Bantul, soearamoeria.com-Joni Ariadinata (JA) saat memberikan orasi budaya dalam penutupan Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) #11 di pesantren Al-Mahalli Wonokromo, Pleret, Bantul, Ahad
(29/12) malam menuturkan seorang santri mempunyai peluang untuk menjadi seorang
penulis. Hal
itu dikatakan Redaktur Horison lantaran saat ini ada sekitar 1 juta orang yang
bercita-cita menjadi penulis. Joni menyebutkan dulu dan kini berbeda.
Dulu
menurut pria kelahiran Majalengka 1966 itu penulis identik dengan miskin, tato,
tidak rapi dan masih banyak lagi. “Sehingga banyak orang tua yang khawatir jika
anaknya menjadi penulis,” jelasnya.
Kini
lanjutnya penulis persepsinya sudah berbeda. Penulis sebut penerima penghargaan
cerpen terbaik nasional BSMI tahun 1997 itu keberadaan penulis kian identik
dengan necis, rapi dan segala yang positif lain.
Ia
menyatakan kabar gembira lain tema pesantren masih jarang dilirik oleh penulis
dibanding tema-tema yang lain. “Pesantren itu citranya positif. Baik secara lahir
juga batinnya. Membincang pesantren diibaratkan seperti surganya Indonesia. Seolah-olah
tidak ada kerusakan di bumi ini,” tambahnya.
Proses
Menurut
JA menjadi seorang penulis membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sehingga
penulis itu tidak instan, tiba-tiba jadi. “Anda datang ke Jogja selama tiga
hari terus pulang jadi penulis, itu bohong,” tandasnya.
Mempelajari
kiai-kiat menulis urai penulis kumpulan cerpen Kali
Mati (1999) memang bisa ditempuh
dalam 1 jam. Tetapi untuk menjadi seorang penulis dibutuhkan waktu
bertahun-tahun.
Kegagalan
seorang penulis papar Joni disebabkan tidak sabarnya menjalani proses. “Ribuan
orang gagal menjadi penulis karena mereka tidak sabar menjalani proses
panjang,” kata mantan redaktur majalah An-Nida.
Seorang
santri puji JA adalah seorang yang tulus. Ia yakin saat karya mereka ditolak
akan tetap sabar dan menulis lagi. Santri mempunyai kecerdasan yang berbeda jika
dibanding yang lain.
Dirinya
yang belajar menulis secara otodidak itu mengingatkan kepada 60 santri dari
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat yang hadir agar tidak terlena oleh musuh
facebook. Facebook tegasnya adalah
musuh yang mematikan penulis pemula.
Kenapa
tidak? Disampaikannya karya-karya yang diunggah melalui jejaring sosial mudah
diapresiasi oleh siapapun terlebih penulis. Dahsyat, hebat dan keren. “Bisa
jadi apresiasi yang ditag, ditandai kepada sejumlah teman belum sempat terbaca
secara utuh sehingga langsung diacungi jempol,” katanya prihatin.
Membaca
Hal
itu yang akan membuat penulis bermental juara. Tidak tahan terhadap dikritik.
Karena itu ia mengajak peserta untuk terus berproses. Untuk menghadapi jutaan
orang yang hendak menjadi penulis salah satunya dengan banyak membaca.
Membaca
baginya juga merupakan hal penting. Membaca buku harap Joni harus tuntas jangan
hanya potongan-potongan dari google. “Kalau
mau menulis tentang Jogja bacalah buku karya Kuntowijoyo,” contohnya.
Himbauan
JA untuk membaca sebab dirinya prihatin atas riset yang pernah dijalaninya di
Yogyakarta. Dari hasil penelitiannya kepada mahasiswa mereka lebih suka membeli
pulsa daripada membeli buku. Yang memprihatinkannya dari sebuah lapak buku
hanya laku 4-8 buku dengan harga 10-20ribu perhari sedangkan di salah satu counter dalam sehari penghasilannya
mencapai 2 juta. Ironis.
JA
juga menambahkan kehadiran puluhan santri di Yogyakarta harapannya ketularan
semangatnya Ahmad Tohari. Meski dari desa penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
itu tenar karena tulisan-tulisannya. “Semoga anda pula akan ketularan
semangatnya komunitas Matapena dalam berkarya” imbuhnya.
Dengan
melampaui proses panjang dirinya yakin akan banyak peluang yang didapatkan.
Sebab penulis bisa sebagai profesi utama maupun sampingan. “Banyak penulis yang
menjadi kayak arena tulisannya. Banyak juga caleg yang pengen ditulis
profilnya. Itu menjadi peluang kita semua. Maka berproseslah,” bebernya
menyemangati santri. (qim)