![]() |
Nurul Zulaeha. Foto: koleksi pribadi. |
Oleh : Nurul Zulaeha, Kepala SMP Walisongo Pecangaan Jepara
Di setiap sudut sekolah, lingkungan kerja, bahkan dunia maya, kita masih sering mendengar kata “bully” atau perundungan. Bully bukan sekadar candaan berlebihan. Ia adalah luka yang menusuk hati, yang kadang tidak terlihat tetapi membekas lama.
Banyak orang menganggap bully hal sepele “ah, cuma bercanda”, “hanya iseng”, atau “supaya kuat mental”. Padahal, bagi korban, bully bisa meninggalkan trauma yang menghancurkan rasa percaya diri bahkan harapan hidup. Karena itu, kita perlu berhenti menganggapnya biasa, dan mulai melihatnya sebagai masalah serius yang harus diakhiri bersama.
Secara sederhana, bully adalah tindakan menyakiti orang lain secara sengaja, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Bentuk bully bisa bermacam-macam: bully fisik (memukul, menendang, mendorong, atau mengambil barang milik orang lain), bully verbal (mengejek, memberi julukan kasar, mengolok-olok), bully sosial (mengucilkan, menyebarkan gosip, membuat orang merasa tidak diterima), dan cyberbully (perundungan di media sosial, seperti komentar jahat, menyebar foto/video tanpa izin, atau pesan kebencian).
Apapun bentuknya, bully selalu menyisakan luka. Luka fisik mungkin sembuh, tetapi luka hati bisa bertahan bertahun-tahun.
Banyak alasan yang mendorong seseorang menjadi pelaku bully. Beberapa di antaranya; ingin merasa berkuasa. Pelaku bully sering merasa lebih hebat ketika bisa merendahkan orang lain. Selanjutnya untuk menutupi kelemahan diri. Kadang, orang yang membully sebenarnya sedang menyembunyikan rasa insecure. Kadang bisa juga karena terpengaruh lingkungan. Jika lingkungan membiarkan bully, anak atau remaja menganggapnya hal normal. Dan kurangnya empati, tidak bisa merasakan sakit yang dialami orang lain. Serta pernah menjadi korban bully. Ada yang melampiaskan pengalaman pahit dengan mengulanginya pada orang lain.
Apapun alasannya, bully tidak bisa dibenarkan. Menyakiti orang lain tidak pernah bisa dijadikan jalan untuk merasa lebih baik. Karena bagi korban, bully bisa membawa dampak serius, yaitu; psikologis, sosial, akademik/pekerjaan dan trauma jangka panjang. Bahkan beberapa korban bully mengalami depresi berat hingga berpikir untuk mengakhiri hidup. Itulah mengapa bully bukan sekadar gurauan. Ia adalah bentuk kekerasan yang nyata.
Keluarga adalah benteng pertama agar anak tidak menjadi korban maupun pelaku bully. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, menanamkan empati sejak dini. Ajarkan anak untuk memahami perasaan orang lain.
Kedua, menghargai perbedaan. Membiasakan anak menerima teman dengan latar belakang berbeda. Ketiga, menjadi teladan. Orang tua yang tidak mengejek atau merendahkan orang lain akan memberi contoh baik. Dan terakhir membangun komunikasi. Anak yang terbuka dengan orang tua lebih mudah bercerita jika menjadi korban.
Sekolah juga sering menjadi tempat paling rawan terjadi bully. Karena itu, sekolah harus berperan aktif dalam mencegahnya. Dengan melakukan; membuat aturan anti-bully yang jelas, melatih guru untuk peka terhadap tanda-tanda perundungan, membentuk tim konselor atau pendamping murid, mengajarkan pendidikan karakter, seperti empati, kerja sama, dan toleransi dan memberi ruang bagi murid untuk melapor tanpa takut dibalas. Sekolah seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, bukan arena adu kuat.
Bully tidak berhenti di sekolah atau rumah. Dunia maya juga menjadi tempat perundungan yang tak kalah berbahaya. Karena itu, masyarakat luas perlu ikut serta untuk tidakmenyebarkan gosip atau berita bohong. Dan gunakan media sosial untuk hal positif, bukan saling menjatuhkan. Ingat, satu komentar buruk bisa merusak hati seseorang, tetapi satu kata baik bisa menyelamatkan hidupnya.
Mengakhiri bully bukan tugas satu orang saja, melainkan tanggung jawab bersama. Kita semua bisa mengambil peran. Sebagai orang tua, jadilah pelindung dan teladan. Sebagai guru, jadilah pendidik yang peka dan penuh empati.
Sebagai teman, jadilah sahabat yang menguatkan, bukan melemahkan. Sebagai masyarakat, hentikan stigma dan ciptakan budaya saling menghormati. Karena setiap senyum, kata baik, atau uluran tangan yang kita berikan bisa menjadi cahaya bagi orang yang sedang gelap karena bully.
Bully adalah luka yang bisa menghancurkan masa depan, tetapi juga bisa menjadi titik balik untuk membangun kekuatan baru. Semua bergantung pada bagaimana kita, sebagai keluarga, sekolah, dan masyarakat, memilih untuk bersikap.
Daripada menjadi bagian dari masalah, mari menjadi bagian dari solusi. Mari kita hentikan bully mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang. Karena dunia tidak butuh lebih banyak orang yang menjatuhkan. Dunia butuh lebih banyak orang yang menguatkan. Dan kita semua bisa menjadi salah satunya. (04)