah ormas tentang dugaan penghinaan
Agama di Bareskrim tetap berlanjut, kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar
di Mabes Polri (10/10/16).
Seperti
diketahui, surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok diyakini sebagian orang
sebagai ayat penolakan terhadap pemimpin kafir. Namun menurut Prof.
Quraish Shihab, tafsir ayat itu tidak sesederhana itu. Tafsir kata ‘awliya’
dalam ayat itu saja tidak sebatas pemimpin.
Berbicara
soal pemimpin kafir, di kesempatan berbeda, budayawan Emha Aiun Najib tidak
setuju jika kafir dan Muslimnya seseorang dinilai seperti benda mati.
“Status
Muslim dan kafir itu dinamis (pada setiap orang), tidak bisa dinilai dengan
ukuran statis,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini sembari menegaskan
bahwa pendapatnya tidak ada kaitannya dengan Gubernur Ahok dan Pilgub DKI.
Pandangan
alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada hadist Nabi Saw
yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang
sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar” (HR. Bukhari).
Selain itu, lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak
berdiri sendiri. Kafir kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau
ingkar pada perintah Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah.
Sebaliknya, jika ia berserah diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya orang
yang ‘Muslim’ pada Iblis.
“Hukum tidak
mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,” kata penulis buku
‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum.
Karena itu,
menghakimi seseorang bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat dari
identitasnya, tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut Muslim bisa
kafir kapan saja.
“Toh Anda
tidak bersyukur aja tergolong kufur ko,” katanya sambil menjelaskan ragam
tingkatan kufur.
Jika kita
ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan moral seseorang.
Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia
sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang
meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.”
Cak Nun juga menyampaikan kritik soal dikotomi pemimpin
kafir tapi adil dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama, keduanya bukanlah
kriteria pemimpin. Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria
kepemimpinan, sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin.
“Ini
bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir”
Cak Nun lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim
tapi disebut dzalim. Baginya, jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim
pasti bukan Muslim. “Gula ko pahit?,” katanya memberikan analogi.
Tidak berbeda dengan pernyataan tentang kafir itu adil.
Kekufuran itu, kata Cak Nun, bahkan merupakan puncak ketidakadilan. Kepada
Tuhan saja ia tidak bersikap adil, bagaimana ia bisa disebut adil secara
horizontal.
Karena itu, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan
sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah
sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat
saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial.
Penjelasan ini sejatinya mencerminkan hubungan
identik antara keimanan dan empati sosial. Misalnya, dalam sebuah
hadist, Nabi Saw bersabda: “Tak beriman
seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya
sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”
Selanjutnya,
kata Cak Nun, “Yang bilang gubernur itu pemimpin itu siapa?” Gubernur,
bagi pria asal Jombang ini, bukanlah pemimpin tapi petugas. Gubernur
sebagaimana pejabat lainnya ialah orang yang dibayar oleh rakyat untuk bekerja
mengurus transportasi publik, kemacetan, banjir dan hal-hal semacamnya.
“Itu
pembantu rumah tangga dalam skala provinsi. Ko’ disebut pemimpin,” katanya
mengajak kembali menggali konsep hakiki ‘pemimpin’ dalam Islam seperti dilansir islamindonesia.id. (ed)