Jalan Cinta Gus Mus - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 03 Juli 2016

Jalan Cinta Gus Mus

Foto : Google

Oleh : Anis Sholeh Ba’asyin, Pengasuh Suluk Maleman

Ajal acap terasa tiba-tiba datangnya. Hanya dinding tipis yang dingin dan tajam yang memotong ‘ada’ dan ‘tiada’, cakap dan diam selamanya, bersama dan terpisah, sini dan sana. Dinding tipis yang selalu luput dari penolakan, betapapun kita menginginkannya.

Sejak kehadirannya hingga keberangkatan ‘yang tiada’ meninggalkan rumah dunia, jarak yang sini dan sana makin terasa menjauh, makin terasa menebal dan melahirkan beragam andai.

Andai yang berjalin berkelindan dengan kenangan yang berkelebat-kelebat. Dan puncaknya, ketika tanah menutup ‘yang tiada’; jarak yang tak sampai dua meter antara yang di bawah dan di atas tanah, terasa beribu kilo meter yang tak terjangkau oleh transportasi manapun. Dia yang menetap justru terasa pergi, sementara kita yang pergi justru terasa menetap dalam sunyi sendiri, kehilangan.

Ah, jarak. Lagi-lagi jarak. Jarak yang niscaya terbentuk ketika kita menyikapi apapun dalam kaca mata lahir, kaca mata jasad.

Dalam yang lahir, yang jasad, betapapun dekat kita, jarak selalu menganga, jarak yang selalu membuat kita tersekat kesunyian meski saling menyentuh. Datangnya ajal hanya menegaskan dan mengokohkan jarak tersebut.

Inilah ‘kutukan’ dunia jasad, bila kita mau memandangnya demikian. Tapi ini pulalah ‘anugerah’ dunia jasad bila kita tahu hikmahnya.

‘Kutukan’ keberjarakan dunia jasad, seharusnya menyadarkan kita untuk memasuki lorong batin, lorong ruhaniah. Merangkai dan mengabadikan segenap hubungan berawal dari dan berakhir di sana.

Di ruang ini, jarak sirna dan keterpisahan tak pernah berkuasa. Tak bertahta ‘ada’ dan ‘tiada’, cakap dan diam, sini dan sana; karena semua ‘ada’, semua ‘cakap’, semua ‘di sini’. Yang jasad boleh runtuh, boleh sirna sesuai kodratnya; tapi ia tak pernah hilang apalagi terpisah. Inilah jalan cinta, jalan yang selalu berbentuk lingkaran sempurna inna lillahi wa inna ilahi rajiun.

Ini jalan yang mereguk apa pun yang dianggap duka derita manusia, seperti samudera mengolah semua sampah menjadi kejernihan.

Inilah jalan membuka pintu sehingga kita mampu melihat apa yang selama ini kita sangka adzab sejatinya adalah nikmat, apa yang kita sangka musibah sejatinya adalah rahmat? Inilah jalan yang mengantar kita untuk memahami semua yang terjadi cuma proses penyempitan dan perluasan, qabdh dan basth, jallaliah (keagungan) dan jamaliahNya (kelembutan), yang telah didesain sedemikian rupa dan mau tak mau harus kita lalui untuk mendorong kita naik ke ‘ketinggian’ cakrawala ruhani.

Bukankah ini adalah dua kaki yang membuat kita bisa berjalan, dua sayap yang membuat kita bisa terbang? Bukankah ini dua jari ar-rahman, sang pengasih, yang sering disebut Rasul? Dua jari yang di antaranya hidup kita digulirkan dan diantar dari satu tahap ke tahap selanjutnya?

* * *

KH. A. Mustofa Bisri, Gus Mus, adalah sosok yang sepanjang hidupnya berkali-kali ditempa pengalaman dipisahkan oleh ajal dengan orang-orang terkasihnya. Bukan hanya orang-tuanya, tapi juga saudara-saudara kandungnya.

Dan sejak awal, Allah sudah menegarkan pribadinya. Beliau bisa dengan sangat tenang melayani tamu-tamu yang bertakziah saat ayahnya dipanggil Allah, sementara semua saudaranya larut dalam air mata duka dan tak punya cukup daya menyapa tamu yang melimpah.

Dan kemarin, ketegaran pribadi tersebut kembali terlihat saat sang isteri, Hj. Siti Fatmah Basyuni, yang selama 45 tahun hampir tak pernah terpisah secara lahir, harus pulang memenuhi panggilan Allah.

Orang pun terkagum-kagum menyaksikan beliau ikut memanggul keranda sang isteri. Lebih lagi, mereka yang hadir bertakziahlah yang justeru tak mampu menahan tangis ketika dengan tenang beliau memanjatkan doa bagi sang kekasih, sementara setetes air mata pun malah tak terlihat menetes dari matanya.

Apakah ini? Apakah ini cermin ketak-tersentuhan atas derita? Apakah ini wajah sudah dinginnya hati pada dunia? Menurut saya: bukan. Inilah jalan cinta yang dipilih Gus Mus. Jalan mendaki yang acap dibahas, tapi sedikit yang mampu menapakinya. Yang kita lihat sedang ditunjukkan Gus Mus hanyalah seserpih wujudnya.

* * *

Ketakdziman luar biasa Nyai Siti Fatmah pada Gus Mus, segera mengingatkan saya pada ketakdziman Nyai Aisyah pada suaminya KH. Abdullah Salam, Kajen; ketakdziman Nyai Ummu As’adah pada suaminya KH. Muslim Rifa’i Imampuro, Klaten; juga ketakdziman Nyai Sinta Nuriyah pada Gus Dur. Dan mestinya masih banyak lainnya. Perempuan-perempuan salehah yang hampir tanpa pamrih dunia, menemani suaminya bekerja menegakkan agama Allah.

Ketakdziman yang hanya mungkin dibayangkan muncul dari dunia pesantren dengan bacaan kitab-kitabnya; karena bagi kita yang sudah terecoki dengan bayang-bayang kesetaraan gender, acap kali ketakdziman yang sejatinya positif ini justru dibaca secara negatif. Padahal ketakdziman adalah adab, landasan dasar yang harus ada bagi bangunan peradaban.

Berbeda dengan yang lain, pada Nyai Siti Fatmah, makna dan cakupan ketakdziman yang ditunjukkan sedikit berbeda. Biasanya para isteri lebih banyak menunjukkan ketakdziman ini di rumah. Inilah yang justru beliau ubah. Rumah tidak lagi dimaknai sekedar sebagai wilayah ruang tertentu yang sempit dan terbatas, tetapi dengan sadar beliau ubah menjadi wilayah waktu yang tak terikat dengan locus tertentu. Di mana Gus Mus ada, di situlah Nyai Siti Fatmah berumah.

Bukan untuk membayangi, mengawal apalagi mengawasi suami dalam pengertian negatif; tapi sebaliknya untuk memperluas wilayah ketakdziman. Sehingga hampir bisa dipastikan, di mana ada Gus Mus, di situ juga ada Nyai Siti Fatmah. Benar-benar mirip ungkapan Jawa, seperti ‘mimi lan mintuno’.

Keduanya dengan khusyuk memilih menapaki jalan cinta yang agung, melampaui jasad dan usia, dan mengabadikan setiap momennya sebagai tetesan surga. Ke mana-mana dan di mana-mana, rumahlah yang mengikuti mereka dan tak pernah sebaliknya, sehingga diam-diam sering membuat iri banyak orang.

Kini, sang pembawa rumah itu sudah pulang ke rumah sejatinya. Sebelum berangkat, beliau lebih dahulu meminta maaf pada sang suami terkasih. Meminta maaf karena tak lagi bisa merawat ketakdziman di rumah dunia. Bentuk cinta dan ketakdziman yang luar biasa indah yang ditunjukkan seorang perempuan.

Wilayah pantura timur yang sejak Senin selalu diliputi mendung dan hujan; dan mencapai puncaknya pada Kamis 30 Juni 2016 yang bertepatan dengan 25 Ramadlan 1437 H; seperti isyarat betapa langit pun ikut berduka atas berpulangnya salah satu perempuan salelah. Ribuan, bahkan jutaan orang seperti tersentak oleh berita yang seperti mendadak ini.

Inna lillahi wa inna ilahi rajiun. Selamat jalan Ibu Nyai Siti Fatmah, semoga kuburmu sewangi ketakdzimanmu. Pada saatnya kami semua akan menyusulmu. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar