Notification

×

Iklan

Iklan

Gaji DPR, UMK Pati, dan Ironi yang Bikin Kepala Njarem

Kamis, 21 Agustus 2025 | 11:58 WIB Last Updated 2025-08-21T04:58:35Z

Ali Achmadi. Foto: dok. pribadi. 


Oleh : Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan, Peminat Masalah Sosial, Tinggal di Pati


Ada angka-angka yang kalau dibaca bikin kepala njarem, tenggorokan seret, dan dompet langsung pengen ngelempar ke Kali Juwana. Bayangin aja: anggota DPR gaji plus tunjangannya Rp 3 juta per hari, sementara UMK Pati Rp 2,3 juta per bulan.


Per bulan, lho. Jadi buruh di Pati yang tiap hari kerja keringetan di pabrik, kepanasan di sawah, atau pontang-panting di toko, baru bisa nyampek Rp 2,3 juta setelah kerja 30 hari penuh. Itu pun kalau nggak dipotong denda telat, denda ngga masuk, atau recehan lain-lain yang ra jelas. 


Belum lagi nasib guru honorer, guru madrasah, yang honornya sebulan cuma cukup buat beli sabun colek. Ironisnya, mereka ini justru diminta ‘ikhlas’ seakan-akan pahala bisa langsung digesek buat beli beras di warung. Sementara bapak/ ibu dewan yang terhormat? Cukup duduk di kursi empuk, rapat yang kadang isinya ngantuk berjamaah, sudah bisa bawa pulang Rp 3 juta. Per hari.


Kalau dihitung-hitung, satu hari dewan sama dengan 40 hari kerja buruh Pati. Jadi kalau rakyat Pati kerja sebulan penuh, itu sama dengan kerja satu anggota DPR dari pagi sampai sore, lalu pulang bawa gaji harian. Bandingannya bikin meriang.


Lalu, warga Pati nasibnya gimana? Sudah UMK kecil, masih sempat-sempatnya mau dicekik dengan kebijakan kenaikan PBB 250% dari Bupati Sudewo. Untung kebijakan itu akhirnya dibatalkan. Tapi kan tetap aja, ibarat rakyat sudah diceburin ke sumur, baru setelah megap-megap hampir tenggelam, talinya ditarik sambil bilang: “Tenang wae, ini cuma simulasi.”


Yang bikin tambah mangkel, bupatinya masih saja duduk manis. Padahal masyarakat sudah terang-terangan bilang “emoh dipimpin dia.” Tapi ya begitu, yang namanya kursi empuk memang bikin betah. Susah dilepas, meskipun rakyat sudah ogah.


Masalahnya, ironi ini bukan sekadar angka-angka di kertas. Ini realita. Buruh di Pati dengan gaji Rp 2,3 juta sebulan harus muter otak: bayar kos, beli beras, susu anak, cicilan motor, listrik, pulsa, sampai uang sekolah. Sementara anggota dewan yang gajinya Rp 3 juta sehari bisa aja pagi makan steak, siang makan sushi, malam pesan kopi seharga lima kilo beras—dan dompetnya masih tetap tebal.


Kalau ada orang bilang, “Ya makanya sekolah tinggi biar bisa jadi pejabat,” itu jawaban yang bikin pengen salto. Wong sudah banyak orang Pati sekolah tinggi, tapi kerjaan tetap susah, peluang tetap sempit. Ironisnya lagi, ketika rakyat susah nyari kerja negara ngga hadir. Giliran rakyat udah kerja negara muncul dengan tagihan pajaknya, rasanya pingin misuh!


Paling lucu lagi, ketika bupati yang sempat bikin kebijakan ngawur itu masih saja ngotot bertahan. Padahal rakyat sudah turun ke jalan, sudah bersuara, sudah bilang cukup. Tapi seolah-olah telinganya kedap suara. Bisa jadi dia pikir rakyat Pati ini hobinya demo, jadi nggak usah terlalu dianggap serius.


Padahal jelas, warga turun ke jalan bukan karena hobi. Wong panas-panas di alun-alun, disorot matahari, itu bukan kegiatan wisata. Itu jeritan. Tapi yang di atas sana seolah-olah santai, kayak lagi nonton sinetron: “Ah, besok juga reda sendiri.” Atau, kayak orang makan sate kambing: suara rakyat hanyalah asap bakaran yang gampang dikipas sesuai kepentingan.


Jadi kalau ditanya siapa yang paling malang? Jawabannya jelas: rakyat Pati. Malang karena gajinya kecil. Malang karena sempat mau diperas pajaknya. Malang karena punya pemimpin yang telinganya mampet.


Ironi ini memang kasat mata. Tapi yang lebih kasat lagi adalah: rakyat makin susah, pejabat makin enak, dan bupati keras kepala.


Jangan-jangan solusi paling realistis buat wong Pati itu bukan lagi demo atau berharap UMK naik, tapi sekalian aja bikin bimbel kilat ‘Menuju Senayan’. Soalnya ya jelas, jadi anggota DPR itu lebih menjanjikan daripada jadi buruh: bisa tidur dapet gaji, bisa absen dapet jatah, bisa ngomong ngawur pun tetap dipanggil ‘yang terhormat’. Sementara rakyat? Kerja dari pagi sampe malam, hasilnya cuma cukup buat beli bensin sama bayar utang warung. 


Pertanyaan terakhir: sampai kapan orang Pati harus jadi bulan-bulanan kebijakan ngawur, gaji kecil, dan pemimpin arogan? Apa rakyat harus nunggu mukjizat? (*)

close close