
Untuk yang sudah membaca
cerpen tersebut mungkin berpikir mengapa satu cerpen yang sama bisa
dimuat di media berbeda? Apakah sebuah cerpen boleh dimuat di media
berbeda?
Pada saat ini memang belum ada
regulasi (aturan) yang mensyaratkan jika sebuah karya sastra (cerpen) tidak
boleh dimuat di media secara ulang. Padahal hampir setiap media mencantumkan
tata cara pengiriman naskah, salah satunya adalah naskah cerpen belum
pernah dimuat atau dipublikasikan.
Tentu banyak faktor mengapa sebuah
cerpen bisa dimuat ganda. Faktor ketidaktahuan redaktur jika cerpen tersebut
pernah/ sudah dimuat media lain. Faktor penulis yang tidak sabar menunggu
tulisan dimuat.
Jujur profesi penulis seolah
harus berperan sebagai canayang. Menebak, mengirim, menunggu. Ya,
kesabaran, ketabahan adalah modal utama seorang penulis, selain etika.
Mencermati cerpen “Lelaki Ketujuh” yang
dimuat ganda ini bukan hal yang pertama untuk penulisnya. Jauh tempo
tahun cerpen Fandrik Ahmad berjudul "Shalat" pernah dimuat di Nova, Republika
dan Sumut Pos. Cerpen "Segara”
dimuat di Nova kemudian
tayang lagi di Minggu Pagi. Cerpen “Surat dari Jules Costrad” dimuat di Horison
pun kemudian dimuat di Padang Ekspres.
Tahun 2014 cerpennya "Solilukui Kemboja"
juga menghebohkan. Cerpen 'Solilukui
Kemboja' dimuat di Nova dan Republika pada saat
bersamaan (30 November 2014). Sepekan sebelumnya dimuat di Kedaulatan Rakyat
(23 November 2014). Tahun 2015 cerpen "Solilukui Kemboja"
juga dimuat di Tribun Jabar. Memecahkan rekor, satu cerpen dimuat di 4
media.
Cerpen yang bagus, menarik, mumpuni
adalah cerpen yang memesona redaktur media (koran, majalah, tabloid) untuk
memuatnya. Tentu lebih dibutuhkan etika yang memesona. Bagaimana
menurut Anda wahai pembaca?
__Kartika Catur Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)