![]() |
Foto : Google |
Oleh : Anis Sholeh
Ba’asyin, Pengasuh Suluk Maleman
Ajal acap terasa tiba-tiba datangnya. Hanya dinding tipis
yang dingin dan tajam yang memotong ‘ada’ dan ‘tiada’, cakap dan diam
selamanya, bersama dan terpisah, sini dan sana. Dinding tipis yang selalu luput
dari penolakan, betapapun kita menginginkannya.
Sejak
kehadirannya hingga keberangkatan ‘yang tiada’ meninggalkan rumah dunia, jarak
yang sini dan sana makin terasa menjauh, makin terasa menebal dan melahirkan
beragam andai.
Andai yang berjalin berkelindan dengan kenangan yang
berkelebat-kelebat. Dan puncaknya, ketika tanah menutup ‘yang tiada’; jarak
yang tak sampai dua meter antara yang di bawah dan di atas tanah, terasa beribu
kilo meter yang tak terjangkau oleh transportasi manapun. Dia yang menetap
justru terasa pergi, sementara kita yang pergi justru terasa menetap dalam
sunyi sendiri, kehilangan.
Ah, jarak. Lagi-lagi jarak. Jarak yang niscaya
terbentuk ketika kita menyikapi apapun dalam kaca mata lahir, kaca mata jasad.
Dalam yang lahir, yang jasad, betapapun dekat kita, jarak
selalu menganga, jarak yang selalu membuat kita tersekat kesunyian meski saling
menyentuh. Datangnya ajal hanya menegaskan dan mengokohkan jarak tersebut.
Inilah ‘kutukan’ dunia jasad, bila kita mau memandangnya
demikian. Tapi ini pulalah ‘anugerah’ dunia jasad bila kita tahu hikmahnya.
‘Kutukan’ keberjarakan dunia jasad, seharusnya
menyadarkan kita untuk memasuki lorong batin, lorong ruhaniah. Merangkai dan
mengabadikan segenap hubungan berawal dari dan berakhir di sana.
Di ruang ini, jarak sirna dan keterpisahan tak pernah
berkuasa. Tak bertahta ‘ada’ dan ‘tiada’, cakap dan diam, sini dan sana; karena
semua ‘ada’, semua ‘cakap’, semua ‘di sini’. Yang jasad boleh runtuh, boleh
sirna sesuai kodratnya; tapi ia tak pernah hilang apalagi terpisah. Inilah
jalan cinta, jalan yang selalu berbentuk lingkaran sempurna inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
Ini jalan yang mereguk apa pun yang dianggap duka derita
manusia, seperti samudera mengolah semua sampah menjadi kejernihan.
Inilah jalan membuka pintu sehingga kita mampu melihat
apa yang selama ini kita sangka adzab sejatinya adalah nikmat, apa yang kita
sangka musibah sejatinya adalah rahmat? Inilah jalan yang mengantar kita untuk
memahami semua yang terjadi cuma proses penyempitan dan perluasan, qabdh dan basth, jallaliah (keagungan) dan jamaliahNya
(kelembutan), yang telah didesain sedemikian rupa dan mau tak mau harus kita
lalui untuk mendorong kita naik ke ‘ketinggian’ cakrawala ruhani.
Bukankah ini adalah dua kaki yang membuat kita bisa
berjalan, dua sayap yang membuat kita bisa terbang? Bukankah ini dua jari ar-rahman, sang pengasih, yang sering
disebut Rasul? Dua jari yang di antaranya hidup kita digulirkan dan diantar
dari satu tahap ke tahap selanjutnya?
* * *
KH. A. Mustofa Bisri, Gus Mus, adalah sosok yang
sepanjang hidupnya berkali-kali ditempa pengalaman dipisahkan oleh ajal dengan
orang-orang terkasihnya. Bukan hanya orang-tuanya, tapi juga saudara-saudara
kandungnya.
Dan
sejak awal, Allah sudah menegarkan pribadinya. Beliau bisa dengan sangat tenang
melayani tamu-tamu yang bertakziah saat ayahnya dipanggil Allah, sementara
semua saudaranya larut dalam air mata duka dan tak punya cukup daya menyapa
tamu yang melimpah.
Dan kemarin, ketegaran pribadi tersebut kembali terlihat
saat sang isteri, Hj. Siti Fatmah Basyuni, yang selama 45 tahun hampir tak
pernah terpisah secara lahir, harus pulang memenuhi panggilan Allah.
Orang pun terkagum-kagum menyaksikan beliau ikut
memanggul keranda sang isteri. Lebih lagi, mereka yang hadir bertakziahlah yang
justeru tak mampu menahan tangis ketika dengan tenang beliau memanjatkan doa
bagi sang kekasih, sementara setetes air mata pun malah tak terlihat menetes
dari matanya.
Apakah
ini? Apakah ini cermin ketak-tersentuhan atas derita? Apakah ini wajah sudah
dinginnya hati pada dunia? Menurut saya: bukan. Inilah jalan cinta yang dipilih
Gus Mus. Jalan mendaki yang acap dibahas, tapi sedikit yang mampu menapakinya.
Yang kita lihat sedang ditunjukkan Gus Mus hanyalah seserpih wujudnya.
* * *
Ketakdziman luar biasa Nyai Siti Fatmah pada Gus Mus,
segera mengingatkan saya pada ketakdziman Nyai Aisyah pada suaminya KH.
Abdullah Salam, Kajen; ketakdziman Nyai Ummu As’adah pada suaminya KH. Muslim
Rifa’i Imampuro, Klaten; juga ketakdziman Nyai Sinta Nuriyah pada Gus Dur. Dan
mestinya masih banyak lainnya. Perempuan-perempuan salehah yang hampir tanpa
pamrih dunia, menemani suaminya bekerja menegakkan agama Allah.
Ketakdziman yang hanya mungkin dibayangkan muncul dari
dunia pesantren dengan bacaan kitab-kitabnya; karena bagi kita yang sudah
terecoki dengan bayang-bayang kesetaraan gender, acap kali ketakdziman yang
sejatinya positif ini justru dibaca secara negatif. Padahal ketakdziman adalah
adab, landasan dasar yang harus ada bagi bangunan peradaban.
Berbeda dengan yang lain, pada Nyai Siti Fatmah, makna
dan cakupan ketakdziman yang ditunjukkan sedikit berbeda. Biasanya para isteri
lebih banyak menunjukkan ketakdziman ini di rumah. Inilah yang justru beliau
ubah. Rumah tidak lagi dimaknai sekedar sebagai wilayah ruang tertentu yang
sempit dan terbatas, tetapi dengan sadar beliau ubah menjadi wilayah waktu yang
tak terikat dengan locus tertentu. Di mana Gus Mus ada, di situlah Nyai Siti
Fatmah berumah.
Bukan untuk membayangi, mengawal apalagi mengawasi suami
dalam pengertian negatif; tapi sebaliknya untuk memperluas wilayah ketakdziman.
Sehingga hampir bisa dipastikan, di mana ada Gus Mus, di situ juga ada Nyai
Siti Fatmah. Benar-benar mirip ungkapan Jawa, seperti ‘mimi
lan mintuno’.
Keduanya dengan khusyuk memilih menapaki jalan cinta yang
agung, melampaui jasad dan usia, dan mengabadikan setiap momennya sebagai
tetesan surga. Ke mana-mana dan di mana-mana, rumahlah yang mengikuti mereka
dan tak pernah sebaliknya, sehingga diam-diam sering membuat iri banyak orang.
Kini,
sang pembawa rumah itu sudah pulang ke rumah sejatinya. Sebelum berangkat,
beliau lebih dahulu meminta maaf pada sang suami terkasih. Meminta maaf karena
tak lagi bisa merawat ketakdziman di rumah dunia. Bentuk cinta dan ketakdziman
yang luar biasa indah yang ditunjukkan seorang perempuan.
Wilayah
pantura timur yang sejak Senin selalu diliputi mendung dan hujan; dan mencapai
puncaknya pada Kamis 30 Juni 2016 yang bertepatan dengan 25 Ramadlan 1437 H;
seperti isyarat betapa langit pun ikut berduka atas berpulangnya salah satu
perempuan salelah. Ribuan, bahkan jutaan orang seperti tersentak oleh berita
yang seperti mendadak ini.
Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
Selamat jalan Ibu Nyai Siti Fatmah, semoga kuburmu sewangi ketakdzimanmu. Pada
saatnya kami semua akan menyusulmu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar