![]() |
Bangunan musala pesantren Al Khozini Buduran Sidoarjo yang ambruk beberapa waktu yang lalu. Foto: ramadhan.antaranews.com |
Oleh : Irham Ali Saifuddin
Siapa yang tidak prihatin dengan musibah ambruknya bangunan 3 lantai yang sedang otewe 4 lantai Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo? Mungkin tidak ada. Semua di antara kita pasti prihatin.
Lalu, cara merespons kitalah yang kemudian berbeda-beda. Ada Bupati yang langsung petentang-petenteng dengan gagahnya bersabda "Kita akan cek ada IMB atau enggak!". Ada mantan walikota kota lain dan sekaligus mantan menteri yang tak kalah petentang-petenteng dengan separoh berlagak halus berupa dramaturgi tangisan dan teriakan. Ada profesor doktor yang bahkan lebih banyak hidupnya di negara orang tapi juga tak kalah fasihnya memberikan penghakiman--sudah mirip malaikat Munkar-Nakir di liang kubur.
Oh tentu juga pejabat-pejabat yang berdatangan tapi disertai dengan sorot juru kamera yang mereka bawa sendiri-sendiri. Sebelum berangkat rupanya sudah mempersiapkan skenario: sorot ketika masuk ke TKP, sorot sekeliling dengan point of interest (POI) keprihatinan dan keruntuhan, lalu script penghakiman dan uluran janji akan melakukan ini itu. Semua tak lepas dari dramaturgi kedukaan. Tak lebih dari eksploitasi kedukaan untuk simpati politik, dongkrak ketokohan, atau bahkan elektoral di hajatan pemilu yang bahkan masih jauh.
Apakah salah?
Iya! Salah! Salah banget!
Pernyataan-pernyataan pintar tersebut terjadi bahkan hanya beberapa waktu dari terjadinya musibah. Pernyataan-pernyataan intelek tersebut dibuat bahkan ketika perhatian kita semua semestinya diarahkan upaya tanggap darurat kebencanaan. Dimanapun, fase emergency response mestinya difokuskan pada penyelamatan korban dan penyintas secepat mungkin serta mitigasi risiko ikutan.
Mereka, orang-orang pintar itu, sebaliknya: ini panggung dramaturgi yang harus dikapitalisasi!
Mereka tidak sadar. Sebagai pejabat publik dan pesohor, ucapan yang keluar dari mulutnya berimplikasi panjang. Masyakarat luas yang tadinya bersimpati dan prihatin serta berdoa tulus untuk pesantren, mulai terpancing dengan POI lain: mencurigai, mencari kesalahan, tidak percaya, bahkan turut menghakimi. Doa-doa keprihatinan yang mereka lantunkan sejak awal, karena pernyataan pintar orang-orang pintar ini, berubah menjadi rafal penghakiman di media sosial. Wirid di tasbih mereka berubah menjadi ribuan scroll layar hape untuk mencari kesalahan lebih jauh. Lalu, sedemikian mudahnya kebenaran itu ditentukan oleh prasangka kolektif. Arghhh, lupa! Ini era post-truth!
Apakah para orang pintar yang selalu mengeksploitasi publik untuk jabatannya itu lupa, tindakan gegabah seperti itu kian membuat keluarga penyintas--para wali santri itu--semakin gelisah, sedih, bingung sekaligus putus asa terhadap proses evakuasi? Benar saja, beberapa kalo terjadi ketegangan di TKP. Keluarga korban semakin cemas dan dirundung runtuhnya asa. Kondisi yang berbalik 180 derajat ketika awal musibah: keyakinan dan kepercayaan mereka tergerus.
Apalagi keluarga pengasuh pesantren. Inilah pihak yang paling dihantam badai. Jangan tanyakan rasa bersalah. Itu pasti. Kenapa harus terus semakin dipojokkan? Di luar musibah ini, beliau-baliau ini adalah insan pendidik yang hatinya bersih. Ketulusannya tidak perlu kita ragukan. Pengorbanannya tentu jauh lebih besar dari yang telah dilakukan oleh bangsa ini untuk pesantrennya.
Memangnya negara ini telah berbuat apa untuk pesantren?
Pesantren adalah lembaga pendidikan pertama yang sudah lahir ratusan bahkan ribuan tahun sebelum republik ini berdiri. Negara ini memang akan pernah membalas budi pesantren? Tidak akan pernah! Mau jual negara pun, hutang republik ini kepada pesantren tidak akan pernah lunas!
Pesantren tidak hanya mendidik. Tidak saja melembagakan dan mensyiarkan literasi pengetahuan. Ia adalah fondasi utama patriotisme republik ini, ketika dijajah lebih dari 350 tahun. Bila tidak ada pesantren, tidak akan ada perlawanan bersenjata dan benteng ideologi cinta tanah air. Sebelum berdiri, negeri yang kemudian kita namakan Indonesia ini tidak memiliki tentara. Hanya gerombolan milisi-milisi saja. Itu pun sebagiannya adalah pasukan santri.
Yakin republik mau melunasi hutang kepada pesantren?
Lalu setelah negeri ini merdeka, republik yang bernama Indonesia ini lantas melupakan pesantren. Menghapuskan mereka dari perlawanan peradaban di masa kolonial sekaligus menghapuskan jejak-jejak para patriot kalangan santri di masa revolusi kemerdekaan.
Tak cukup di sana saja. Kebijakan yang dilahirkan oleh republik ini juga semakin mengkebiri pesantren. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan formal yang dianak-emaskan. Tak ayal bermunculan sekolah-sekolah formal yang sebagian besar menerima guyuran hujan anggaran dari negara. Hingga sekarang!
Pesantren? Tetap dilupakan. Tetap tak dianggap. Anggaran untuk pesantren mungkin tidak ada dari 5 persen dari anggaran untuk pendidikan--perlu dilihat lagi lebih seksama, mungkin lebih kecil dari itu.
Lalu dari mana pesantren membangun, mengembangkan diri, atau membayar para pengajar dan asatid/asatidah? Iuran dari orang tua santri?
Sebagai orang yang sudah di lingkungan pesantren bahkan sejak dalam kandungan, setahu saya hanya segelintir saja pesantren yang menarik iuran bulanan dalam jumlah yang cukup dari wali santri. Hanya pesantren-pesantren tertentu yang memang secara khusus diminati oleh wali santri yang berkemampuan finansial.
Selebihnya, mungkin lebih dari 90 persen pesantren adalah mereka dengan dominasi wali santri dari kalangan berkekurangan secara ekonomi.
Lalu, kalau begitu kenapa tidak menutup pesantren saja? Untuk apa meneruskan bisnis bila terus merugi?
Ini contoh pertanyaan sebagian kalangan yang tidak paham dunia pesantren. Memang pesantren (apalagi pesantren-pesantren tua yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia berdiri seperti Al Khoziny) ini berorientasi profit? Tidak sama sekali. Sebagian pesantren itu bertahan dan terus berdiri karena didorong oleh pengabdian, kecintaan terhadap republik melalui literasi pengetahuan juga patriotisme yang memang diajarkan oleh Islam.
Tak heran apabila hingga sekarang masih banyak guru ngaji di pesantren yang digaji kurang dari 300 ribu rupiah tiap bulan. Tak heran bila sebagian besar pesantren menarik iuran kurang dari 100 ribu per bulan pun masih sangat susah terkumpul.
Bayangkan bila tidak ada pesantren, warga negara kelas ekonomi rendah akan ke mana untuk bisa mengenyam pendidikan berkualitas dan layak? Oh layak? Bukannya 1 kamar berisi belasan santri? Kita lupa, pesantren mendidik kita untuk memiliki karakter dan kebersamaan. Belajar tepa-selira sejak dini untuk membangun kesadaran dan solidaritas kolektif sejak ini. Sesuatu yang tidak mungkin dilahirkan oleh pendidikan di luar pesantren dengan biaya murah!
Jadi, tolong hentikan penghakiman-penghakiman yang jahat. Doakan proses evakuasi dan pemulihan kembali berjalan cepat. Doakan para keluarga santri diberikan kekuatan dan ketabahan. Doakan para pengasuh pesantren dan asatid/asatidah diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan setelah badai memporak-porandakan tabungan kebaikan mereka.
Jangan lagi adili pesantren dari IMB, struktur sipil bangunan, urusan K3 atau indikator-indikator nisbi yang menipu itu.
Tanya ke negaramu. Negara memang telah memberi apa kepada pesantren-pesantren itu?
Tanya ke negaramu. Kapan republik akan membayar hutang kepada pesantren?
Ihdinas shirathal mustaqim. (*)
---------------
Catatan: Tulisan ini diambil dari FB Irham Ali Saifuddin