![]() |
Ali Achmadi. Foto: Koleksi pribadi. |
Oleh : Ali Achmadi, Praktisi pendidikan dan peminat masalah sosial, tinggal di Pati
Bupati Pati, Sudewo, belakangan seperti sedang ikut lomba
tarik-ulur. Pertama, gaspol menaikkan PBB sampai 250%—angka yang bikin warga
ngos-ngosan bahkan sebelum membayar. Lalu, ketika protes membesar, tiba-tiba
rem mendadak: “Oke deh, batal.”
Tak cukup di situ, kebijakan lima hari sekolah yang
sempat digadang-gadang juga ikut kandas.
Keduanya dibatalkan hampir berurutan. Seperti lampu lalu
lintas yang tadinya hijau, tiba-tiba merah. Bahkan tanpa kuning. Alasannya?
Macam-macam. Tapi rakyat tahu, kalau mau jujur, ini mirip orang jualan
gorengan: kalau nggak laku, ya ditarik dari etalase.
Publik pun menerka-nerka: Apakah ini tanda hati
bupati yang selembut tahu sutra, gampang luluh oleh tangisan rakyat? Atau, ini sekadar
trik politis, semacam “nih, aku pemimpin yang mau mendengar suara rakyat” untuk
kepentingan politik jangka panjang?
Atau jangan-jangan karena ada “telepon panas” dari
pejabat di atasnya—entah dari Gubernur, Mendagri, atau bahkan panggilan darurat
dari elit Gerindra pusat yang bilang, “Hei, kamu jangan bikin partai kita
repot!”
Bayangkan saja, di satu sisi ada warga ngamuk di jalan,
di sisi lain ada telepon panas dari pejabat yang lebih tinggi, lalu elit partai
ngomel bikin tubuh meriang panas dingin. Lengkap sudah—serangan darat dan
udara. Wajar kalau akhirnya kebijakan itu nyungsep.
Akhirnya, kita belajar sesuatu: Di negeri ini, kekuatan
terbesar kadang bukan di pendopo. Bukan di DPRD. Bahkan bukan di kursi bupati
itu sendiri.
Kekuatan terbesar ada di tiga tempat: Di hati rakyat. Kalau tersakiti dan sudah
kompak menolak, susah dilawan. Di meja pejabat
yang lebih tinggi. Mereka punya tombol “panggil” dan
“stop” yang bekerja instan.
Di ruang rapat elit
partai. Tempat di mana angka survei lebih berharga dari
angka pajak. Dan kalau tiga kekuatan ini bekerja bersamaan. Bupati pun bisa berubah
pikiran dalam semalam.
Yang jelas, dua pembatalan ini membuat warga lega, tapi
juga menyisakan rasa yang aneh. Seperti film yang tiba-tiba berhenti di tengah
adegan penting. Anda ingin tahu kelanjutannya, tapi layar sudah gelap.
Yang tersisa, di pojok ruangan rapat, ada yang sedang mencatat: “Besok kalau mau bikin kebijakan jangan serampangan, dan jangan terlalu menantang orang untuk demo.” (*)