Sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena
kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai progam
penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja
menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012.
Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari
harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras dan berupaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini.
Berbagai upaya lain juga perlu dicoba dan salah satunya adalah pemanfaatan
potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar
negeri (remitansi).
Berpijak dari problem itu, Kementerian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI mengadakan Sosialisasi Perlindungan TKI “Jangan Berangkat Sebelum Siap” yang
diselenggarakan di Gedung Haji Jepara, Sabtu (16/11).
Kegiatan yang diikuti oleh 500an orang
difasilitasi Musthofa Kamal, SH, MH (Kepala Dinsosnakertrans Jepara), Ir. Guntur
Witjaksono, M.Agric (Directur TKLN Kemnakertrans RI), Abdurrahman, M.Si
(Kepalas BP3TKI Semarang), Drs. H. Fathan Subchi (Staf Khusus Menakertrans RI), Hj. Hindun Annisa, SH (Satgas TKI)
Salah satu pembicara, Drs. H. Fathan Subchi menyebutkan hingga 2012 jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Menurutnya tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang),
Malaysia (1.049.325 orang). dan Taiwan
(381.588 orang).
Hal itu sebutnya merupakan data resmi yang
dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang
tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui
jalur resmi alias ilegal.
“Jumlah TKI ilegal cukup besar, khususnya di Malaysia. Saat ini, belum
ada data pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal
diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja
disana,” lontarnya.
Pihaknya menyayangkan sebagian besar
TKI (71 persen) bekerja di sektor informal. Mudahnya sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT). Hal itu terang staf Khusus Menakertrans RI sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Suhariyanto yang menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2007
menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT. Temuan itu bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen TKI adalah perempuan.
Meski sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, masih menurutnya mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang
yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebabnya mereka kerap digelari sebagai
“pahlawan devisa”. Hingga kini tidak
diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai
gambaran, pada tahun 2012, jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77
miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).
Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikannya lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para
TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang memadai terkait penghitungan
jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara sederhana, selama ini
remitansi dihitung dari semua residual pada neraca pembayaran (balance of
payment).
Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia lanjutnya masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran
tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi Nasional yang dilakukan Bank
Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan, Kalimantan Timur, hanya 30 persen
TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan menggunakan saluran resmi atau
bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui karabat atau
teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.
Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi
pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya
penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang dilakukan oleh Suhariyanto juga
menemukan bahwa sebagian besar sumber pendapatan rumah tangga migran yakni
rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKI,
berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total
pendapatan yang diterima oleh rumah tangga.
Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern)
rumah tangga migran yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah tangga
migran yang tidak menerima remitansi: porsi pengeluaran untuk pendidikan,
kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi. Itu merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran
penerima remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima
remitansi.
Peluang rumah tangga migran penerima remitansi untuk jatuh miskin juga
lebih kecil dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi. Selain
itu, persentase rumah tangga miskin serta tingkat keparahan dan kedalaman
kemiskinan untuk rumah tangga migran penerima remitansi lebih rendah dibanding
dengan rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi.
Hal itulah yang dikemukakannya
menunjukkan potensi besar remitansi terkait upaya penanggulangan
kemiskinan. Karena itu, program dan kebijakan untuk memaksimalkan pemanfaatan
remitansi bagi program penanggulangan kemiskinan mutlak diperlukan.
Sejalan dengan hal itu, berbagai kebijakan terkait TKI juga harus
memperhatikan hal-hal berikut: perekrutan, orientasi, dan pelatihan yang lebih
baik untuk meningkatkan kualitas TKI; perlindungan dari tindak kekerasan di
negara tujuan; minimalisasi biaya remitansi; serta pemulangan TKI yang lebih
terorganisir dan terintegrasi. “Jangan sampai TKI
diperas oleh oknum yang tidak bertanggungjawab saat pulang ke tanah air,” tegas Fathan. (Zulfa Nurul Laily/ qim)
No comments:
Post a Comment