![]() |
Tangkapan layar kuliah alternatif ke-10 angkat global citizenship. |
Semarang, soearamoeria.com - Menjadi manusia itu bukan hanya tentang diri sendiri saja, tetapi bagaimana dia bisa bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana sikap kita ketika melihat saudara-saudara kita menderita? Sebagai warga negara yang menjujung tinggi nilai dan norma sosial, seharusnya kita peka terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi baik di ranah lokal maupun global. Menyikapi hal tersebut perkumpulan Griya Peradaban menggelar Kuliah Alternatif ke 10 bertema “Global Citizenship” melalui Zoom Meeting pada, Sabtu (26/07/2025).
Pegiat Arif Prasetyo menyampaikan dalam sambutannya, Kuliah Alternatif kali ini mengangkat tema yang sangat relevan dengan perkembangan zaman, tema ini di pilih bukan tanpa alasan melainkan karena di era globalisasi seperti sekarang ini kita semua di tuntut untuk tidak hanya menjadi warga negara yang baik di tingkat lokal tetapi juga menjadi warga dunia yang bertanggungjawab.
“Melalui kuliah alternatif ini saya berharap temen-temen semua dapat mengembangkan wawasan global yang luas namun tetap berdasar pada nilai-nilai pancasila, membangun kesadaran akan tanggungjawab kita bersama dalam menghadapi tantangan global seperti iklim dan ketidakadilan sosial, mengasah kemampuan berfikir kritis dan analisis dalam memahami dinamika dunia yang semakin kompleks, menjalin jejaring dan kolaborasi yang dapat berkontribusi positif di masyarakat baik di tingkat lokal maupun global” harapnya.
Awardee Nusantara Academic Writing Award Fathur Rochman sekaligus pemateri pertama menyampaikan, per-hari ini dinamika global sangat berjalan dengan cepat, kita tidak lagi berhubungan atau berinteraksi dengan tetangga-tetangga kita di tingkat lokal saja, tetapi juga berinteraksi dengan warga dunia. Adanya teknologi dan komunikasi ini manusia bisa terhubung satu sama lain tanpa adanya batas wilayah dan negara. Keadaan tersebut kemudian dinamakan Globalisasi.
Globalisasi itu ketika satu budaya atau satu produk itu kemudian mengglobal misalnya budaya K-Pop. Dari sinilah muncul konsep kewarganegaraan global yaitu di mana seseorang memprioritaskan identitas sebagai anggota masyarakat global. Mereka memandang bahwa manusia itu adalah satu kesatuan yang saling bergantung, ketika seseorang melakukan sesuatu di sini maka itu bisa berpengaruh di bagian dunia yang lain. Akan tetapi manusia itu makhluk primodial, artinya tidak bisa lepas dari identitas lokal, tidak bisa lepas dari norma dan budaya sehingga merasa sebagai warga dunia tapi indetitas lokal itu harus tetap di pegang.
“Kita bisa mengomentari atau melihat informasi di belahan dunia paling pojok sekalipun dalam waktu yang sangat singkat, kita juga bisa nimbrung ikut komentar statusnya Muhammad Falah di Liverpool misalnya atau ikut akunnya Cristiano Ronaldo misalnya, meskipun dia ada di Portugal tanpa harus pergi jauh-jauh ke sana, sehingga menurut Marshal Mcluhan adanya teknologi informasi dan komunikasi ini ini kemudian menjadikan dunia itu sempit. Kata pepatah Indonesia itu, ternyata dunia tidak selebar daun kelor, maksudnya itu mrono mrene ketemu wong seng ajeg, jadi seakan-akan dunia itu sempit. Problem-problem seperti problem lingkungan, politik dan pembangunan, juga permasalahan yang terjadi di dunia harus kita sadari sebagai problem bersama, bukan hanya problem masyarakat tertentu sehingga kita di tuntut untuk terlibat aktif paling tidak menyumbang ide atau gagasan-gagasan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saya himbau untuk teman-teman yang ikut kuliah alternatif, apapun yang bisa kalian lakukan untuk masyarakat kalian lakukanlah, aktif di forum-forum kepemudaan, aktif di organisasi, dari situ apa yang kita lakukan itu bermnfaat untuk orang lain dan akan meluas. Orang-orang yang sekarang sukses itu tidak sukses sendiri mereka dengan kolaborasi” ujarnya.
Di jelaskan pula, ciri-ciri kewarganegaraan global ada 6 yaitu mempunyai pola pikir global, peduli isu global, menghargai keberagaman, pemahaman multidimensional, partisipasi aktif dan adaptif. Generasi di zaman sekarang adalah generasi yang paling akrab dengan teknologi, mereka hidup dengan teknologi dari kecil sehingga menjadi fungsi pemuda untuk membangun kewarganegaraan global, bagaimana teknologi itu dapat di manfaatkan dengan baik.
Dengan bekal teknologi dan keberanian di harapkan pemuda dapat membantu menyelesaikan permasalahan dan menjadi agen untuk pembangunan berkelanjutan. Bahkan Indonesia memiliki 64,19 juta pemuda, ini sebuah potensi besar yang bisa di kembangkan.
Karena ketika akses-akses teknologi komunikasi ini tidak di dapatkan maka nanti akan terjadi bencana yaitu ketidakpastian global. Salah satu dampaknya, kemarin ada berita seorang pemuda dari Indonesia yang tidak kuat menghadapi problematika di negaranya yang kemudian menjadi tentara bayaran di rusia dan ternyata permasalahan disana lebih parah sehingga meminta kembali menjadi warga negara Indonesia.
Pemateri kedua Brelyantika Indra Jesa seorang mentor griya peradaban menyampaikan, _a global citizen is one who can live and work effectively anywhere in the world, supported by a global way of life._ Seorang warga global adalah seseorang yang dapat hidup dan bekerja secara efektif di mana pun di dunia, di dukung oleh pandangan atau wawasan hidup global. Wawasan terbagi menjadi tiga yaitu wawasan lokal, wawasan nasional dan wawasan global. Pemuda perlu berwawasan global karena semakin berkembangnya ekonomi global, semakin pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi dan meningkatnya populasi penduduk dunia yang di ikuti dengan munculnya permasalahan lingkungan.
“Salah satu permasalahan global sekarang yaitu perang yang terjadi di negara Palestina belum selesai. Seperti yang kita lihat di berita-berita banyak orang-orang yang menderita dan kelaparan di Palestina. Nah, itu salah satu bentuk, kita sebagai seorang pemuda untuk aware terhadap permasalahan yang ada di dunia saat ini salah satunya tentang kemerdekaan Palestine ini. Kalau di euro sendiri saya melihatnya isu green isu environment cukup banyak di bahas, kebetulan kerjaan saya sekarang di bidang yang membahas isu-isu tersebut” ujarnya.
Di tambahkannya, untuk membentuk wawasan global maka perlu open minded, mempunyai kemampuan digital literacy, harus bisa proactive, dan bilingual atau polygot. Banyak platform yang dapat di gunakan untuk melihat dan bergabung menjadi warga warga dunia. Menurut Albert Enstein _“The world as we have created it is a process of our thinking. It cannot be changed without changing our thinking”_. (kh)