Jepara, soearamoeria.com
Berdakwah
tidak hanya dilakukan dengan mauidhoh
hasanah, ceramah. Dengan ceramah dengan ramah pesan dakwah akan sampai pada
obyek yang dituju. Selain dengan model ini ada juga cara lain, yakni dengan cerita.
Dengan
cerita, lewat pentas misalnya, media yang satu ini juga merupakan jalan untuk
menyampaikan kebaikan. Memberi pesan kebaikan dengan tidak lewat jalur paksaan.
Adalah
Zaki Zarung, pegiat komunitas Matapena Yogyakarta ini diundang ke SMK Az Zahra
Mlonggo Jepara dalam acara rutin bulanan, Padhang Bulan. Dalam kegiatan ini
Guru SMKN 1 Sewon Bantul ini pentas monolog dengan lakon “Satire Sang Kapiten”.
Monolog
yang berdurasi 1 jam ini bercerita tentang seorang Kapiten yang sedang mencari
anak buah kapal. Dalam audisi ini si Malin yang pintar namun jahat turut serta.
Hasilnya ia terpilih menjadi salah satu anak buah.
Karena
memiliki karakter jahat saat ia menjadi anak buah berinisiatif untuk meracun
Kapiten. Ide busuk ini tercapai dan Kapiten pun mati. Ia pun mendapat pula
anaknya, si cantik.
Usai
Kapiten tewas, Malin yang menggantikan posisi Kapiten. Saat memimpin gerombolan
bajak laut kapal berhenti di sebuah pulau. Di pulau ini Malin bertemu dengan
ibunya. Namun Malin enggan mengakui ibunya. Si Malin pun akhirnya diterjang
badai. Singkat cerita ia ditolong oleh Kiai Samudera. Alhasil dari pertolongan ini si Malin mendapatkan hidayah dan mau
bertaubat.
Dari monolog
ini lelaki kelahiran Bantul 30 Juli 1982 ini hendak mengajak meneladani teks
kitab suci lewat seni panggung. Pertama,
Ahmad Zaki, nama aslinya ingin menghapus jejak cerita Malin yang dikutuk ibunya
menjadi batu.
Mengutuk,
mendoakan anak menjadi jelek bagi dia merupakan cara yang keliru. Sejelek
apapun kelakuan anak, ibu harus mendoakan kebaikan untuk anaknya.
“Jika
seorang ibu sudah terlanjur mengutuk anaknya harus segera menyesal biar doanya
tidak dikabulkan Tuhan,” tegas Zaki.
Penulis
novel pendididikan Cinta Itu Laduni (2014) ini menerangkan kullu mauludin yuladu alal fitrah. Setiap anak adam yang dilahirkan
dalam keadaan fitrah, suci. Jika anak
menjadi jahat bukan setelah ia lahir tetapi bisa jadi orang tua telah menanam
benih-benih kejahatan sehingga tumbuh di sanubari anak.
Kedua, sejelek-jelek apapun manusia itu
masih punya ruang dan waktu untuk bertaubat. Dari sini saja, sudah merupakan
kisah dari teks qur’an dan hadits. Belum lagi dari teks ilahillah terdapat banyak kisah tentang kenabian. Mulai Nabi Adam
hingga Muhammad bersama kaum-kaumnya.
“Suka
atau tidak yang terpenting sudah mau berbagi. Persoalan bermanfaat atau tidak
itu urusan belakangan,” lanjut Guru Matematika ini.
Berbicara
manfaat atau tidak ia meyakini pesan yang disampaikan lewat cerita itu akan
selalu nyantol untuk para penyimaknya.
Sebab ia sudah membuktikan santri-santri TPQ yang sering mendengar dongengnya
mengulangi sebagaimana yang ia ceritakan.
Hal
ini sebagaimana ayah dan ibunya dulu semasa waktu masih kecil sering didongengi
cerita kenabian oleh bapaknya dan bawang merah dan bawah putih oleh ibunya dan
masih diingatkan hingga sekarang.
Dikemukakannya
eksistensi monolog dari dulu hingga sekarang, masih sama hanya didemeni oleh penggemar
seni saja. Tetapi dongeng untuk anak masih sangat diminati. Ia pun mengaku
sering diundang untuk mendongeng. “Peluang ini perlu direspon oleh seniman
Jepara,” harapnya.
Caranya
bagi yang berminat perlu banyak latihan dan latihan. Dengan monolog, mendongeng
niatnya untuk mengajak orang kepada kebaikan tanpa paksaan. “Kadang-kadang
dengan monolog kita mengajak penonton untuk tertawa serta mengajak orang untuk
mengambil makna,” imbuhnya. (Syaiful
Mustaqim)