
Cerpen:
Kartika Catur Pelita**
Aku
memandang diriku sendiri dengan perasan
iba. Karena sudah berbulan-bulan lumpuh. Akibat
terjatuh dari atap pabrik ketika
membenahi eternit ruang pengopenan kayu.
Aku hanya mendapatkan separoh biaya pengobatan. Sebulan kemudian, belum sembuh aku malah dirumahkan, dipecat.
"Tabah ya Kang ini hanya cobaan.”
"Tapi
aku ogak kuat meneh Is. Sampai kapan aku
harus berbaring di ranjang?"
"Tentu
sampai Kang Kodir sembuh."
"Tapi
kapan sembuh?'
Istriku
menggeleng.
Sama
seperti dia aku tak tahu kapan akan sembuh. Dokter menyarankan aku untuk
menjalani terapi. Tapi aku
tak punya uang untuk ke ongkos
rumah sakit dan membayar dokter.
Aku
memilih penyembuhan secara tradisional, pengobatan sangkal putung. Walau
hasilnya belum seperti yang kuharapkan. Tapi setidaknya keadaanku lebih baik
daripada dua bulan lalu.
Isnaini,
istriku memandangku lembut. "Kang makan siang dulu, ya?" Dia
menyuapiku.
Alangkah
beruntungnya aku memiliki istri seperti dirinya. Tak hanya menerima ketika
sehat dan jaya, ketika aku tak berdaya
dia mau merawatku. Terima kasih istriku
sayang. Maturnuwun ya Rabbi ya Allah.
* * *
Aku memandang
karung beras yang kosong. Beras habis. Uang pesangon yang diberikan pabrik sedikit demi sedekit berkurang, untuk
biaya pengobatan juga untuk kebutuhan sehari-hari, sampai dua hari yang lalu
ludes.
Semenjak
Kang Kodir hanya bisa terbaring di
ranjang kehidupan kami berubah. Kalau dulu setiap bulan ada gaji yang bisa
diandalkan, untuk hidup sebulan ke depan, tapi sekarang kami berharap dari
belas kasihan teman, tetangga, saudara dan orangtua.
Tapi tak selamanya aku bergantung pada uluran
tangan orang. Aku harus melakukan sesuatu. Aku
harus bekerja.
* * *
"Bekerja,
Is?"
"Ya."
"Kamu
mau ngampelas?"
"Kenopo
ogak? Aku disik yo tau kerja
ngampelas….”
Aku teringat
ketika masih perawan. Kerja
ngampelas di pabrik mebel wong londo. Banyak teman. Senang. Banyak yang naksir.
Bangga. Katanya aku manis. Katanya tubuhku semok. Aku memilih
kumbang jantan bernama Kodir Jaelani. Kemudian kami
menikah. Seneng. Dari
rahimku lahir dua permata manis. Irul dan Indah. Kami merasa bungah.
Walau hidup sederhana.
Tapi
mendung datang ketika Kang Kodir mengalami musibah dan harus
kehilangan pekerjaan pula. Ah!
"Kowe
bener mau bekerja kan, Is?"
"Ya,
kowe ngerti keadaanku."
"Piye
bojomu saiki?"
"Wes
ono kaceke timbang ndek biyen. Nanging yo iseh urung iso mlaku.”
"Aku
melu priatin yo. Eh, kowe mulai besok
pagi wes iso kerja. Ngampelas. Nanti kalau ada lowongan di packing, kamu bisa
pindah."
"Maturnuwun,
yo Rin."
"Sama-sama.
Kita teman baik kan?"
* * *
Aku
memikirkan keadaan istriku. Dia sekarang
kerja ngampelas. Setiap pagi berangkat pulangnya sore.
Di
sela kerjanya dia masih harus mengurusi kedua anaknya, menyiapkan sarapan ketika berangkat sekolah, belum lagi mengurusku. Tentu dia capek, sendirian mengurusi pekerjaan rumah. Olah-olah, isah-isah, mgumbahi, resik-resik.
Ah, aku kasihan padanya. Seandainya keadaanku seperti dulu. Tentu aku bisa
membantu meringankan pekerjaannya.
"Kang arep ngo ndi?”
"Kamar
mandi. Pipis.”
"Ben tak papah ae.”
"Kamu
sudah pulang. Biasanya lembur."
"Kemarin
banyak yang diampelas, Kang. Hari ini sepi."
"Semoga
besok banyak barang yang bisa diampelas."
"Ndongo ae Kang.”
Aku
tertatih kembali ke kamarku berbaring di ranjang. Istriku menyiapkan segelas
kopi panas. Ya...Allah ya Rabbi, terima kasih Kau beri aku
istri berhati malaikat seperti Isnaini, bojoku.
* * *
Aku
malu-malu memandang petugas yang tanpa perikemanusiaan menangkap kami.
Memasukkan ke bak mobil terbuka. Memamerkan seperti binatang, karena ada diantara kami yang masih telanjang.
Tiga
bulan bekerja sebagai tukang ampelas kayu aku kena PHK. Mencari pekerjaan tak
gampang. Seorang teman mengajakku bekerja disini. Salahkah aku demi bertahan
hidup bekerja sebagai pengampelas pipa
lelaki?
"Nama?"
"Ida
Isnaini?"
"Umur?"
"25
tahun.”
"Sudah
berapa lama mbegenggek*...?"
* * *
Catatan
*Begenggek:
Perempuan Seks Komersil
Kota Ukir 2011-2014
**Kartika
Catur Pelita,
penulis novel “Perjaka”
Ilustrasi: Google
kalau mau kirim cerpen ke web soearamoeria caranya gimana?
BalasHapuskirimkan saja cerpen sampeyan ke email syaifulmustaqim@gmail.com!
Hapusmaaf sebelumnya, apakah akan memperoleh imbalan?
Hapusdi web soearamoeria.com laiknya citizen journalism (jurnalisme warga) jadi tidak dapat honor. matur nuwun....
Hapusendingnya pripun?? masih pengen baca itu... hhe...
BalasHapusendingnya langsung ditanyakan penulisnya mbak ida.
Hapus