![]() |
Foto : Google |
Jakarta,
soearamoeria.com
Menyerap
pemahaman atau informasi agama di dunia maya kerap kali berdampak pada pola
pikir para netizen dan masyarakat. Jika tanpa disaring dan dipahami secara
mendalam, orang akan mudah terpengaruh dengan pemahaman agama yang dangkal
sehingga menimbulkan sikap radikal dan intoleran terhadap tradisi, budaya, dan
perbedaan secara keseluruhan.
Hal
inilah yang menarik Ketua PBNU, HM Sulton Fatoni untuk menulis buku ‘Dear Felix
Siauw’. Buku ini berawal dari interaksi penulis dengan Felix Siauw di media
sosial twitter. Penulis buku ini berusaha memberikan koreksi terhadap pemahaman
agama Felix yang membuat resah masyarakat dengan tweet-tweetnya.
“Seperti
nasionalisme tak ada dalilnya, tahlilan sesat, dan ‘fatwa-fatwa’ lain yang
membuat keresahan sosial di masyarakat. Hal ini menggerakkan saya untuk memberi
semacam koreksi kepada dia dan para followernya, bahwa amalan keagamaan yang
telah berkembang di masyarakat membawa nilai-nilai substansial agama,” ujar
Sulton Fatoni saat acara bedah buku ‘Dear Felix Siauw’, Selasa (24/11) di
Kampus UNU Indonesia, Jl Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat.
Felix,
lanjut Sulton, seringnya memberikan ‘fatwa’ yang meresahkan tentang pemahaman
dan amalan agama masyarakat di Indonesia, bukan mencerdaskan masyarakat dengan
mengajaknya diskusi. Dia mengaharamkan amalan yang sudah menjadi semacam norma
di tengah masyarakat.
“Kebaikan
itu nilai, untuk mewujudkan kebaikan, itulah norma. Amalan yang telah menjadi
norma di masyarakat terbukti membawa kebaikan dengan makin eratnya tali silaturrahim
dalam kegiatan istighotsah, misalnya, tahlil, bahkan ziarah kubur sekalipun,”
ucapnya.
Hal
yang dilakukan Felix ini, kata Sulton, menimbulkan goncangan sosial. Selain
itu, ketertiban sosial juga terganggu. Sulton menerangkan tentang teori
sosiologi yang menyatakan, bahwa jika ada satu orang membuat keresahan dan
mengganggu di tengah kehidupan sosial masyarakat, orang tersebut layak untuk
diusir demi kebaikan orang banyak.
“Dari
kicauannya di media sosial, Felix ingin membawa semacam norma agama dari luar
ke Indonesia. Jadi berusaha mengahncurkan norma masyarakat Indonesia kemudian
diisi dengan norma dari luar negeri. Setelah norma tersebut diterima, dia
tawarkan keimanan atas khilafah Islamiyah yang menurut dia termasuk rukun
iman,” paparnya.
Dalam
sesi diskusi, Sulton menerangkan, salah satu Kitab karya KH Hasyim Asy’ari
tentang konsep ahlul haq dan ahlul bid’ah. Menurut Mbah Hasyim, ahlul haq yang
maksud yaitu amalan-amalan kegamaan yang masyarakat Indonesia jalani, baik itu
istighotsah, ziarah kubur, tahlilan, dan lain-lain sudah benar. “Sedangkan
ahlul bid’ah yang beliau maksud, yaitu orang-orang sering menyalahkan
amalan-amalanmu sehingga membuat resah dan risau atas keyakinan agamamu,”
terangnya.
Acara
bedah buku ini juga dihadiri oleh Redaktur Majalah Gatra, Asrori S Karni, pihak
Penerbit Imania, Farid, dan dipandu oleh Fariz Alniezar sebagai moderator,
serta hadir pula puluhan mahasiswa STAINU Jakarta dan UNU Indonesia yang
memadati ruangan diskusi.
Dalam
penjelasannya, Farid dari pihak penerbit buku ‘Dear Felix Siauw’ Imania
menerangkan, bahwa penulis dan penerbit mempunyai semangat yang sama untuk
memberikan informasi yang baik dan benar kepada masyarakat terkait
‘fatwa-fatwa’ meresahkan Felix Siauw.
“Tentu
buku ini penting dibaca oleh generasi muda agar tidak terpengaruh oleh
ideologi-ideologi radikal yang mengganggu keramahan di media sosial,” jelas
Farid.
Sementara
itu, Asrori S Karni juga mengatakan, buku ini memberikan pelajaran bagi kita,
bahwa menulis dengan berbasis ketekunan riset sangat penting agar dapat memberi
pemahaman yang utuh dan kuat. Buku ini, katanya, memberikan argumen yang
menarik, isinya tantang pembelaan tradisi dan pemahaman keagamaan di tengah
masyarakat Indonesia terkait ‘fatwa-fatwa’ mersahkan Felix Siauw.
“Sekarang
ini, fenomena perbincangan dan perdebatan agama dana keyakinan sudah tidak
terlalu sehat, terutama di media sosial. Kerap kali perdebatan menimbulkan bias
pemahaman sehingga berdampak pada pemahaman keagamaan yang keliru, bahkan
cenderung radikal. Sebab itu, buku ini hadir sebagai proteksi dari hal
tersebut,” ucap Karni.
Penulis
: Fathoni
Sumber
: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar